Penyidik ”Ad Hoc” Bisa Jadi Solusi Atasi Kemandekan Penuntasan Kasus HAM 1998
Penyidik ”ad hoc” dinilai dapat mengatasi mandeknya penanganan kasus pelanggaran HAM berat 1998. Sebab, unsur penyidik ”ad hoc” itu tidak hanya Jaksa Agung, tetapi juga masyarakat sipil.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah merampungkan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat 1998 meski berulang kali berkas penyelidikan itu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung karena dianggap tak lengkap. Pegiat HAM berpendapat, perlu dicoba pembentukan penyidik HAM ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat sipil.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid saat dihubungi, Selasa (11/5/2021), mengatakan, ketentuan mengenai penyidik HAM ad hoc itu diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Persisnya diatur dalam Pasal 21 Ayat 3 bahwa Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan atau masyarakat.
Tim penyidik ad hoc itulah, menurut Usman, yang akan memutuskan langkah penyidikan, termasuk jika ada bukti yang ditemukan dianggap tidak mencukupi sehingga kasus harus dihentikan. Namun, sebelum itu harus ada langkah penyelidikan terlebih dulu, yaitu dengan mengumpulkan bukti, memanggil orang, dan memeriksa tempat terjadi perkara.
”Selama tim penyidik ad hoc belum dibentuk Jaksa Agung, berkas kasus pelanggaran HAM berat akan tetap seperti ini, bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung,” ujar Usman.
Selama ini, dalam proses hukum kasus pelanggaran HAM berat, Jaksa Agung sebagai penyidik selalu meminta Komnas HAM melengkapi berkas penyelidikan karena dianggap kurang. Sementara Komnas HAM menyatakan bahwa berkas penyelidikan sudah cukup.
Padahal, menurut penilaian Usman, permintaan Jaksa Agung itu merupakan ranah penyidik, bukan Komnas HAM selaku penyelidik. Salah satunya Komnas HAM pernah diminta untuk melengkapi bukti berupa surat tugas dari TNI terkait dengan peristiwa 1998.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Usman mengusulkan agar dilakukan penyelidikan ulang dengan supervisi Kejagung. Misalnya, ketika Komnas HAM hendak memanggil seseorang, hal itu dilakukan dengan sepengetahuan Jaksa Agung. Dengan demikian, proses pemberkasan akan sesuai dengan standar kejaksaan.
Kasus pelanggaran HAM berat ini jangan dijadikan status quo. Kejaksaan Agung harus mengambil sikap, sampaikan pendapat apa rekomendasi mereka. Kalau kasus hanya bolak-balik dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM, yang terjadi hanya silang pendapat terus, tidak ada langkah maju penyelesaian kasus HAM berat. (Arsul Sani)
Jangan digantung
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, juga meminta Kejagung tidak terlalu lama menggantung status hukum kasus pelanggaran HAM berat. Menurut Arsul, proses yang berlarut, tanpa ada perkembangan berarti ini, kerap membuat keluarga korban kecewa. Padahal, janji penuntasan pelanggaran HAM ada di program kerja Nawacita Jokowi.
Sebagai penyidik, Kejagung harus segera menentukan sikap hukum terhadap perkara yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Ketika memang perkara dianggap tidak layak untuk dilimpahkan ke pengadilan, hal itu harus disampaikan ke masyarakat secara jujur dengan argumen yang kuat. Dengan langkah itulah, masyarakat tidak akan menunggu berlarut-larut.
”Kasus pelanggaran HAM berat ini jangan dijadikan status quo. Kejaksaan Agung harus mengambil sikap, sampaikan pendapat apa rekomendasi mereka. Kalau kasus hanya bolak-balik dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM, yang terjadi hanya silang pendapat terus, tidak ada langkah maju penyelesaian kasus HAM berat,” kata Arsul.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Ali Mukartono, yang juga Wakil Ketua Tim Khusus atau Satuan Tugas Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM berat yang dibentuk Jaksa Agung, mengatakan, pihaknya telah melakukan evaluasi terhadap berkas perkara kasus pelanggaran HAM berat. Kemudian, evaluasi itu telah dilaporkan kepada Menteri Koordiantor Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
”Kemarin, kami laporkan bahwa tidak ada yang bisa ditindaklanjuti sebelum petunjuk itu dipenuhi Komnas HAM. Nah, ini mau diapakan? Kita menunggu arahan dari Menko Polhukam,” ujar Ali.
Ali mengatakan, terdapat 13 kasus pelanggaran HAM berat. Kasus itu adalah 9 kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu dan 4 kasus pelanggaran HAM berat setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Rinciannya adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari Lampung 1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, dan peristiwa Jambu Keupok Aceh 2003, serta kasus Paniai tahun 2014.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan, pembentukan tim penyidik ad hoc merupakan kewenangan dari Jaksa Agung. Jadi, sekarang bola penyelesaian hukum kasus HAM masa lalu sepenuhnya ada pada Jaksa Agung. Jika memiliki komitmen untuk merealisasikan amanat UU Pengadilan HAM, Jaksa Agung akan membentuknya.
”Sesuai hak dari Komnas HAM, kami berharap penyelidikan yang sudah diselesaikan oleh kami segera dituntaskan. Semua itu telah menjadi ranah dari aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung. Kami juga menunggu bagaimana strategi penyelesaiannya,” kata Beka.
Sesuai hak dari Komnas HAM, kami berharap penyelidikan yang sudah diselesaikan oleh kami segera dituntaskan. Semua itu telah menjadi ranah dari aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung. Kami juga menunggu bagaimana strategi penyelesaiannya. (Beka Ulung Hapsara)
Beka menambahkan, Komnas HAM merasa penyelidikan yang disusun telah selesai dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi mereka sebagai penyelidik. Adapun permintaan perbaikan yang diminta kejaksaan bukan lagi menjadi kewenangan Komnas HAM, melainkan kejaksaan.