Belakangan pemerintah bersama TNI/Polri gencar mengadakan dialog dengan warga Papua untuk mengatasi konflik dan menjamin kesejahteraan warga Papua tercapai. Namun, dialog itu dinilai masih parsial sehingga belum efektif.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, TNI, dan Polri menggencarkan dialog dengan warga Papua dalam beberapa waktu terakhir. Masyarakat diminta terus mengawal program pembangunan dan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus untuk menjamin kesejahteraan Papua. Namun, sejumlah dialog itu dinilai masih dilakukan secara parsial sehingga tidak bisa menyelesaikan masalah hingga ke akar.
Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dalam keterangan tertulis, Kamis (27/5/2021), mengatakan telah mengunjungi Papua bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, kemarin. Dalam kunjungan kerja tersebut, keduanya berdialog dengan sejumlah tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat Papua dalam pertemuan tertutup.
Listyo menyampaikan bahwa pemerintah fokus membangun Papua. Sekalipun manfaat pembangunan saat ini belum bisa dirasakan oleh seluruh warga, pembangunan infrastruktur, salah satunya, merupakan prioritas pemerintah. (Kapolri)
Dalam pertemuan itu, Listyo menyampaikan bahwa pemerintah fokus membangun Papua. Sekalipun manfaat pembangunan saat ini belum bisa dirasakan oleh seluruh warga, pembangunan infrastruktur, salah satunya, merupakan prioritas pemerintah.
Oleh karena itu, masyarakat diajak untuk terus mengawal berbagai program pemerintah di Papua. Begitu juga terkait revisi Undang-Undang Otonomi Khusus atau Otsus Papua yang kini masih dibahas di DPR. ”Terkait RUU Otsus, agar betul-betul dikawal sehingga upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua (bisa) tepat sasaran,” kata Listyo.
Selain berdialog dengan tokoh masyarakat, baik Listyo maupun Hadi juga memberikan pengarahan untuk para personel TNI dan Polri yang tergabung dalam Satuan Tugas Operasi Nemangkawi. Satgas Nemangkawi merupakan gabungan personel TNI dan Polri yang dibentuk sejak 2018 yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dari gangguan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Listyo mengatakan, petugas tidak hanya bertugas mengamankan wilayah, tetapi juga mengawal pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, ia juga meminta agar para personel dapat memetakan secara tepat kebutuhan warga Papua.
Hadi menambahkan, seluruh personel yang bertugas di Papua hendaknya memiliki formula khusus untuk merebut hati masyarakat. Itu dibutuhkan agar kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap terjaga.
Di samping itu, Hadi meminta semua personel bersinergi dengan semua pihak agar pemerataan kesejahteraan semakin cepat terwujud. ”TNI dan Polri manunggal dengan rakyat, dengan Binmas Noken dan teritorial. Bangun sinergi dengan baik antarlintas satuan,” katanya.
Sepekan terakhir, dialog serupa juga dilakukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Pada Senin (24/5/2021), misalnya, Mahfud berdiskusi dengan Wakil Uskup Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Mgr Innocentius Rettobjaan; Uskup Merauke Mgr Petrus Canisius Mandagi; Michael Manufandu; dan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Kardinal Ignatius Suharyo. Dialog pada hari itu juga dihadiri oleh perwakilan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Marsudi Syuhud, dan perwakilan Majelis Ulama Indonesia, KH Cholil Nafis.
Pada hari berikutnya, Selasa (25/5/2021), Mahfud berdialog kembali dengan anggota Komisi I DPR yang merupakan legislator asal Papua. Dialog digelar juga dengan pimpinan Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII), yaitu Pendeta Ronny Mandang dan Pendeta Nur Reimas.
Dalam pembicaraan tersebut, Mahfud mengatakan, untuk menangani KKB, pemerintah tidak hanya melakukan operasi penegakan hukum. Pemerintah juga akan mengutamakan jalan dialog. ”Kami ajak dialog dan bertukar pikiran dengan beberapa tokoh dan pihak lain yang bisa membuka ruang perdamaian dan keamanan bagi masyarakat Papua,” ujar Mahfud (Kompas.id, 26/5/2021).
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, mengatakan, selama ini pemerintah memang kerap berdialog dengan masyarakat Papua. Bahkan, dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat disebutkan, salah satu strategi pembangunan kesejahteraan dengan menggunakan pendekatan dialog dengan semua komponen masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga penyelenggara pemerintahan daerah.
Misalnya dalam memahami kata percepatan pembangunan. Percepatan ini menurut siapa, Jakarta atau Papua. Apakah sama dipahaminya. Bahkan, pendekatan dialog atau kata dialog saja harus disepakati. Ini dialognya maksudnya apa. (Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adriana Elisabeth)
Akan tetapi, pendekatan dialog yang digunakan pemerintah masih dipertanyakan. Sebab, pendekatan itu belum dilaksanakan sesuai dengan pemahaman akar masalah dan persetujuan antara pemerintah dan warga Papua.
”Misalnya dalam memahami kata percepatan pembangunan. Percepatan ini menurut siapa, Jakarta atau Papua. Apakah sama dipahaminya. Bahkan, pendekatan dialog atau kata dialog saja harus disepakati. Ini dialognya maksudnya apa,” kata Adriana.
Dialog yang ada selama ini dinilai masih parsial sehingga hanya bisa mengatasi persoalan yang muncul di hilir. Sementara itu, akar masalah yang menyebabkan warga Papua hidup dalam konflik politik, ideologi, persoalan ketidaksejahteraan, dan konflik bersenjata selama puluhan tahun belum tersentuh.
”Masalah yang ada di hulu tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan dialog (parsial) seperti ini karena persoalan sudah berlangsung lama, tidak pernah selesai,” tambah Adriana.
Menurut dia, pendekatan dialog harus dimulai tanpa asumsi bahwa pemerintah lebih mengerti soal Papua ketimbang warganya. Setidaknya, dialog juga harus menghasilkan dua hal fundamen yang menunjukkan bahwa pemerintah memahami apa yang diinginkan Papua.
Pertama, penyelesaian masalah tidak mengulang cara lama yang penuh kekerasan. Baik kekerasan dalam konflik bersenjata maupun kekerasan struktural seperti korupsi. ”Kedua, di dalam dialog itu juga ada esensi bahwa (negara) tidak lagi menoleransi ketidakadilan dalam segi politik, ekonomi, sosial, dan budaya,” kata Adriana.