Halalbihalal merupakan tradisi khas Indonesia. Tak hanya menjadi ajang bermaafan keluarga, halalbihalal juga kerap menjadi momentum meluruhkan perbedaan pandangan para elite politik dan pemerintahan.
Oleh
NINA SUSILO/SUHARTONO/ANGGER PUTRANTO
·5 menit baca
Perseteruan para elite akibat perbedaan aliran politik di era kabinet parlementer serta munculnya pemberontakan pada 1948 dan keinginan Belanda bercokol kembali di Tanah Air cukup membuat Presiden Soekarno khawatir akan adanya disintegrasi bangsa. Bapak Proklamasi itu pun memutar otak mengupayakan rekonsiliasi untuk mencegah perpecahan di republik yang baru tiga tahun berdiri.
Berbagai upaya telah dilakukan Presiden Soekarno, termasuk mengundang para elite bangsa untuk bertemu di Istana Kepresidenan, yang waktu itu berada di Gedung Agung, Yogyakarta. Namun, usaha itu belum juga membuahkan hasil karena tak satu tokoh pun yang memenuhi undangan.
Soekarno yang semakin cemas akan ancaman disintegrasi bangsa akhirnya memutuskan mengundang KH Abdul Wahab Hasbullah, Rais Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), untuk berdiskusi. Perseteruan antargolongan dan aliran politik yang cukup meningkatkan konstelasi politik menjadi tema diskusi kala itu.
Dalam buku Mbah Wahab Hasbullah, Kiai Nasionalis Pendiri NU yang ditulis KH Saifuddin Zuhri diceritakan, Wahab kemudian mengusulkan digelarnya silaturahmi nasional untuk mempertemukan para elite bangsa. Kebetulan saat itu sudah dekat Idul Fitri.
Namun, usulan itu tak langsung diterima. Presiden Soekarno keberatan menggunakan diksi silaturahmi karena dipandang terlalu umum. Wahab yang juga merupakan tokoh sentral Masyumi kemudian mengusulkan pertemuan antarelite bangsa diberi nama ”Halalbihalal”.
Kepada Soekarno, pendiri NU itu menjelaskan, para elite politik tak mau bersatu lantaran mereka saling menyalahkan satu sama lain. Saling menyalahkan merupakan perbuatan dosa yang haram dilakukan. Karena itu, untuk menghapus dosa yang tergolong haram, perlu dihalalkan. Para elite dari berbagai golongan dan aliran politik mesti duduk bersama, saling memaafkan dan menghalalkan.
Soekarno lantas setuju dengan penggunaan kata halalbihalal. Benar saja, pertemuan para elite dari berbagai golongan dan aliran politik yang diinginkan Soekarno pun terwujud. Mereka pun bertemu, duduk satu meja dalam bingkai halalbihalal pada momentum Lebaran pada 1948.
Meskipun halalbihalal terus berlangsung di setiap perayaan Idul Fitri, situasi politik dalam negeri saat itu sebagaimana diketahui tetap memanas hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dimulainya Demokrasi Terpimpin.
Saat tinggal di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Soekarno membuat tradisi halalbihalal setiap perayaan Idul Fitri. Tradisi itu, di antaranya, seusai memberi sambutan di Masjid Baiturrahim, yang dibangunnya di sisi barat Istana Merdeka, Presiden Soekarno berhalalbihalal dengan para duta besar negara sahabat dan pejabat di Jakarta, serta kelompok masyarakat lainnya, seperti Gerakan Wanita Marhaenis.
Tradisi halalbihalal itu pun terus berlanjut setelah era pemerintahan Soekarno berakhir. Presiden Soeharto yang memerintah sejak tahun 1967 selalu menggelar halalbihalal seusai shalat Id di Masjid Istiqlal.
Kini, halalbihalal, apa pun kondisinya, telah menjadi tradisi di instansi pemerintah, tingkat desa, kecamatan, kabupaten/ kota, provinsi, hingga pusat, tak pernah absen menggelar halalbihalal saat Lebaran. Tradisi itu pun kemudian menyebar luas di kalangan masyarakat, terutama umat Islam di Jawa.
