Rekam Jejak Semestinya Cukup Jadi Bahan Asesmen Alih Status Pegawai KPK
Tidak semestinya alih status pegawai KPK melalui tes wawasan kebangsaan. Sebaliknya, kompetensi dan integritas mereka dapat dinilai dari rekam jejaknya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara tak semestinya melalui tes wawasan kebangsaan, tetapi dapat dilihat dari rekam jejak pegawai tersebut. Tes wawasan kebangsaan yang dilakukan terhadap para pegawai KPK pun dinilai tidak relevan, dan dapat dianulir.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto saat dihubungi Sabtu (15/5/2021) mengatakan, untuk menjadi ASN, calon pegawai harus dilihat dari kompetensi, kinerja, dan integritasnya. Pegawai yang sudah bekerja lama terkait kompetensi dan integritasnya itu bisa dilihat dari rekam jejaknya.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Agus Pramusinto saat dihubungi Sabtu (15/5/2021) mengatakan, untuk menjadi ASN, calon pegawai harus dilihat dari kompetensi, kinerja, dan integritasnya. Pegawai yang sudah bekerja lama, terkait kompetensi dan integritasnya itu, bisa dilihat dari rekam jejaknya.
”Perubahan status ini diharapkan tetap memperhatikan hak pegawai,” ujar Agus.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, 75 pegawai KPK dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat menjadi ASN. Terhadap mereka, KPK meminta agar tugas dan tanggung jawabnya diserahkan kepada atasan sampai ada keputusan lebih lanjut.
Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi, pun menyampaikan, jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN, maka para pegawai KPK tidak perlu melalui serangkaian tes.
Prosedur pengalihannya hanya sekadar evaluasi dari kinerja mereka. Kemudian, mereka bisa dialihkan menjadi pegawai ASN sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pegawai berusia 35 tahun ke bawah menjadi pegawai negeri sipil (PNS), sementara yang berusia di atas 35 tahun menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Begitu pula dengan salah satu syarat menjadi ASN, seperti setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah. Menurut Sofian, keempat hal tersebut dapat dievaluasi dari rekam jejak para pegawai KPK, bukan melalui TWK.
”Mereka (75 pegawai KPK), kan, sudah bekerja belasan tahun, sehingga bisa dinilai berdasarkan track record (rekam jejak), pernah enggak mereka melanggar nilai-nilai dasar ASN itu. Itu tinggal dievaluasi. Jadi bukan mengadakan tes baru,” ujar Sofian, yang pernah menjabat Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) periode 2014-2019.
Tidak relevan
Sofian melanjutkan, dirinya tak hanya menemukan kejanggalan dalam proses peralihan status pegawai KPK, tetapi juga berkaitan dengan materi TWK yang diberikan. Berbagai keluhan muncul di mana materi TWK dinilai multitafsir.
”Jadi, kalau menurut saya, ya, mereka melakukan tes yang tidak relevan untuk menilai nilai-nilai dasar ASN,” kata Sofian.
Dengan demikian, menurut Sofian, tidak ada alasan untuk tidak menerima pegawai KPK itu sebagai ASN. Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) harus mengambil alih proses ini, kemudian menganulir hasil TWK. ”Jadi tidak bisa dipakai (hasil TWK itu),” katanya.
Mereka (75 pegawai KPK), kan, sudah bekerja belasan tahun sehingga bisa dinilai berdasarkan track record (rekam jejak), pernah enggak mereka melanggar nilai-nilai dasar ASN itu. Itu tinggal dievaluasi. Jadi bukan mengadakan tes baru.
Lebih dari itu, Presiden Joko Widodo seharusnya juga segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini. Apalagi, Presiden, menurut Pasal 25 UU ASN, merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN.
”Presiden harus cepat turun tangan karena beliau adalah pembina tertinggi (ASN). Beliau harus cepat ambil sikap dan menganulir keputusan Ketua KPK dan langsung meminta Kepala BKN mengangkat (para pegawai KPK),” ucap Sofian.
Sofian juga berpandangan bahwa KASN perlu ikut mengawasi proses peralihan status ini. Seluruh prosesnya harus tetap berdasarkan prinsip sistem merit. ”Kalau di dalam penyeleksian ini ada tes-tes yang tidak berdasarkan prinsip merit, hanya melihat orang bersedia bekerja tanpa jilbab atau dia bershalat pakai doa Qunut atau tidak, itu, kan, jelas melanggar prinsip merit,” katanya.
Bagi pegawai KPK yang merasa dirugikan dengan peralihan status ini, menurut Sofian, mereka juga dapat menggugatnya. ”Jelas bisa digugat karena itu satu pengertian, bukan cara untuk melakukan pengalihan pegawai,” katanya.
Tidak beralasan hukum
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, penyerahan tanggung jawab 75 pegawai KPK kepada atasan mereka langsung tidak beralasan secara hukum. Sebab, sesungguhnya mereka masih berstatus sebagai pegawai KPK sesuai surat keputusan pengangkatan mereka. Surat keputusan pengangkatan itu hanya bisa dicabut dengan surat keputusan pemberhentian.
”Dan untuk memberhentikan seorang pegawai KPK dari tugas dan tanggung jawabnya itu, harus berdasarkan alasan yang jelas. Misal, dia diduga melakukan pelanggaran etik atau tindak pidana. Nah, mereka dibebastugaskan sehingga dapat fokus menghadapi sangkaan atau dugaan yang dituduhkan kepada dirinya,” ucap Zaenur.
Rawan terdampak
Zaenur menilai polemik yang muncul akibat penyelenggaraan TWK ini sangat merugikan KPK. Citra KPK secara khusus pimpinan KPK bisa menjadi buruk di mata publik. Kerja-kerja KPK pun pasti terdampak secara signifikan karena lembaga antirasuah tersebut justru saat ini lebih sibuk mengurus persoalan internalnya daripada menangani kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
”Jadi, alih-alih TWK ini bisa menghasilkan kebaikan di KPK, justru mengakibatkan kerusakan yang sangat besar,” kata Zaenur.
Presiden perlu menegaskan bahwa yang perlu dilakukan adalah alih status bukan seleksi ulang. Ini kesempatan bagi Presiden untuk menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
Lebih jauh, banyak pegawai yang berintegritas dan menyelidiki kasus-kasus korupsi besar malah tersingkir lewat penyelenggaraan TWK. Ini, menurutnya, semakin memperkuat asumsi bahwa ada kekuatan di pimpinan KPK yang ingin menyingkirkan pihak-pihak tertentu.
”TWK ini telah memakan banyak sekali korban, dan nama-nama itu adalah nama-nama yang berintegritas dan rekam jejaknya sama sekali tidak bisa diragukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Mereka jelas berwawasan kebangsaan, telah berkontribusi sangat besar selama ini dalam menjaga republik ini dari rongrongan para koruptor,” ucap Zaenur.
Zaenur melihat ini adalah waktu yang tepat atau momentum yang baik bagi Presiden untuk menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi, apalagi Presiden adalah pembina tertinggi ASN.
”Presiden perlu menegaskan bahwa yang perlu dilakukan adalah alih status bukan seleksi ulang. Ini kesempatan bagi Presiden untuk menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi,” kata Zaenur.