Selama 23 tahun, Sumarsih memperjuangkan keadilan dan HAM. Konsistensinya, antara lain, ditunjukkan dengan melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara sejak 2007 sebanyak lebih dari 600 kali.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Saat bertemu dengan Maria Katarina Sumarsih (69), jejak luka batin karena kehilangan putra sulungnya yang diterjang peluru aparat pada peristiwa Semanggi I, 13 November 1998, seolah tak tampak. Sumarsih tampak tegar dan kuat, apalagi jika melihat riwayat perjuangannya yang terjal dan panjang. Meski rambutnya telah memutih dimakan usia, semangatnya untuk memperjuangkan keadilan selalu muda.
”Kepergian Wawan telah mengubah drastis hidup saya. Tetapi, kalau mengingat kembali perjuangan Wawan dan kawan-kawan, soal enam agenda reformasi, termasuk supremasi hukum, saya kembali disadarkan untuk kembali berjuang. Melawan lelah,” ujar Sumarsih dengan suara memelan, di rumahnya, Rabu (5/5/2021).
Putra sulungnya, Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan, tewas ditembak aparat saat Tragedi Semanggi I. Saat itu, Wawan masih duduk di semester V, Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta. Sepeninggal anaknya 23 tahun lalu, Sumarsih terus berjuang mencari keadilan. Ia seolah tidak pernah kehilangan api semangat meski tantangan yang dihadapi begitu berliku.
Sejak tahun 2007, bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Sumarsih dan istri almarhum pejuang HAM Munir, Suciwati, menjadi inisiator aksi Kamisan di depan Istana Negara. Kini, aksi Kamisan sudah dilakukan lebih dari 600 kali.
Sumarsih seolah menjadi simbol keberanian dan konsistensi mencari keadilan dari seorang ibu. Rasa cinta kasih yang besar kepada anaknya memberinya kekuatan untuk terus melawan rasa takut, lelah, demi tegaknya keadilan. Lebih jauh, dia juga memimpikan Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis, sesuai amanat UUD 1945, yang lebih menghargai HAM.
”Cinta kasih dalam keluarga bisa menumbuhkan semangat dan harapan. Ketika kami mengasihi Wawan, dukacita keluarga ini bisa bertransformasi pada cinta kasih kepada sesama, hingga kami bisa berjuang bersama mencari keadilan. Ini yang menyemangati kami sekeluarga,” kata Sumarsih.
Autodidak belajar HAM
Pemahaman Sumarsih soal isu HAM dan demokrasi tidak serta-merta terbentuk. Meski bekerja selama 24 tahun sebagai aparatur sipil negara di Sekretariat Jenderal DPR, ia tak banyak paham soal isu tersebut. Baru kemudian, saat berjuang mencari keadilan atas kematian putranya, dia terjun dan belajar langsung secara autodidak terkait isu HAM.
Dia juga terlibat aktif di berbagai kegiatan advokasi HAM bersama masyarakat sipil pejuang HAM dan demokrasi. Misalnya dalam kegiatan yang dilakukan oleh Kontras, Amnesty International Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan organisasi nirlaba lainnya. Pelan-pelan, pemahamannya akan isu hukum, HAM, dan demokrasi semakin membaik.
Selain itu, dia didukung oleh suaminya, Arief Priyadi, yang bekerja sebagai peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Di rak buku kaca yang berada di ruang tamu, terlihat deretan buku bertema HAM dan demokrasi.
Saat mendiang Wawan masih hidup, di meja makan pun dia membicarakan soal enam agenda reformasi.
”Saat mendiang Wawan masih hidup, di meja makan pun dia membicarakan soal enam agenda reformasi. Dia selalu menceritakan dinamika perjuangannya bersama teman-teman aktivis mahasiswa. Karena teringat itu, saya ingin memperjuangkan terus agenda reformasi ketiga, yaitu supremasi hukum,” terang Sumarsih.
Sumarsih mengatakan, saat mengirimkan surat rutin kepada presiden pada hari Kamis, dia selalu menyampaikan bahwa penuntasan kasus penembakan mahasiswa 1998 akan menjadi barometer penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Apalagi, agenda itu juga masuk dalam janji kampanye dan program kerja Presiden Joko Widodo yang dikenal dengan Nawacita. Dalam Nawacita, Presiden berkomitmen untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat untuk menghapuskan impunitas.
