Kodifikasi Atasi Multitafsir Penerapan Pasal UU ITE
Pemerintah masih fokus akan melaksanakan kodifikasi UU ITE dengan RKUHP. Salah satunya karena ketentuan kejahatan konvensional di RKUHP yang termuat dalam UU ITE, itu tak disertai dengan unsur-unsur delik yang jelas.
JAKARTA, KOMPAS – Sejauh ini rencana pemerintah melakukan revisi terbatas Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih fokus pada kodifikasi UU ITE dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini salah satunya dikarenakan ketentuan kejahatan konvensional di RKUHP yang termuat dalam UU ITE, itu tak disertai dengan unsur-unsur delik yang jelas dan tegas.
Sementara masyarakat sipil berharap rencana pemerintah melakukan revisi terbatas pada UU ITE dapat digunakan untuk membenahi aturan itu secara lebih komprehensif.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej saat dihubungi, Selasa (18/5/2021), mengatakan, berbagai kejahatan konvensional yang tersebar di KUHP seperti pelanggaran kesusilaan, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, pengancaman, menimbulkan rasa permusuhan atau kebencian individu atau kelompok atas dasar suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), serta ancaman kekerasan atau menakut-nakuti, itu semua dimasukkan dalam UU ITE tanpa disertai dengan unsur delik yang jelas dan tegas.
Wajar, lanjutnya, jika penerapan pasal 27, pasal 28, dan pasal 29 pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE itu sangat multitafsir. Pasal 27, misalnya, mengatur tentang penghinaan atau pencemaran nama baik yang diberi penjelasan bahwa yang dimaksud dengan penghinaan adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 310 KUHP tentang menista dan pasal 311 KUHP tentang fitnah.
Padahal, di KUHP, penghinaan tersebar dalam pasal 310 sampai dengan pasal 321 KUHP. Sementara yang diakomodasi di UU ITE hanya menista dan memfitnah, padahal masih banyak bentuk penghinaan lainnya seperti penghinaan ringan, melapor dengan memfitnah, dan menuduh dengan memfitnah.
“Penjelasan pasal yang dimuat dalam revisi UU ITE terbaru ini justru membuat runyam substansi penghinaan itu sendiri,” kata Eddy.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Dua Skema untuk Revisi Terbatas UU ITE
Selain itu, pasal 28 ayat (2) UU ITE memuat ketentuan terkait penyebar kebencian yang ada pada pasal 154 sampai dengan pasal 157 KUHP. Dalam perkembangannya, pasal-pasal itu ada yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga menimbulkan komplikasi hukum. Pasal 28 UU ITE masih berlaku, padahal sumber yang dirujuk dari pasal tersebut dalam KUHP ada yang sudah dibatalkan oleh MK.
“Dalam rancangan KUHP, berbagai kejahatan konvensional yang termuat dalam UU ITE sudah dimasukkan. Artinya, ketika RKUHP disahkan dengan sendirinya berbagai ketentuan pidana dalam UU ITE tidak lagi berlaku,” kata Eddy.
“Dalam rancangan KUHP, berbagai kejahatan konvensional yang termuat dalam UU ITE sudah dimasukkan. Artinya, ketika RKUHP disahkan dengan sendirinya berbagai ketentuan pidana dalam UU ITE tidak lagi berlaku,” kata Eddy. (Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia)
Bahkan, menurutnya, ancaman pidana dalam RKUHP yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya telah disesuaikan dengan sanksi pidana pada umumnya sehingga tidak ada disparitas antara satu ketentuan dengan yang lain. Di dalam RKUHP, pemidanaan badan bukanlah pilihan utama. Ada alternatif pilihan pidana lainnya yang disesuaikan dengan konsep keadilan restoratif yaitu pidana denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial.
Baca juga: Kajian Selesai, Pemerintah Putuskan Merevisi Terbatas UU ITE
Pembahasan lama
Anggota Komisi I dari Fraksi Golkar Christina Aryani mengatakan, pada dasarnya Fraksi Golkar mendukung revisi terbatas UU ITE karena kebutuhan yang mendesak saat ini. Selama ini, penerapan pasal-pasal karet UU ITE multitafsir, diskriminatif, dengan tingkat pemidanaannya yang tinggi. Sebagai mitra kerja dengan pemerintah dalam proses pembentukan UU, DPR juga akan mengkaji lebih dalam apakah revisi terbatas dengan penambahan pasal 45C di UU ITE, efektif untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang ada.
“Hasil rekomendasi tim kajian UU ITE yang telah dibentuk pemerintah akan menjadi dasar penilaian kami,” kata Christina yang juga anggota Badan Legislasi DPR.
