Pemerintah Kaji Pemilahan Kasus untuk Penyelesaian Non-yudisial
Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menyebut upaya penyelesaian di luar pengadilan yang digagas pemerintah adalah terobosan untuk memecah kebuntuan penuntasan kasus HAM berat masa lalu.

Istri almarhum Munir, Suciwati (kiri) dan Maria Catarina Sumarsih, ibunda Bernardinus Realino Norma Irmawan, bersama aktivis dan sukarelawan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengikuti aksi diam Kamisan ke-609 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mengatasi kebuntuan penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat masa lalu, pemerintah sedang mendorong penyelesaian di luar pengadilan. Pemerintah akan membuat klasifikasi berdasarkan lamanya kasus. Namun, sejumlah pihak menilai hal itu tidak sesuai dengan mekanisme Undang-Undang Pengadilan HAM.
Seperti diberitakan, keluarga korban pelanggaran HAM berat, termasuk pelanggaran HAM 1997-1998, terus mendorong penuntasan kasus itu. Jajak pendapat Kompas menunjukkan, 80 persen responden menganggap pelanggaran HAM Mei 1998 belum tuntas atau tuntas sebagian. Sebanyak 59,7 persen responden mendorong penuntasan melalui peradilan (Kompas, 10/5/2021).
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum, dan HAM Mualimin Abdi saat dihubungi, Senin (10/5/2021), upaya penyelesaian di luar pengadilan yang digagas pemerintah ini adalah terobosan untuk memecah kebuntuan penuntasan kasus HAM berat masa lalu. Upaya itu sedang dijajaki pemerintah melalui Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Hak Asasi Manusia Berat melalui Mekanisme Non-yudisial (UKP-PPHB).
Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) UKP-PPHB telah diajukan ke presiden untuk dimintakan izin prakarsa. Namun, hingga saat ini, izin prakarsa belum diperoleh.
Menurut Mualimin, berdasarkan survei Ditjen HAM Kemenkumham, korban pelanggaran HAM berat masa lalu banyak yang sudah renta. Mereka mengaku membutuhkan kehadiran negara untuk memberikan rehabilitasi dan restitusi. Misalnya, korban peristiwa Talangsari, Lampung tahun 1989. Banyak korban yang sudah sangat tua, dan membutuhkan pemulihan dari negara.

Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi
”Korban itu semakin lama semakin tua, mereka lelah diwawancarai terus. Mereka selalu mengatakan, setelah ini kita mau diapain sih? Itulah sebabnya negara mau hadir. Di beberapa daerah, seperti Palu, Sulawesi Tengah, pemdanya malah sudah hadir melalui kebijakan daerah,” ujar Mualimin.
Baca juga: Keluarga Korban Pelanggaran HAM Menolak untuk Menyerah
Mualimin mengatakan, upaya penyelesaian non-yudisial ini tidak akan menutup penuntasan kasus pelanggaran HAM berat secara hukum. Sebab, penyelesaian secara hukum itu merupakan ranah aparat penegak hukum. Ranah pemerintah adalah memberikan pemulihan, dan kompensasi sebagai bentuk pertanggungjawaban negara. Oleh karena itu, dia meminta keluarga korban tidak terlalu khawatir dengan rencana UKP-PPHB ini.
Baca juga: Ibu Korban Pelanggaran HAM Mei 1998 Menuntut Keadilan
”Nanti akan diproses secara berjenjang juga, mana yang lebih cocok diselesaikan secara non-yudisial ini. Misalnya di Talangsari itu kan sudah lama peristiwanya sejak 1989, itu kita prioritaskan ketimbang peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Kita akan melihat dari lamanya kasus karena pertimbangannya korban semakin renta,” imbuh Mualimin.
Kejaksaan Agung menyebut ada 13 kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Kejadian itu, antara lain, Peristiwa 65-66; Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II; Peristiwa Wasior dan Wamena 2001; Peristiwa Jambu Keupok Aceh 2003; dan Peristiwa Paniai 2014.