Perjuangan menghapuskan impunitas ini memang lazim dilakukan di negara-negara yang sedang mencari bentuk demokrasi mapan. Contohnya seperti di Argentina, dengan gerakan ”Mothers of The Plaza de Majo” di Buenos Aires. Para ibu berkerumun dan berjalan memakai popok di kepala bertuliskan nama anak-anak mereka yang hilang dan diduga dibunuh rezim otoriter 1976-1983.
Setelah 29 tahun berjuang, tujuan mereka akhirnya tercapai seiring perubahan Argentina menjadi lebih demokratis dan menjunjung tinggi HAM. Sejumlah perwira militer diadili di pengadilan dan Pemerintah Argentina membentuk komisi nasional untuk orang hilang.
”Kelak saya juga akan meninggal. Tetapi, saya berharap proses hukum terhadap kasus penembakan mahasiswa ini dijadikan jaminan ke depan agar kasus pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi. Agar tidak ada kelompok atau orang yang kebal hukum,” imbuh Sumarsih.
Dukungan berbagai pihak
Sumarsih mengaku mendapatkan banyak dukungan moril dan materiil dari masyarakat sipil pejuang HAM dan demokrasi. Mereka selalu berada di belakang Sumarsih setiap kali ia menemui aral. Misalnya, saat dia menggugat pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja di DPR, yang menyebut bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat.
Bersama Ho Kim Ngo, ibu dari almarhum Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi korban Semanggi II, dia menggugat pernyataan Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di tingkat pertama, gugatannya dikabulkan. Jaksa Agung dianggap melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, di tingkat banding, gugatannya kalah. Kini, dia sedang mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung.
Jika mengingat pernyataan Jaksa Agung itu, hati Sumarsih sebenarnya masih sakit. Sebab, Kejaksaan Agung adalah aktor kunci dalam penuntasan kasus HAM berat secara hukum. Namun, pernyataan Jaksa Agung dalam rapat kerja DPR justru bertentangan dengan hasil penyelidikan yang telah dirampungkan Komnas HAM. Seolah, Jaksa Agung justru berhadap-hadapan melawan keluarga korban pelanggaran HAM berat.
Jaksa Agung seharusnya malu melawan rakyat kecil yang sudah tua, yang rambutnya sudah putih.
Padahal, Presiden Joko Widodo selalu meminta Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Dalam berbagai kesempatan, seperti peringatan hari HAM dan rapat kerja Kejaksaan Agung, Presiden Jokowi selalu mengungkapkan komitmennya itu.
”Jaksa Agung seharusnya malu melawan rakyat kecil yang sudah tua, yang rambutnya sudah putih,” ucap Sumarsih.
Kini, seiring dengan pengetahuannya yang meningkat mengenai isu HAM, Sumarsih kerap hadir dalam advokasi kasus pelanggaran HAM berat seperti di Talangsari, Lampung. Dia kerap diundang sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman dengan para korban lainnya.
Di media sosial, Sumarsih termasuk sosok yang berpengaruh. Akun Twitter-nya, @Sumarsih11, diikuti oleh 8.502 pengikut. Ia kerap membagikan informasi maupun membalas pertanyaan seputar isu HAM. Di masa pandemi Covid-19, di mana aksi Kamisan sementara dilakukan di rumah saja, media sosial menjadi media efektif untuk diseminasi informasi.
Sumarsih berharap kelak masyarakat akan lebih paham isu HAM sehingga kebutuhan penghargaan atas HAM di negara demokrasi tidak lagi menjadi isu yang berjarak di tengah masyarakat. Sebab, HAM merupakan fondasi dasar negara demokratis. HAM melihat kesetaraan manusia, misalnya di mata hukum.
Ketika melakukan pelanggaran hukum, seseorang yang memiliki jabatan, kedudukan, dan akses pada kekuasaan seharusnya tidak bisa menghindar atau kebal hukum. Sebuah cita-cita yang dulu diperjuangkan anaknya kini terus dilanjutkan oleh Sumarsih untuk generasi mendatang.
Maria Katarina Sumarsih
Lahir: Kabupaten Semarang, 5 Mei 1952
Suami: AMJ Arief Priyadi
Anak:
Bernardus Realino Norma Irawan (alm)
Benedicta Rosalia Irma Normaningsih
Pendidikan:
Sekolah Rakyat Ds Tawang
SMEP Negeri Salatiga
SMEA Negeri Salatiga
Pekerjaan: PNS Setjen DPR 1982-2006
Penghargaan: Yap Thiam Hien Award pada 10 Desember 2004