Ibu Korban Pelanggaran HAM Mei 1998 Menuntut Keadilan
Asa keluarga korban pelanggaran HAM berat Mei 1998, tak pernah putus. Mereka, yang umumnya orangtua korban, terus menyuarakan keadilan bagi anak-anak mereka. Keadilan pun diharapkan dapat diwujudkan oleh negara.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Para aktivis HAM yang dimotori Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengikuti Aksi Kamisan ke-626 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (16/1/2020). Hingga kini, mereka terus bersuara mencari keadilan bagi para korban dan keluarga Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, dan korban pelanggaran HAM lainnya.
Kehilangan putra sulungnya dalam tragedi Semanggi I, sekitar 23 tahun silam, mengubah drastis hidup Maria Catarina Sumarsih (69). Ditempa waktu, luka batin karena kehilangan itu bertransformasi menjadi kegigihan untuk terus memperjuangkan keadilan. Meski jalan tampak terjal, Sumarsih dan keluarga korban lainnya terus berjuang mengetuk pintu keadilan.
Sembari memegang berkas tebal memori kasasi yang sedang dia ajukan ke Mahkamah Agung, orangtua korban pelanggaran HAM Mei 1998 ini mengingat kembali perjuangannya selama hampir 23 tahun mencari keadilan. Sejak 2007, bersama ibu dan orangtua korban lainnya, Sumarsih selalu datang ke Istana Presiden. Sumarsih, adalah ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Atmajaya Jakarta yang tewas tertembak saat Tragedi Semanggi I, 13 November 1998.
Rutin setiap hari Kamis, para ibu itu berbaju hitam, berpayung hitam, berdiri menyuarakan aspirasi mereka dalam diam. Aksi yang dikenal dengan sebutan Kamisan itu pertama kali diadakan pada 18 Januari 2007. Hingga 6 Mei 2021, aksi Kamisan telah dilakukan sebanyak 678 kali.
Sumarsih mengatakan, penuntasan kasus yang seolah jalan di tempat, terkadang membuatnya lelah. Janji-janji penuntasan memang kerap diumbar. Bahkan, di kepemimpinan Presiden Joko Widodo, janji itu masuk dalam program kerja Nawacita. Namun, realisasinya, hampir tanpa perkembangan berarti. (Orangtua pelanggaran HAM Mei 1998)
Di bawah terik dan hujan, keluarga korban tak goyah melakukan aksi menolak lupa pada peristiwa kelam sejarah itu. Ada banyak korban pelanggaran HAM berat yang ikut dalam aksi Kamisan.
Mereka tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Di antaranya adalah korban kasus penembakan mahasiswa, kerusuhan Mei, dan korban penghilangan paksa dalam aksi menggulingkan rezim otoriter dan menuntut reformasi tahun 1998. Ironisnya, meski banyak korban berjatuhan, hingga kini pelakunya belum diungkap dan tidak tersentuh hukum.
“Sejak pandemi Covid-19 ini, aksi Kamisan di depan Istana Presiden ditiadakan. Kami para anggota JSKK mengirimkan surat secara rutin kepada Presiden,” ujar Sumarsih di rumahnya, Rabu (5/5/2021).
Sumarsih mengatakan, penuntasan kasus yang seolah jalan di tempat, terkadang membuatnya lelah. Janji-janji penuntasan memang kerap diumbar. Bahkan, di kepemimpinan Presiden Joko Widodo, janji itu masuk dalam program kerja Nawacita. Namun, realisasinya, hampir tanpa perkembangan berarti.
Kedua orangtua Wawan, Arief Priyadi (kanan) dan Maria Catarina Sumarsih (kiri).
Kasasi
Bahkan, belakangan, upaya penuntasan itu seolah mundur. Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat dengar pendapat di Komisi III, 16 Januari 2020, menyebut bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukanlah pelanggaran HAM berat. Sikap kontradiktif jaksa agung, yang bertentangan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM itu, sangat melukai hati korban.
Sumarsih bersama ibu korban lainnya Ho Kim Ngo kemudian menggugat pernyataan jaksa agung itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ho Kim Ngo adalah ibu dari Yap Yun Hap, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang tewas dalam tragedi Semanggi I. Di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim memutus pernyataan Jaksa Agung mengenai Tragedi Semanggi I dan II sebagai perbuatan melawan hukum. Namun, di tingkat banding, gugatannya kalah. Kini, Sumarsih telah mengajukan upaya hukum kasasi ke MA.