Khas Indonesia
Halalbihalal merupakan tradisi khas Indonesia. Saiful Hakam (2015) dalam jurnalnya berjudul ”Halal Bi Halal, A Festival of Idul Fitri and It’s Relation with The History of Islamization in Java” menyebutkan, di masa Nabi Muhammad, Dinasti Ummayah, Abbasiyah, dan Kesultanan Utsmani Turki tak dikenal tradisi ini. Warga Arab Saudi ataupun negara-negara lain di Timur Tengah juga tak mengenal kebiasaan halalbihalal.
Quraish Shihab, seperti dikutip Maisarotil Husna (2019) dalam jurnalnya, ”Halal Bihalal dalam Perspektif Adat dan Syariat”, menjelaskan, dari sisi hukum, halalbihalal adalah mengubah yang awalnya haram dan berakibat dosa menjadi halal dengan memohon maaf. Adapun dari sisi bahasa, kata halal bisa dimaknai sebagai menyelesaikan masalah, mengurai benang kusut, mencairkan yang beku, dan membebaskan sesuatu.
Tradisi halalbihalal juga tak lepas dari kebiasaan sungkeman masyarakat Jawa. Sungkeman biasa dilakukan kepada orangtua sembari memohon ampun. Karena itu, bisa dikatakan, tradisi halalbihalal merupakan bagian dari akulturasi budaya pada awal masuknya Islam di Indonesia.
Meski mulai populer setelah Soekarno menggelar halalbihalal nasional, sebenarnya istilah itu sudah lama dikenal di Tanah Air. Istilah chalal bihalal mulai muncul dalam dokumen tertulis di majalah Soewara Moehammadijah edisi Nomor 5 Tahun 1924. Direktur Suara Muhammadiyah Deni As’ary menuturkan, kata chalal bichalal muncul dalam tulisan Rachmat, warga Muhammadiyah asal Gombong, berjudul ”Merayakan Idul Fitri”. Dalam chalal bihalal, umat Islam dianjurkan saling mengunjungi dan saling memaafkan.
Di edisi tahun 1926, majalah SM kembali menampilkan istilah serupa. Saat itu ada advertorial mengajak masyarakat untuk memasang iklan ucapan selamat Idul Fitri. ”Tahun 1926, ternyata sudah dipahami bahwa silaturahmi tak selalu dilakukan dengan tatap muka. Jadi bisa dilakukan melalui majalah Soewara Moehammadijah, harganya 0,5 gulden,” tutur Deni.
Jika dirunut lebih jauh, ternyata pertemuan raja dan para punggawa dan prajurit seusai shalat Idul Fitri sudah dilakukan KGPAA Mangkunegara I yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu dan tenaga, semua punggawa dan prajurit dikumpulkan untuk sungkem kepada raja dan permaisuri.
Virtual
Kini, saat pandemi Covid-19 masih melanda Tanah Air, tradisi halalbihalal pun bergeser dari pertemuan fisik menjadi daring dengan memanfaatkan teknologi informasi. Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, ataupun para menteri dan kepala daerah tak lagi mengadakan halalbihalal luring dua tahun ini.
Seusai shalat Id, Kamis (13/5/2021), Presiden bersama Nyonya Iriana bersilaturahmi secara virtual dengan Wapres dan Nyonya Wury Estu Handayani. Mereka saling menyapa dan bermaaf-maafan melalui panggilan video layanan perpesanan Whatsapp demi menghindari penularan Covid-19.
Silaturahmi secara virtual juga dilakukan keluarga besar trah Noor Soedarto yang batal berkumpul di Jetis, Yogyakarta. Melalui aplikasi zoom, Ibu Supartinah Noor Soedarto (86) bercengkerama dengan 14 anak dan menantu, 25 cucu dan cucu menantu, serta 16 cicit.
Bagaimanapun kondisinya, tradisi Lebaran tak akan lengkap tanpa halalbihalal. Tak hanya jadi ajang bermaafan antarkeluarga, halalbihalal juga kerap dimanfaatkan menjadi ajang rekonsiliasi para elite politik dan pemerintahan. (INA/HAR/GER)