Sikap Elite Politik Papua terhadap Revisi UU Otsus Terbelah
Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua menimbulkan pro dan kontra. Masyarakat minta dilibatkan dalam proses pembuatan UU yang menyangkut masa depan Papua itu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/ NOBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Suara elite politik Papua terhadap revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua terbelah. Sebagian setuju UU diubah dengan sejumlah syarat, sebagian lainnya menolak karena dianggap kurang menyerap aspirasi warga Papua. Mereka meminta ada dialog inklusif untuk menjembatani perbedaan aspirasi tersebut.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Papua, Ruben Uwamang, dalam audiensi masalah Papua bersama pimpinan MPR, Kamis (20/5/2021), mengatakan, pemerintah dan DPR, sebagai pihak yang membahas RUU Otsus Papua, seharusnya tidak menutup mata dengan dinamika politik dan situasi keamanan di Papua saat ini. Menurut dia, gangguan keamanan yang intens terjadi di Papua belakangan ini berkaitan dengan aspirasi kelompok yang menolak UU Otsus Papua direvisi.
Namun, aspirasi dari kelompok yang menolak regulasi baru itu tidak didengar. Pemerintah justru mengambil kebijakan dengan pendekatan keamanan untuk mengatasi masalah gangguan keamanan di Papua. Salah satunya dengan menetapkan kelompok kriminal bersenjata sebagai teroris. Menurut dia, kebijakan ini tidak akan efektif untuk mengatasi permasalahan di Papua.
”Tolong dilihat lagi bahwa di Papua itu faktanya ada Organisasi Papua Merdeka dan juga ada yang pro integrasi dengan NKRI. Mereka ini sedang berkelahi, apakah kita justru malah terus memaksakan membahas RUU Otsus Papua,” kata Ruben.
Menurut Ruben, apabila pemerintah memang ingin serius mengatasi masalah Papua secara komprehensif, seharusnya aspirasi orang Papua didengar. Persoalan yang muncul saat ini pun semestinya diselesaikan secara komprehensif.
Menurut dia, RUU Otsus adalah salah satu regulasi yang digunakan untuk pendekatan pembangunan dan kesejahteraan di Papua. Namun, jika masalah gangguan keamanan dan aspirasi politik itu tidak didengar, pembangunan dan program kesejahteraan di Papua itu juga tidak bisa berjalan.
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, John Siffy Mirin, menyayangkan sikap pemerintah yang tak mau mendengar aspirasi masyarakat Papua. Karena itu, sebagai legislator dari Papua, ia memutuskan mundur dari Panitia Kerja (Panja) Komisi II yang membahas UU Otsus Papua.
Menurut dia, pembahasan revisi UU Otsus tidak bisa dilakukan secara sepihak seperti itu. Harus ada evaluasi menyeluruh, yang juga melibatkan penyerapan aspirasi dari warga Papua. ”Presiden seharusnya membuka dialog politik inklusif, baik dengan kelompok yang pro otsus maupun yang berseberangan. Jangan malah menambah pasukan keamanan di Papua. Itu hanya memperkeruh suasana,” kata John.
Dana otsus
Sekretaris Daerah Papua Dance Yulian Flassy mengatakan, salah satu yang dibahas dalam revisi UU Otsus adalah penambahan dana otsus dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari total APBN. Dia berharap, pemerintah pusat menegaskan alokasi penambahan dana apakah melekat atau terpisah dengan APBD.
Dance juga mengusulkan adanya lembaga independen yang mengawasi penggunaan dana otsus agar penggunaannya efektif dan dapat dirasakan masyarakat. Ini karena selama 20 tahun Papua berstatus daerah otsus, dampaknya kurang dirasakan masyarakat.
”Stop itu yang namanya program-program siluman tidak jelas. Sekarang, kalau memang mau ditambah dananya, harus jelas alokasi dan pengawasannya,” kata Dance.
Dance juga menyoroti masih minimnya industri pengolahan tambang di Papua. Padahal, selama ini, Papua terkenal dengan wilayah penghasil tambang terbesar di Indonesia. Namun, hasil tambang itu hanya dibawa sebagai bahan mentah dari Papua. Masyarakat Papua tidak merasakan dampak ekonominya, baik lapangan kerja baru maupun nilai tambah dari kekayaan alam itu. Selain tambang mineral, Papua juga kaya dengan hasil perkebunan seperti kopi. Dia berharap nantinya dana otsus bisa lebih dioptimalkan untuk membangun industri yang membuka lapangan kerja bagi warga Papua.
Ketua Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPD-DPR RI Dapil Papua dan Papua Barat (MPR RI for Papua) Yorrys Raweyai mengatakan, audiensi yang dilakukan MPR RI for Papua akan menyerap sebanyak-banyaknya aspirasi dari warga Papua. Menurut rencana, aspirasi itu akan dibawa ke Panja RUU Otsus Papua di DPR. Dia akan mengagendakan pertemuan dengan tokoh adat, agama, peneliti masalah Papua, dan pihak-pihak lain untuk memetakan permasalahan di Papua.
Sebagai inisiator otonomi khusus Papua, Yorrys juga meminta kepada pihak yang kontra dengan kebijakan itu untuk tidak memandang sebelah mata. Bisa jadi kebijakan otsus selama 20 tahun memang banyak kekurangan, tetapi pasti ada sisi baiknya. Oleh karena itu, revisi UU Otsus kali ini harus dijadikan momentum untuk memperbaiki kekurangan, terutama berbagai program untuk melindungi hak-hak orang asli Papua. Selain itu, juga memperbaiki akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana otsus.
Dugaan korupsi
Sementara itu, beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan adanya 10 kasus dugaan korupsi besar yang terjadi di Papua. Dugaan penyelewengan anggaran negara itu merupakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Dihubungi secara terpisah pada Kamis, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono mengatakan, saat ini memang ada sejumlah kasus dugaan korupsi yang disidik kejaksaan di Papua. Namun, ia belum bisa memastikan bahwa kasus dugaan korupsi yang tengah ditangani kejaksaan negeri itu termasuk 10 kasus yang disebut Menko Polhukam.
”Apakah itu termasuk, saya belum tahu. Kami belum diberi tahu,” kata Ali.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah menambahkan, saat ini ada beberapa kasus dugaan korupsi yang ditangani kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri di Papua. Namun, kasus dugaan korupsi itu bukan terkait dengan penggunaan dana otsus.
Hingga saat ini penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus tersebut dilakukan oleh kejaksaan setempat. Jampidsus akan menangani jika kasus tersebut terkait dengan kepentingan yang lebih besar dan luas bagi masyarakat dan negara.
”Sementara ini masih berjalan on the track. Setidaknya kendala itu tentang perhitungan kerugian. Itu saja kendala yang saya lihat yang ditangani se-Indonesia,” terang Febrie.
Sebelumnya, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan 2019 Pemerintah Provinsi Papua.