Keluarga korban menolak lupa atas peristiwa yang membuat mereka kehilangan orang terkasih. Jalan berliku mencari keadilan sungguh melelahkan. Namun, nyala api keyakinan membuat mereka terus melangkah.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
Sudah 23 tahun Maria Catarina Sumarsih (69) memperjuangkan keadilan. Putra sulungnya, Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan, tewas ditembak saat Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Luka batin atas kehilangan sang putra yang kala itu mahasiswa Universitas Atma Jaya, Jakarta, berubah menjadi kegigihan memperjuangkan keadilan meski jalan yang ditapaki berliku, terjal, dan amat melelahkan.
Sejak 2007, ia ikut Aksi Kamisan bersama keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat lainnya, serta masyarakat yang peduli isu HAM. Sudah lebih dari 600 kali Aksi Kamisan berlalu.
”Sejak pandemi Covid-19 ini, aksi Kamisan ditiadakan. Kami mengirim surat rutin kepada Presiden,” ujar Sumarsih di rumahnya di Jakarta, Rabu (5/5/2021).
Hari itu ia duduk di ruang tamu rumahnya sembari memeluk satu bundel berkas tebal memori kasasi yang sedang dia ajukan ke Mahkamah Agung. Bersama keluarga korban lain, ia menggugat pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin, yang dalam rapat di DPR menyebut tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat.
Bagi Sumarsih, perjalanan menuntut keadilan itu seolah tak berujung. Ia bisa melaluinya karena besarnya dukungan masyarakat sipil. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kontras, LBH Jakarta, Amnesty International Indonesia, dan lembaga lainnya menyokong Sumarsih. Mereka membantu menyusun berkas gugatan, mengumpulkan bukti-bukti, menghadirkan ahli hukum ke persidangan, hingga menanggung biaya perkara.
”Setiap kali saya mau membayar biaya perkara, selalu dicegah teman-teman yang mendampingi saya. Mereka bilang, ’sudah Ibu biar saya saja yang bayar’,” kata Sumarsih.
Ada banyak keluarga korban pelanggaran HAM berat yang ikut aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta. Mereka tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan. Di antaranya korban kasus penembakan mahasiswa, kerusuhan Mei, dan korban penghilangan paksa dalam aksi menuntut reformasi tahun 1998.
Aksi Kamisan mengingatkan publik pada gerakan ibu-ibu dari Argentina, korban kediktatoran rezim militer. Para ibu itu rutin menggelar aksi di Plaza de Mayo, di depan Istana Kepresidenan Argentina.
Mereka menuntut pemerintah bertanggung jawab atas anak-anak mereka yang hilang dan diduga dibunuh rezim otoriter 1976-1983. Tujuan mereka tercapai seiring perubahan Argentina menjadi lebih demokratis dan menghormati HAM.
Saling menguatkan
Solidaritas itu membuat Sumarsih tak pernah merasa sendirian. Saat ia kelelahan, solidaritas sesama keluarga korban dan dukungan dari kelompok masyarakat sipil kembali menguatkannya.
”Cinta kasih dalam keluarga bisa menumbuhkan semangat dan harapan. Ketika kami mengasihi Wawan, dukacita keluarga ini bisa bertransformasi pada cinta kasih kepada sesama, hingga kami bisa berjuang bersama mencari keadilan,” kata Sumarsih.
Ibu korban lain, Maria Sanu (73), yang kehilangan putranya, Stevanus Sanu, saat kerusuhan di Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur, juga tak pernah kehilangan semangatnya. Jauh di lubuk hatinya, dia terus berharap pelaku kerusuhan Mei 1998 itu dapat diungkap dan diadili.
Sebagai orang yang tak lagi muda, Maria mengakui bahwa terkadang fisik dan mentalnya lelah berjuang dalam aksi Kamisan. Awalnya, para keluarga korban kerusuhan Yogya Plaza banyak yang ikut aksi Kamisan. Kini, tinggal dirinya yang masih aktif mengikuti perkembangan di JSKK. Akhirnya, Maria juga menjadi perantara informasi dan advokasi hukum bagi keluarga lain.
