Ziarah, Tradisi Masyarakat hingga Pemimpin Negara yang Terpaksa Ditinggalkan
Pandemi Covid-19 membuat masyarakat harus patuh meninggalkan ziarah makam kerabat dan orangtua yang telah menjadi tradisi di tiap Lebaran. Tradisi yang tak hanya mengakar di masyarakat, tetapi juga pemimpin Indonesia.
Lebaran kali ini sebagian warga, terutama di Jabodetabek, dihadapkan pada aturan larangan berziarah sejak Rabu (12/5/2021), sehari sebelum hari raya Idul Fitri 1442 Hijriyah, hingga Minggu (16/5/2021). Padahal tradisi ini telah mengakar. Tak hanya dilakukan masyarakat, ziarah juga dilakukan pemimpin Pemerintah Indonesia, baik dalam rangkaian hari raya maupun peristiwa politik dan kenegaraan.
Hal ini dapat ditelusuri pada pemberitaan, tulisan maupun foto, yang terbit di Kompas sejak beberapa dekade silam. Demikian pula pada beberapa dokumentasi lainnya.
Pada Sabtu, 22 September 1973, misalnya, Kompas memberitakan Presiden Soeharto sekeluarga yang sejak hari Kamis berada di Jawa Tengah untuk berziarah di makam orangtua. Hal ini selalu dilakukan kepala negara menjelang bulan puasa. Kunjungan kepala negara semacam ini bersifat acara pribadi.
Baca juga: Ziarah Dilarang, Pengelola TPU Meminta Petugas Pengamanan Tambahan
Kegiatan berziarah ke makam leluhur di kampung halaman juga dapat memberi kesempatan bertemu kerabat dan handai tolan. Berita Kompas, Jumat, 29 Juli 1977, menyebutkan, Presiden bersama Ny Tien Soeharto dan beberapa putra-putri serta cucunya, Kamis siang berkunjung ke Desa Kemusuk, Kelurahan Argomulyo, sebelah barat kota Yogya. Presiden, yang siang itu mengenakan kemeja batik merah berkembang-kembang, tampak gembira berjumpa kembali dengan sanak keluarga dan kenalan lamanya.
Presiden Soeharto biasa menyempatkan diri bersama keluarganya berziarah ke makam leluhurnya, hampir setiap tahun pada bulan Ruwah menurut perhitungan Jawa. Di sana ia membersihkan makam kedua orangtuanya dan memanjatkan doa (Berita Kompas, Jumat, 29 Juli 1977).
Masih di berita sama disebutkan, menurut keterangan pihak keluarga, Presiden Soeharto biasa menyempatkan diri bersama keluarganya berziarah ke makam leluhurnya, hampir setiap tahun pada bulan Ruwah menurut perhitungan Jawa. Di sana ia membersihkan makam kedua orangtuanya dan memanjatkan doa. Selesai berziarah di Kemusuk, Presiden sekeluarga terus menuju Sala. Di kota ini keluarganya juga menyelenggarakan upacara serupa.
Saat menayangkan berita bertajuk ”Pagi Ini Diumumkan Susunan Kabinet” pada Sabtu, 14 Maret 1998, Kompas juga mencatat ziarah yang dilakukan Wakil Presiden Habibie. Paragraf terakhir berita tersebut menyebutkan, antara lain, Wapres Habibie direncanakan berkunjung ke Jepang pada 18-20 Maret 1998. Pagi hari, sekitar pukul 08.00 WIB, Wapres Habibie berziarah ke makam ibundanya, Tuti Marini Puspowardojo, di TPU Tanah Kusir. Ibunda Habibie meninggal pada Juni 1990.
Baca juga: Ziarah Makam, Tradisi Jelang Ramadhan
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada Minggu, 25 Juni 1995, rubrik Nama dan Peristiwa Kompas menulis tentang Gus Dur dan Megawati yang berziarah ke makam Bung Karno. Ditulis bahwa Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid bersama Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Taufik Kiemas berziarah ke makam Bung Karno di Blitar, Kamis (22/6) malam. Rombongan tiba pada pukul 18.40 WIB.
Beberapa detail suasana pun digambarkan saat Gus Dur memimpin doa di samping makam Proklamator. Saat melakukan doa, lampu di dalam makam berkaca itu dipadamkan. Dengan khusuk, mereka berdoa selama sekitar 20 menit, dilanjutkan dengan tabur bunga.
Seusai menyampaikan doa, Megawati meneruskan tabur bunga di pusara kakek dan neneknya yang berada di dekat makam Bung Karno, sementara Gus Dur menunggu di luar cungkup. Setelah selesai, Megawati segera menghampiri dan menggandeng tangan Gus Dur menuju mobil sedan L 300 MZ.
Selanjutnya, pada Jumat 15 Januari 1999, Kompas melalui Sari Berita Sosial Politik menulis tentang Gus Dur dan Megawati yang berziarah ke makam ayahanda Gus Dur di Jombang, lalu ke makam proklamator Bung Karno di Blitar.
Baca juga: Wapres Ma’ruf dan Makam Raden Aria Wangsakara
Tradisi ”nyekar”
Nyekar atau nyadran, demikian biasanya masyarakat Jawa Tengah atau Jawa Timur menyebut tradisi ziarah kubur ini.
Sekar dalam bahasa jawa berarti bunga. Kata ini pun masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan salah satu artinya adalah kembang atau bunga. Apabila diberi awalan me-, sehingga menjadi menyekar, maka kata kerja tersebut memiliki arti berziarah ke kubur, biasanya dengan membawa bunga untuk ditaburkan di atas makam.
