Hakim dan Jaksa Cecar Saksi Soal Broker Proyek Bansos Covid-19 di Kemensos
”Saudara sampai sekarang tidak tahu apa latar belakang Yogas? Padahal Anda memberikan uang total Rp 7,2 miliar dan dua sepeda Brompton kepada dia?” tanya jaksa penuntut kepada saksi kasus dugaan suap bansos Kemensos.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan keterlibatan sejumlah pihak, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dalam jejaring korupsi paket bantuan sosial Kementerian Sosial didalami dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (24/5/2021). Majelis hakim dan jaksa penuntut umum mencecar saksi soal peran dari Agustri Yogasmara alias Yogas yang menerima suap Rp 7,24 miliar.
Sidang pemeriksaan saksi kasus korupsi bansos Kemensos dengan terdakwa bekas Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dipimpin Hakim Ketua Muhammad Damis. Ada tujuh saksi yang dihadirkan dalam persidangan itu, yaitu pengusaha supplier paket sembako bansos Harry Van Sidabukke, Direktur Utama PT Hamonangan Sude Rajif, Direktur Utama PT Tiga Pilar Agro Utama Ardian Iskandar Maddanatja, Nuzulia Rahman Nasution, Direktur PT Berau Jaya Perkasa Helmi Rivai, konsultan Hamdhi Rezangka, dan Direktur Operasional PT Pertani Lalan Sukmaya.
Ketua Majelis Hakim M Damis menanyakan kepada Harry Van Sidabukke terkait hubungannya dengan Yogas. Menurut Harry, dia mengenal Yogas melalui Matheus Joko Santoso yang merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemensos. Saat itu, Joko mengenalkan Yogas sebagai pihak yang akan mengurus kuota proyek pengadaan paket bansos Covid-19 dari PT Pertani. Yogas kemudian meminta kesepakatan fee proyek bansos Rp 12.500 per paket. Namun, Harry mengaku tidak menyanggupi permintaan itu.
Dari permintaan itu, Harry hanya bisa menyanggupi Rp 9.000 per paket. Setelah sepakat dengan besaran fee, Harry kemudian mendapatkan kuota pengadaan sebanyak 1.519.256 paket sembako.
”Dari total kuota pengadaan yang Anda dapatkan, berapa fee yang didapatkan saudara Yogas?” ujar hakim Damis.
Harry mengatakan, total fee yang diberikan kepada Yogas adalah Rp 7,247 miliar. Fee itu diberikan untuk kuota pengadaan 400.000 paket sembako pada tahap pertama.
”Saudara tahu siapa Yogas itu? Tidak usah Saudara sembunyikan di persidangan ini,” kata Damis.
Namun, saat dicecar hakim, Harry hanya mengatakan bahwa Yogas adalah broker atau perantara proyek bansos Kemensos. Sepengetahuannya, Yogas adalah perantara swasta dalam proyek-proyek pengadaan di Kemensos.
”Kalau Anda tidak tahu siapa Yogas. Kenapa Anda mau berurusan dengan dia?” ujar Damis.
Harry mengatakan, dia mau berurusan dengan Yogas karena dianggap sebagai orang yang berpengaruh dalam pengaturan kuota bansos di Kemensos. Sebab, pernah suatu ketika, jatah kuota proyeknya diturunkan oleh Kemensos. Namun, setelah dilobi oleh Yogas, kuota proyeknya dikembalikan seperti semula.
”Dari situ, saya meyakini kalau Yogas orang yang punya pengaruh kuat di Kemensos,” kata Harry.
Jaksa Penuntut Umum KPK Muhammad Nur Aziz juga menggali hubungan antara Harry dan Yogas. Aziz mempertanyakan alasan Harry tidak mengetahui latar belakang Yogas, padahal dia mengelola kuota pengadaan paket bansos sebesar 400.000 dari total 1,9 juta paket.
”Saudara sampai sekarang tidak tahu apa latar belakang Yogas? Padahal Anda memberikan uang total Rp 7,2 miliar dan dua sepeda Brompton kepada dia?” tanya Aziz.
Harry kemudian menjawab, meskipun dia memberikan uang dan dua sepeda Brompton, dia tidak mencoba mencari tahu latar belakang Yogas.
Aziz juga menyinggung hubungan Harry dengan Muhammad Rakyan Ikram. Harry dan Ikram sama-sama tergabung dalam organisasi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Harry menjabat sebagai Sekretaris Umum Hipmi sehingga ketika ada proyek di pemerintah, seperti pengadaan paket bansos dia kerap mendapatkan informasinya. Adapun, Ikram menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Hipmi.
”Apa hubungan Yogas dengan Rakyan Ikram? Apakah sama-sama anggota Hipmi?” tanya Aziz.
”Saya mengenal Ikram karena sama-sama satu organisasi di Hipmi. Sedangkan Yogas, setahu saya berteman dengan Ikram,” kata Harry.
Harry kemudian menyebut bahwa belakangan setelah menyelesaikan pengadaan paket sembako pada tahap 11 dan tahap 12, dia baru mengetahui bahwa Ikram adalah adik dari Ihsan Yunus yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi PDI-P.
Harry juga menyebut bahwa saat ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan, dia menyerahkan dua sepeda brompton dan sejumlah uang kepada Yogas.
Adapun, dalam kasus korupsi pengadaan bansos Kemensos, Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar Maddanatja telah divonis penjara empat tahun dan denda Rp 100 juta oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
Mereka dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap bekas Mensos Juliari Batubara dan sejumlah pejabat lain di Kemensos dalam proyek pengadaan bansos Covid-19.