”Jenuh itu pasti karena seolah kita menunggu pepesan kosong. Kami berharap negara mau mengakui rangkai peristiwa kekerasan 1998, dan segera menindaklanjuti secara hukum. Tapi, sampai saat ini hanya janji-janji, tidak ada kejelasan,” kata Maria.
Selama pandemi Covid-19, Maria pun tak banyak melakukan aksi. Sebab, dia memiliki keterbatasan dalam mengakses teknologi, misalnya ketika harus rapat daring dengan aplikasi Zoom. Dia kerap kebingungan sehingga memilih untuk tidak terlibat dalam kegiatan rapat daring. Namun, dia tetap menjaga komunikasi dengan JSKK.
”Hanya iman yang membuat saya terus berjuang sampai sekarang. Saya mau terus bergerak memperjuangkan keadilan bagi anak saya yang saat itu baru berusia 16 tahun saat menjadi korban kerusuhan Mei 1998,” tutur Maria.
Korban lain, Paian Siahaan (74) adalah ayah dari Ucok Munandar Siahaan, salah satu korban penghilangan paksa 97-98. Paian Siahaan adalah 1 dari 13 keluarga korban penghilangan paksa 97-98 yang hingga kini masih menantikan kabar anaknya.
Ucok Munandar Siahaan adalah anak kedua dari ketiga anaknya. Ketika hilang, Ucok sedang menjalani kuliah di Perbanas Institute, Kuningan, Jakarta, semester VI. Hingga saat ini, Paian masih menyimpan sebagian barang milik Ucok, seperti pakaian dan buku-buku kuliahnya.
Dulu, lanjut Paian, selain berjuang melalui jalur formal, keluarga juga berupaya menemukan Ucok melalui jalur lain, seperti dengan bertanya kepada ”orang pintar”. Pernah ada yang mengatakan sang anak berada di sebuah gunung dekat Kota Bogor. Kemudian yang lain mengatakan sang anak berada di Aceh. Keluarga pun berupaya menelusuri informasi itu karena besarnya harapan untuk menemukan sang anak.
Sejak Ucok hilang, lanjut Paian, istrinya menjadi sakit-sakitan. Tekanan batin yang dialami berdampak pada fisiknya. Saat ini, sang istri hanya dapat berbaring di tempat tidur dan tidak bisa jalan. Sementara uang untuk biaya pengobatan terus diperlukan.
”Peristiwa ini sangat berdampak pada psikologis dan ekonomi keluarga. Untuk kesehatan, memang kami punya BPJS Kesehatan, tapi tidak semua dikaver,” tutur Paian.
Persoalan biaya untuk berobat memang menjadi kekhawatiran. Namun, Paian lebih khawatir kasus tersebut akan hilang begitu saja seiring dia dan istrinya semakin menua.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso mengatakan, Jaksa Agung adalah aparat penegak hukum yang seharusnya memiliki posisi independen dalam proses penegakan hukum. Jika kemudian kejaksaan mengingkari hasil penyelidikan Komnas HAM, itu memperlihatkan bahwa ada politik hukum pada peristiwa pelanggaran HAM 1998.
Padahal, Kejagung adalah aktor kunci proses hukum kasus sampai ke pengadilan. Itu karena dalam sistem hukum di Indonesia, suatu perkara bisa terus diselesaikan dalam pengadilan HAM dengan keputusan dari Kejaksaan Agung sebab mereka yang akan menuntut. Melihat fakta itu, dia mengapresiasi upaya korban pelanggaran HAM berat yang terus memperjuangkan rasa keadilan.
Selama 23 tahun, semua usaha sudah dilakukan keluarga korban, seperti audiensi ke sejumlah instansi dan pejabat publik. Kini, mereka hanya berharap; keadilan datang menyapa.