Mahfud: Presiden Minta Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Berat Tetap Diselesaikan
Menko Polhukam Mahfud MD menyebut, Kejagung diperintahkan untuk menyelesaikan penyidikan sebagai tumpuan penegakan hukum pelanggaran HAM berat masa lalu. Presiden, kata Mahfud, ingin kasus itu diselesaikan komprehensif.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, Presiden Joko Widodo meminta agar aparat penegak hukum menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat semaksimal mungkin. Sebagai aktor kunci penyelesaian kasus HAM berat, Jaksa Agung diperintahkan untuk tetap memproses hukum kasus yang menjadi beban sejarah tersebut.
Mahfud MD saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (16/5/2021), menuturkan pihaknya memang telah memanggil Jaksa Agung dan Komnas HAM untuk membahas penyelesaian 13 kasus pelanggaran HAM berat. Pertemuan itu dilakukan di kantor Kemenko Polhukam sekitar bulan April 2021.
Menurut Mahfud, dalam pertemuan itu, dia menegaskan kepada Kejagung untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat semaksimal mungkin. Sebagai penyidik, Jaksa Agung diperintahkan untuk menyelesaikan proses penyidikan sebagai tumpuan proses penegakan hukum.
Namun, Mahfud tak memungkiri bahwa proses hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang rumit. ”Kami sedang bekerja keras untuk memproses ke pengadilan sejauh yang bisa diproses. Bersamaan dengan itu kami akan menyiapkan perangkat hukum untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),” ujar Mahfud.
Mahfud menjelaskan, Presiden meminta penyelesaian kasus pelanggaran HAM erat dilakukan secara komprehensif. Karena penyelesaian yudisial dianggap rumit persyaratan hukumnya, Presiden meminta agar ada penyelesaian di luar pengadilan (non-yudisial), yaitu dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR tidak akan menutup upaya penyelesaian yudisial, jika kemudian ditemukan bukti-bukti yang mendukung.
”Kita belajar dari pengalaman dulu juga, ketika mengajukan kasus pelanggaran HAM di Timor Timur, ternyata tidak satu pun dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung (MA). Terdakwa dibebaskan karena dugaan pelanggaran HAM berat tidak bisa dibuktikan di persidangan,” terang Mahfud.
Sebelumnya, kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur (1999) diproses di Pengadilan HAM ad hoc, sebagian besar terdakwa yang diajukan ke pengadilan divonis bebas lepas. Hanya satu yang dihukum, yaitu mantan Wakil Panglima Pejuang Integrasi (PPI) Timor Timur Eurico Gutteres.
Awalnya Gutteres dinyatakan bersalah karena perbuatan kejahatan melawan kemanusiaan yang dilakukan oleh anak buahnya dalam konteks komando sipil pada penyerangan terhadap pengungsi di rumah Manuel Viegas Carascalao di Liquisa 17 April 1999 yang menewaskan 12 orang pengungsi. Oleh pengadilan, Gutteres divonis 10 tahun penjara. Namun, di tingkat peninjauan kembali (PK), Mahkamah Agung membebaskan Gutterez dari segala dakwaan.
Selain itu, terdakwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, yaitu peristiwa Tanjung Priok (1984), dan Abepura (2000) juga divonis lepas. Sebab, pengadilan menilai bukti-bukti yang diajukan tidak cukup untuk meyakinkan majelis hakim terkait pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh terdakwa.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak saat ditanya soal tindak lanjut arahan Presiden melalui Menko Polhukam belum bisa merespons. ”Saya konfirmasi dulu besok sama bidang teknis,” katanya.
Tidak bisa ditindaklanjuti
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sekaligus Wakil Ketua Satuan Tugas Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Kejagung Ali Mukartono mengatakan, berkas perkara kasus pelanggaran HAM berat telah dievaluasi dan dilaporkan kepada Menko Polhukam. Ada 13 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut dia, tidak ada yang bisa ditindaklanjuti ke tahapan penyidikan, sebelum petunjuk itu dipenuhi Komnas HAM.
Sementara itu, Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan, bola penyelesaian kasus HAM berat kini berada di Kejagung. Sebab, petunjuk yang diberikan Jaksa Agung kepada Komnas HAM untuk memperbaiki berkas penyelidikan masih sama dengan 15 tahun yang lalu. Petunjuk itu, kata Amiruddin, tidak masuk akal dan tidak bisa dilakukan.
Amiruddin juga mengatakan, pada saat pertemuan antara Kejagung dan Komnas HAM di Kemenko Polhukam, Mahfud meminta Jaksa Agung untuk menindaklanjuti penyelidikan dari Komnas HAM. Sebab, Komnas HAM menolak melengkapi petunjuk yang diminta Jaksa Agung karena dianggap bukan lagi kewenangan mereka sebagai penyelidik.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, penuntasan kasus HAM berat yang menjadi janji pemerintah sangat dipengaruhi oleh kehendak baik dari Jaksa Agung, DPR, dan Presiden. Ketiganya memiliki peran signifikan yang menentukan jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc.
Sesuai dengan Pasal 21 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, kewenangan penyidikan perkara pelanggaran HAM berat ada di Jaksa Agung. Dalam melaksanakan tugasnya, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan atau masyarakat.
Menurut Usman, pelibatan unsur nonkejaksaan diperlukan untuk memperoleh penilaian obyektif dan independen karena tidak terikat secara hierarkis dengan Kejagung. Penyidik ad hoc juga berwenang memberikan penilaian apakah hasil penyelidikan Komnas HAM layak dilanjutkan ke tingkat penyidikan atau tidak.