Bagi Sumarsih, perjalanan menuntut keadilan seolah tak berujung dan kian terjal. Kini, dia juga harus berhadapan dengan kejaksaan agung. Institusi yang seharusnya menjadi aktor kunci proses hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat ke meja hijau.
Para aktivis kemanusiaan yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengikuti Aksi Diam Kamisan ke-583 di seberang Istana Merdeka Jakarta, Kamis (25/4/2019).
Kekuatan iman
Ibu korban lain, Maria Sanu (73), yang kehilangan putranya Stevanus Sanu, saat kerusuhan di Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur, juga tak pernah kehilangan semangat. Jauh di lubuk hati, dia terus berharap pelaku kerusuhan Mei 1998 dapat diungkap dan diadili.
Sebagai orang yang tak lagi muda, Maria mengakui bahwa terkadang fisik dan mentalnya lelah berjuang dalam aksi Kamisan. Awalnya, para keluarga korban kerusuhan Yogya Plaza banyak yang ikut aksi Kamisan. Kini, tinggal dirinya yang masih aktif mengikuti perkembangan di JSKK. Akhirnya, kini Maria juga menjadi perantara informasi dan advokasi hukum bagi keluarga lain.
“Jenuh itu pasti, karena seolah kita menunggu pepesan kosong. Kami berharap negara mau mengakui rangkai peristiwa kekerasan 1998 dan segera menindaklanjuti secara hukum. Tapi, sampai saat ini hanya janji-janji, tidak ada kejelasan,” kata Maria.
“Hanya iman yang membuat saya terus berjuang sampai sekarang. Saya mau terus bergerak memperjuangkan keadilan bagi anak saya yang saat itu baru berusia 16 tahun saat menjadi korban kerusuhan Mei 1998,” tutur Maria.
Selama pandemi Covid-19, Maria pun tak banyak melakukan aksi. Sebab, dia memiliki keterbatasan dalam mengakses teknologi, misalnya ketika harus rapat daring dengan aplikasi Zoom. Dia kerap kebingungan, sehingga memilih untuk tidak terlibat dalam kegiatan rapat daring. Namun, dia tetap menjaga komunikasi dengan JSKK.
“Hanya iman yang membuat saya terus berjuang sampai sekarang. Saya mau terus bergerak memperjuangkan keadilan bagi anak saya yang saat itu baru berusia 16 tahun saat menjadi korban kerusuhan Mei 1998,” tutur Maria.
Penuntasan kasus pelanggaran berat HAM tidak hanya dari korban juga diharapkan masyarakat Indonesia. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 27-30 April 2021, yang melibatkan 505 responden dari 34 provinsi, menunjukkan, 80 persen responden menganggap pelanggaran HAM Mei 1998 belum tuntas atau tuntas sebagian. Sebanyak 59,7 persen responden mendorong penuntasan melalui peradilan.
Konsistensi perjuangan Sumarsih dan orangtua lain melalui Aksi Kamisan mengingatkan kita pada gerakan kelompok ibu dari Argentina, korban kediktatoran rezim militer 1976-1983. Para ibu korban “Dirty War” itu berkumpul di Plaza de Mayo, di depan Istana Kepresidenan Argentina. Mereka menuntut pemerintah bertanggung jawab menemukan anak-anak mereka yang hilang dan diduga dibunuh oleh rezim militer otoriter Argentina.
Harapan akan adanya penuntasan pelanggaran berat HAM tidak hanya dari korban dan keluarga korban, tetapi juga masyarakat Indonesia. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 27-30 April 2021, yang melibatkan 505 responden dari 34 provinsi, menunjukkan, 80 persen responden menganggap pelanggaran HAM Mei 1998 belum tuntas atau tuntas sebagian. Sebanyak 59,7 persen responden mendorong penuntasan melalui peradilan.
Setelah 29 tahun berjuang, akhirnya gerakan “Mothers of Plaza de Mayo” itu membuahkan hasil. Pemerintah Argentina membentuk komisi nasional untuk orang hilang. Sejumlah perwira militer yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat itu diadili di pengadilan Argentina.
Kini, setelah 23 tahun berlalu, akankah perjuangan Sumarsih dkk berhasil mengetuk pintu keadilan untuk selanjutnya memutus rantai impunitas?