Terkait dengan wacana kodifikasi UU ITE dan RKUHP, Christina juga menyambut dengan baik. Namun, jika melihat kompleksitas muatan dan norma yang diatur di RKUHP, dia pesimistis RKUHP akan selesai cepat. Apalagi, saat ini, posisi RKUHP masih berada di daftar panjang prolegnas 2019-2024. Artinya, RKUHP belum akan dibahas di 2021.
“Namun, jika di kemudian hari pengaturan terkait ketentuan pidana dalam UU ITE merujuk pada KUHP, hal itu bisa dilakukan dalam ketentuan peralihan UU ITE,” kata Christina.
Anggota Komisi I dari Fraksi Demokrat Sjarifuddin Hasan mempersilakan pemerintah untuk memasukan rancangan revisi UU ITE ke DPR sesuai mekanisme yang berlaku. Nantinya, usulan dari pemerintah itu akan dibahas bersama di DPR dalam perubahan prolegnas prioritas 2021 pada bulan Juni mendatang.
Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mengatakan, DPR masih menunggu langkah nyata dari pemerintah mengenai revisi terbatas UU ITE. Meskipun sebelumnya sudah ada sikap resmi dari pemerintah melalui tim kajian UU ITE Kemenko Polhukam, langkah nyata baru akan terlihat ketika rapat kerja pembahasan perubahan prolegnas prioritas 2021 di DPR.
“Kalau sudah jelas maunya apa, baru kita tanggapi. Mudah-mudahan kali ini benar-benar serius untuk membenahi aturan bermasalah,” kata Sukamta.
Menanggapi pembahasan di DPR akan memakan waktu yang panjang, Eddy Hiariej mengatakan, pembahasan RKUHP di DPR memang akan memakan waktu karena muatan dan norma pasal yang sangat luas. Namun, sembari menunggu proses tersebut, pemerintah juga memiliki pedoman pelaksanaan pasal-pasal karet yang akan dikeluarkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, dan Jaksa Agung.
SKB itu akan menjadi pedoman atau buku saku bagi aparat penegak hukum untuk lebih selektif menangani kasus pasal-pasal karet UU ITE. Pedoman diharapkan memuat standar dan penafsiran yang sama terhadap pasal-pasal tersebut. Sehingga dalam praktiknya, tidak ada tebang pilih dalam penanganan kasus ITE. Apabila memungkinkan, kasus-kasus pasal karet UU ITE juga diharapkan diselesaikan tanpa proses hukum dan mengedepankan mediasi.
Baca juga: Pedoman Kapolri Tak Digubris, Pemidanaan dengan UU ITE Terus Berlanjut
Momentum perbaikan
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, apabila memang ada wacana kodifikasi UU ITE dan RKUHP, perlu dijelaskan lebih mendalam pasal mana saja yang akan dikodifikasi. Apakah hanya pasal-pasal yang memuat tentang cyber enabled crime atau kejahatan konvensional yang diekstensifikasi menggunakan teknologi komputer, atau juga kejahatan yang muncul dan hanya mungkin dilakukan karena adanya jaringan komputer (cyber-dependent crime).
Contohnya cyber-dependent crime adalah phising atau pengelabuan, akses ilegal, pembajakan (defacement). Tindak pidana itu telah diatur di pasal 30-35, dan sebenarnya relative tidak ada permasalahan dalam implementasinya.
“Ini perlu dijelaskan lebih rinci karena akan sangat berkaitan dengan politik hukum kejahatan dunia maya di Indonesia,” kata Wahyudi.
Lebih jauh Wahyudi mengatakan, idealnya, revisi UU ITE tidak hanya berbicara mengenai kodifikasi kejahatan konvensional yang diatur di KUHP. Revisi UU ITE harus dimanfaatkan lebih optimal untuk merombak ulang aturan informasi dan transaksi elektronik agar lebih komprehensif. (Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat)
Lebih jauh Wahyudi mengatakan, idealnya, revisi UU ITE tidak hanya berbicara mengenai kodifikasi kejahatan konvensional yang diatur di KUHP. Revisi UU ITE harus dimanfaatkan lebih optimal untuk merombak ulang aturan informasi dan transaksi elektronik agar lebih komprehensif.
UU ITE misalnya, harus mampu merespons perkembangan teknologi informasi terbaru, dan memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak warga negara sesuai prinsip HAM dan demokrasi. Aturan hukum mengenai ITE, katanya, harus menekankan pada isu perlindungan manusia sebagai pemakai teknologi informasi. UU ITE tidak boleh hanya sekadar membatasi, tetapi juga harus fleksibel untuk melindungi manusia sebagai pihak yang diatur oleh hukum.