Sejarah kemudian mencatat, keduanya, Gus Dur dan Megawati, menjadi Presiden Republik Indonesia. Seperti warga kebanyakan, Presiden Megawati Soekarnoputri juga melakukan ziarah untuk menyambut tibanya bulan Ramadhan. Hal ini diabadikan dalam foto yang terbit di Kompas, Jumat, 15 Oktober 2004, saat Presiden Megawati bersama suami, Taufik Kiemas, dan putrinya, Puan Maharani, berziarah ke pusara ibundanya, Ibu Fatmawati, di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak di Tanah Abang, Jakarta, Kamis (14/10/2004).
Baca juga: Presiden Jokowi Berziarah ke Makam Bung Karno
Sementara itu dalam rubrik Sisi Lain Istana yang terbit di Kompas, 1 Juli 2014, dapat dijumpai petikan dari buku berjudul SBY-Selalu Ada Pilihan-Untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang. Dalam buku yang ditulisnya tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono antara lain mengatakan, ”Untuk diketahui, ibunda saya adalah seorang pengagum Bung Karno dan sudah beberapa kali saya diajak ziarah ke makam presiden pertama kita itu.”
Buku tersebut juga menceritakan pengalaman SBY dan keluarganya, termasuk saat singgah di Singosari dalam perjalanan dari Surabaya ke Blitar untuk sungkem kepada ibundanya, Siti Habibah, dan berziarah ke makam Bung Karno.
Pada buku berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams, kita juga dapat merasakan kecintaan dan hormat Bung Karno kepada ibundanya. Salah satu foto di buku tersebut menangkap momen Bung Karno yang sungkem kepada ibundanya, dengan keterangan foto: Meski aku menjadi Presiden, Ibuku tidak mau datang ke Istana Merdeka jadi aku selalu mohon restu ke Blitar.
Dari literatur yang ada, seperti pada buku berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams, kita juga dapat merasakan kecintaan dan hormat Bung Karno kepada ibundanya. Salah satu foto di buku tersebut menangkap momen Bung Karno yang sungkem kepada ibundanya, dengan keterangan foto: Meski aku menjadi Presiden, Ibuku tidak mau datang ke Istana Merdeka jadi aku selalu mohon restu ke Blitar.
Pada 26 Maret 2020 Kompas menulis obituari Sudjiatmi, ibunda Presiden Joko Widodo, yang berpulang Rabu (25/3/2020). Digambarkan dengan syahdu dalam tulisan tersebut restu ibu yang selalu mengiringi keputusan Jokowi saat mengikuti kontestasi politik. Disebutkan, misalnya, saat Jokowi sungkem sebagai wujud permohonan doa restu dari ibundanya.
Baca juga: Megawati Berziarah ke Makam Bung Karno
Selain sebagai sosok ibu yang sangat dihormati, Sudjiatmi juga tempat bagi Jokowi mengadu, bercerita, dan berkeluh kesah. Saat ada kesesakan persoalan pemerintahan di Jakarta, Jokowi biasanya lalu menelepon ibunya. Bahkan, jika dirasa penting, dan perlu pertemuan khusus dengan ibunya, Presiden menyempatkan terbang ke Solo menemui Sang Ibu dan nyekar di makam ayahandanya.
Prioritaskan kesehatan
Kini, pandemi Covid-19 yang melanda dunia telah mengubah berbagai sendi kehidupan warga. Anjuran mematuhi protokol kesehatan terus disuarakan di tengah perjuangan bersama dalam menghadapi dan berupaya mengatasi pandemi. Masyarakat mesti beradaptasi demi menghindari potensi penularan virus korona baru. Kesehatan mesti menjadi prioritas.
Melalui tradisi nyekar atau ziarah kubur, kita menghormati leluhur. Namun, penghormatan kepada leluhur dapat diwujudkan pula melalui berbagai cara. Di tengah pandemi kali ini, ketidakleluasaan berziarah kubur demi menghindari kerumunan, kiranya dapat dimaknai sebagai ikhtiar untuk melindungi keluarga dan handai tolan dari kemungkinan paparan Covid-19.
Kebijakan terkait pengendalian mobilitas pun telah dikeluarkan untuk menghindari kerumunan. Alhasil, beberapa kebiasaan atau tradisi terpaksa tidak dapat dilakukan di tengah pandemi. Sebut misalnya peniadaan halalbihalal dan open house atau buka griya di Idul Fitri 1442 Hijriah.
Beberapa pemerintah daerah pun bersepakat meniadakan ziarah kubur dalam kurun waktu tertentu di periode libur Lebaran tahun ini. Pemerintah daerah di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur, misalnya, bersepakat meniadakan ziarah kubur selama Rabu-Minggu (12-16 Mei 2021) ini.
Baca juga: Berbeda dengan Tangerang Selatan, Kota Tangerang Tiadakan Halalbihalal dan Ziarah Kubur
Melalui tradisi nyekar atau ziarah kubur, kita menghormati leluhur. Namun, penghormatan kepada leluhur dapat diwujudkan pula melalui berbagai cara. Di tengah pandemi kali ini, ketidakleluasaan berziarah kubur demi menghindari kerumunan, kiranya dapat dimaknai sebagai ikhtiar untuk melindungi keluarga dan handai tolan dari kemungkinan paparan Covid-19. Saling melindungi antarsaudara merupakan perwujudan hormat dan cinta kepada para leluhur yang menurunkan kita.
Marilah terus berjuang melawan Covid-19. Seperti dikatakan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan Selamat Idul Fitri 1442 Hijriah, hari kemenangan ini diharapkan menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk bangkit dan menang melawan pandemi Covid-19. Dan, mengikuti ajakan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, mari kita semua memperkokoh iman, imun, aman, dan mengucapkan amin agar senantiasa terlindung dari wabah virus korona. Semoga pandemi Covid-19 lekas sirna.