Sanksi Pemecatan Menanti Pegawai BPN yang Terlibat Mafia Tanah
Sanksi pidana berikut pemecatan belum cukup untuk mencegah kembali munculnya praktik mafia tanah. Penguatan pengawasan pegawai dan pelibatan penegak hukum juga diperlukan untuk memberangus mafia tanah.
Oleh
IQBAL BASYARI/KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional berkomitmen menindak pegawainya yang terlibat dalam jaringan mafia tanah. Sanksi hukuman pidana hingga pemecatan disiapkan untuk mencegah kembali munculnya mafia tanah yang merugikan masyarakat.
Staf Khusus dan Juru Bicara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional atau ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi yang dihubungi di Jakarta, Selasa (18/5/2021), mengatakan, Kementerian ATR/BPN terus melakukan penindakan terhadap pegawainya yang terlibat jaringan mafia tanah. Pegawai tersebut akan dijerat pidana yang juga bisa berujung pada pemecatan.
”Dengan laporan ke kepolisian, kami bisa mengambil tindakan pemecatan terhadap oknum pegawai,” katanya.
Taufiq mengatakan, penindakan terhadap pegawai yang terlibat mafia tanah tidak akan pandang bulu. Siapa pun yang terlibat, mulai staf hingga kepala kantor wilayah, akan tetap ditindak jika menjadi bagian dari mafia tanah. Penindakan salah satunya pernah dilakukan terhadap mantan Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta, Jaya, yang dilaporkan ke kepolisian dan dipecat pada awal 2021 karena terlibat dengan mafia tanah.
Meskipun telah banyak pegawai yang ditindak, lanjut dia, pemberantasan mafia tanah tidak akan tuntas dalam waktu satu atau dua hari. Sebab, ancaman mafia tanah terus muncul dengan beragam modus yang semakin canggih. Apalagi, sering kali mafia tanah berada satu langkah di depan penegak hukum, bahkan bekerja sama dengan pegawai BPN, aparat penegak hukum, hakim, dan notaris.
Oleh sebab itu, Satgas Antimafia Tanah yang melibatkan kepolisian dan kejaksaan terus bekerja memberantas mafia tanah. Modus-modus yang sudah diketahui oleh satgas terus ditelusuri agar mereka tidak berada di belakang mafia tanah. ”Polri dan kejaksaan juga bersungguh-sungguh memberantas mafia tanah,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN RB Agus Widjayanto menjelaskan, sejak 2018 terdapat 244 kasus mafia tanah yang sudah ditangani. Penanganan dilakukan bersama oleh Kementerian ATR/BPN dan kepolisian. Sejumlah kasus yang dimaksud tersebar di beberapa wilayah dengan nilai tanah yang tinggi, antara lain DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, dan Kalimantan Barat.
”Kenapa 244 kasus? Itu sesuai dengan target anggaran yang kami punya. Setiap tahun itu (menangani) 61 kasus di seluruh Indonesia,” kata Agus.
Ia mengakui, belum semua pidana pertanahan yang dilaporkan masyarakat berhasil ditangani. Namun, penindakan yang masih sedikit itu diharapkan bisa sekaligus mencegah praktik mafia tanah. ”Tujuan kami membentuk tim dengan kepolisian itu lebih kepada pencegahan, memberikan efek jera kepada pelaku dan (mengimbau) masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan pidana,” ujar Agus.
Guru Besar Ilmu Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Nurhasan Ismail mengatakan, pemberantasan jejaring mafia tanah di Kementerian ATR/BPN perlu dilakukan dengan meningkatkan pengawasan terhadap para pegawai. Sebab, secara administratif kantor pertanahan sudah memiliki standar operasional yang baik. Standar itu tidak menjadi halangan bagi pegawai yang berniat tidak baik. ”Sesempurnanya SOP pasti dilanggar untuk memperoleh keuntungan pribadi,” ujarnya.
Intensifikasi pengawasan yang dimaksud harus dilakukan oleh Menteri ATR/BPN dan inspektorat. Dari sisi eksternal, masyarakat pemilik tanah juga perlu ikut mengawasi.
Selain pengawasan, kata Nurhasan, pelibatan penegak hukum untuk menangani kasus mafia tanah juga perlu diperkuat. Banyak kasus yang terjadi di luar Jakarta semestinya bisa ditangani langsung oleh aparat. Namun, aparat juga harus memastikan kredibilitasnya. Jangan sampai ikut terlibat jaringan mafia.