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan, Kejaksaan Agung sebaiknya tak menggantung sikap terhadap belasan kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komnas HAM.
”Kejaksaan Agung harus tegas, sampaikan dulu sikap hukumnya apakah perkara-perkara yang diselidiki Komnas HAM bisa dilimpahkan ke pengadilan atau tidak? Baru, setelah itu bisa bergerak ke pilihan penyelesaian apakah yudisial atau non-yudisial,” kata Arsul.
Selesaikan sesuai UU
Namun, keluarga korban, khususnya pelanggaran HAM berat 1998 berharap upaya pemenuhan keadilan dilakukan sesuai mekanisme UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebelum upaya penyelesaian kasus di luar pengadilan dilakukan oleh pemerintah, pihak korban berharap ada kepastian hukum terlebih dahulu.
Sumarsih (69), ibu mahasiswa korban penembakan Semanggi I, mengatakan, pemerintah dan DPR seharusnya menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat sesuai dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Di UU itu, diatur bahwa penyelesaian secara hukum dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi korban.
Sebab, ketika kasus sudah dibawa ke pengadilan HAM adhoc, secara otomatis korban akan mendapatkan hak-haknya berupa kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi. Hak-hak korban itu didapatkan tanpa mengesampingkan penyelesaian secara hukum.
”Kami mau penyelesaian pelanggaran HAM berat ini dilakukan sesuai mekanisme UU. Tempatkan segala persoalan sesuai jalur UU yang telah dibuat oleh pemerintah dan DPR. Jangan sampai mereka mengingkari UU yang dibuat sendiri,” kata Sumarsih.

Maria Catarina Sumarsih memperlihatkan berkas memori kasasi melawan Jaksa Agung yang sedang dia ajukan ke Mahkamah Agung, Rabu (5/5/2021). Sumarsih adalah ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas tertembak saat Tragedi Semanggi I, 13 November 1998.
Sumarsih mengatakan, dia dan keluarga lain akan terus berjuang di jalur hukum karena teringat pada enam agenda reformasi yang diperjuangkan anak-anak mereka. Pada masa transisi rezim otoriter ke reformasi, banyak korban tewas karena memperjuangkan agenda reformasi salah satunya supremasi hukum.
Menurut Sumarsih, salah satu agenda reformasi adalah kesetaraan di depan hukum bagi semua warga negara. UUD 1945 secara jelas mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tidak boleh ada sekelompok warga negara yang memiliki kapasitas dan akses tertentu memperoleh impunitas atau kekebalan hukum. Perjuangan melawan impunitas ini juga dilakukan untuk memastikan hukum ditegakkan terhadap semua komponen negara. Selain itu, juga untuk menjamin kejahatan kemanusiaan tak terjadi lagi.
Ibu korban kerusuhan Yogya Plaza, Klender, 1998, Maria Sanu (73), mengatakan, tak dimungkiri kehadiran negara sangat dibutuhkan oleh keluarga korban yang telah 23 tahun mencari keadilan. Banyak korban kerusuhan Klender hidupnya kekurangan. Mereka berharap negara hadir memberikan kompensasi berupa jaminan kesehatan, bantuan sosial, dan sebagainya.
Namun, pemberian kompensasi itu hendaknya tidak menutup pintu penyelesaian secara hukum. Sebab, kepastian hukum itulah yang selama ini diperjuangkan keluarga korban melalui aksi Kamisan di depan Istana Merdeka.
”Memang, tidak semua korban itu hidup sejahtera, banyak yang masih kekurangan sehingga mereka juga berharap negara hadir. Namun, bukan berarti bantuan itu menghentikan penyelesaian secara hukum. Kalau seperti itu, sama saja kami menjual anak kami yang sudah meninggal menjadi korban kerusuhan,” ujar Maria, sembari terisak.
Sementara itu, Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin mengatakan, pada prinsipnya keluarga korban menyambut positif upaya pemerintah untuk membuat terobosan penyelesaian kasus HAM berat masa lalu. Namun, IKOHI menegaskan, penyelesaian di luar pengadilan itu harus berjalan paralel dengan upaya penyelesaian hukum.

Sukarelawan dan aktivis mengikuti Aksi Kamisan ke-603 yang berlangsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Aksi Kamisan mengangkat refleksi atas peristiwa Tragedi Semanggi 2 yang terjadi pada 24 September 1999 atau tepat 20 tahun yang lalu.
Sesuai dengan amanat UU, penyelesaian kasus pelanggaran HAM harus secara komprehensif, baik yudisial maupun non-yudisial. Jangan sampai penyelesaian non-yudisial justru digunakan untuk menutup upaya penyelesaian di pengadilan.
Selain itu, menurut Zaenal, dalam penyelesaian secara non-yudisial, pemerintah harus mengutamakan pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban negara. Sebab, selama ini para korban masih mendapatkan stigmatisasi dari masyarakat. Mereka justru kerap disangka pelaku dan dicap buruk secara sosial.
”Korban pelanggaran HAM berat ini ibaratnya korban tabrak lari. Kalau sakit, ya, ditangani dulu di RS (dengan upaya non-yudisial). Tetapi, bukan berarti pelanggaran pidananya selesai. Itu tidak akan memberikan rasa keadilan bagi korban,” kata Zaenal.
Sebelumnya, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan, Komnas HAM mendukung dorongan dari Komisi III DPR untuk mencari terobosan dalam penuntasan dugaan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Komnas HAM pun mengapresiasi rencana pemerintah membentuk tim UKP-PPHB.
Namun, dalam proses penyusunan draf raperpres yang akan jadi payung hukum pembentukan unit kerja itu, Komnas HAM tidak dimintai pendapat atau pandangan. Sementara dari draf rancangan peraturan yang diterima Komnas HAM, substansinya tidak memadai untuk menjadi dasar hukum bagi upaya penyelesaian HAM berat di masa lalu.
”Secara konseptual tidak memadai dan secara prosedur penyelesaiannya juga tidak memungkinkan untuk kasus pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu, Komnas HAM tidak mendukung draf raperpres yang ada saat ini,” ucap Amiruddin.

Komisioner Komnas HAM Amiruddin
Sebelum rancangan perpres disahkan oleh presiden, Amiruddin berharap draf yang ada sekarang dihentikan pembahasannya. Dia berharap Kemenko Polhukam dan Kemenkumham mau membicarakan substansi raperpres secara terbuka serta melibatkan para ahli dalam pembahasannya.
Peneliti Pusat Studi Hukum HAM Universitas Airlangga, Surabaya, Herlambang P Wiratraman, berpandangan, inisiatif pemerintah saat ini tidak mencerminkan komitmen politik untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Sementara, rencana pemerintah yang mendorong penyelesaian non-yudisial mudah untuk ditebak.
”Cara pandang ini saya kira membahayakan negara hukum karena pada gilirannya akan menghasilkan mata rantai impunitas, yaitu aktor atau pelaku tidak tersentuh hukum sementara tabir peristiwanya tidak dibuka. Padahal, itu sangat penting bagi pembelajaran publik,” kata Herlambang.
Herlambang menegaskan, antara yudisial dan non-yudisial tidak saling menegasikan atau saling mengesampingkan. Sebab, keduanya merupakan elemen penting dalam mendorong penegakan HAM dan berada pada ranah yang berbeda.
Terkait dengan upaya non-yudisial yang didorong pemerintah, Herlambang mempertanyakan dasar hukumnya. Sebab, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) telah dibatalkan MK.

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratraman
”Jadi menurut saya tidak relevan pemerintah menyuruh non-yudisial, tetapi basis UU-nya tidak ada. Kalau (Presiden) Jokowi serius, terbitkan Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Kenapa tidak? Ini faktor urgensi dan komitmen politik bahwa negara menjamin perlindungan dan hak warga. Karena untuk memberikan dan membatasi hak warga negara tatarannya adalah dengan UU,” ujar Herlambang.
Di sisi lain, lanjut Herlambang, Komnas HAM dapat mengupayakan langkah maju dengan menyiapkan draf yang berisi ketentuan yang protektif serta memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya untuk kemudian diwujudkan melalui UU atau Perppu. Dengan dasar hukum yang jelas dan kuat, pijakan berikutnya akan lebih mudah.