Saat MK Soroti Praktik Titip Absen DPR
Kehadiran anggota DPR yang kuorum, syarat pembentukan UU, dalam pembahasan revisi UU KPK pada 2019 peroleh sorotan hakim konstitusi. Hakim menilai bukti kehadiran itu tak lagi cukup rekapitulasi tetapi juga bukti visual.
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memang mengecewakan para pemohon dan kalangan aktivis antikorupsi. Perjuangan untuk menghentikan keberlakuan undang-undang tersebut kandas oleh sikap delapan hakim konstitusi.
MK menyatakan, proses pembentukan UU No 19/2019 sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal tersebut mensyaratkan pembentukan peraturan perundangan yang baik harus memenuhi asas kejelasan tujuan, dilakukan oleh kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Selain itu, ketentuan tersebut juga dapat dilaksanakan, memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, memiliki rumusan yang jelas, serta memenuhi asas keterbukaan.
Dari sembilan hakim konstitusi, hanya satu hakim, yakni Wahiduddin Adams, yang mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan untuk perkara nomor 79/PUU-XVII/2019 itu. Sikap Wahiduddin sejalan dengan pendapat para pemohon, yaitu proses pembentukan UU 19/2019 inkonstitusional sehingga perlu kembali ke UU lama, yaitu UU Nomor 30/2002.
Meskipun menolak permohonan yang diajukan para mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi seperti Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Moch Jasin, dan para begawan hukum di negeri ini, putusan nomor 79 tersebut memberikan rambu-rambu yang signifikan dalam hukum acara perkara pengujian formil ke depan. MK menegaskan kewenangannya dalam menangani perkara tersebut, sekaligus memberi syarat bagi pembentuk undang-undang dalam mengajukan bukti untuk mendukung klaim bahwa proses pembentukan UU sudah benar secara formil.
Baca juga: Putusan Kematian KPK
Salah satu dalil yang diajukan oleh pemohon yang dinilai mengakibatkan cacatnya UU KPK adalah sidang paripurna pengambilan keputusan yang dilakukan pada 17 September 2019 tidak kuorum, termasuk tidak kuorum secara fisik. Menurut pemohon, ada sekitar 180 anggota DPR yang tidak hadir dan hanya menitip absen. Padahal, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) menuntut kehadiran secara fisik. Pemohon mengajukan bukti berita media dan foto yang sudah difotokopi.
MK pun membandingkan dengan bukti yang diajukan oleh DPR berupa rekapitulasi kehadiran anggota dalam rapat paripurna 17 September 2019. Disebutkan, pada saat rapat dimulai hadir 289 anggota dan pada saat rapat selesai jumlah kehadiran mencapai 401 anggota. Ketentuan kuorum dalam rapat tersebut adalah 281 anggota dari enam fraksi di DPR. DPR pun menyertakan bukti video rapat paripurna 17 September tersebut.
Bukti kehadiran
Namun, MK menilai bukti-bukti yang diajukan baik oleh pemohon uji formil maupun DPR tidak meyakinkan. Di sini, MK pun meminta agar ke depan, demi kepentingan pembuktian pengujian formil selanjutnya, pemohon dan DPR diminta tidak hanya melampirkan daftar hadir yang ditandatangani anggota DPR dan menyertakan jumlah rekapitulasi kehadiran untuk membuktikan kehadiran fisik anggota DPR. Namun, pemohon dan DPR diminta untuk meyerahkan bukti visual dan/atau audio visual rekaman persidangan yang dapat menunjukkan kehadiran anggota DPR secara fisik.
Mengapa kehadiran itu penting? MK dalam putusan 70/PUU-XVII/2019 menegaskan, kehadiran secara fisik anggota DPR dalam proses pembentukan undang-undang termasuk dalam persetujuan bersama adalah sebuah keharusan. Kehadiran itu tidak bisa diwakili hanya dengan tanda tangan anggota DPR semata.
Mengapa kehadiran itu penting? MK dalam putusan 70/PUU-XVII/2019 menegaskan, kehadiran secara fisik anggota DPR dalam proses pembentukan undang-undang termasuk dalam persetujuan bersama adalah sebuah keharusan. Kehadiran itu tidak bisa diwakili hanya dengan tanda tangan anggota DPR semata.
Kehadiran anggota parlemen, menurut MK, sebagai bentuk konkret dari pelaksanaan konsep perwakilan rakyat. Selain itu, untuk memberikan kesempatan bagi anggota legislatif yang sejak semula tidak ikut membahas pembentukan undang-undang karena mekanisme internal lembaga legislatif yang membagi pembentukan undang-undang berdasarkan komisi dan/atau gabungan komisi tertentu.
Kehadiran fisik anggota DPR dalam rapat pembahasan dan rapat paripurna pengambilan keputusan atas nasib sebuah rancangan undang-undang (RUU) juga penting untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pengambilan keputusan secara voting.
Baca juga:Putusan MK Tak Berpengaruh pada Penguatan KPK
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, sebagai suatu putusan yang bersifat final dan mengikat, putusan tersebut tentu akan menjadi acuan DPR. Namun, pihaknya akan mempelajari putusan itu untuk ditindaklanjuti dengan penyempurnaan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3).
Indra melanjutkan, ketentuan kehadiran fisik dan nonfisik yang diatur di dalam Undang-Undang MD3 sebenarnya sudah dibahas dan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk praktik di negara lain. Selain itu, untuk mengantisipasi voting di rapat paripurna, aturan juga telah ditetapkan. Itu diatur secara detail melalui surat tentang tata cara pelaksanaan rapat paripurna DPR tertanggal 30 Maret 2020.
"Kalau belum kuorum fisik maka sidang ditunda," ujar Indra.
Putusan sela
Selain menolak dengan tegas praktik titip absen anggota DPR, MK juga memberi batasan waktu bagi penanganan perkara uji formil. Mengacu pada putusan nomor 27/PUU-VII/2009, batas waktu pengajuan uji formil ke MK adalah 45 hari setelah UU dimuat dalam lembaran negara. Ini demi kepastian hukum agar sebuah UU perlu lebih cepat diketahui statusnya apakah dibuat secarah sah atau tidak.
Dalam putusan kali ini, MK memberi batas waktu penanganan perkara uji formil UU, yaitu 60 hari sejak perkara dicatat di dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Logikanya, dalam rentang waktu tersebut, belum ada implikasi besar dari pelaksanaan UU terutama dalam penyiapan peraturan turunannya dan tindakan hukum lain sebagai akibat dari pengundangan suatu regulasi.
Baca juga: Konsekuensi Perubahan UU KPK
Dalam sejumlah kesempatan, wacana mengenai kebutuhan pembaruan hukum acara pengajuan perkara ke MK sudah berulang kali disampaikan. Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Bayu Dwi Anggono mengatakan, perkembangan hukum acara MK RI termasuk lambat dalam aspek legislasi. Perubahan UU MK pun tidak menyasar pada hukum. Revisi UU MK justru mengatur hal-hal seperti masa jabatan ketua dan wakil ketua, usia pensiun hakim konstitusi ataupun masa jabatan maksimal 15 tahun, syarat menjadi hakim konstitusi dan sebagainya.
“Padahal, perkembangan hukum acara MK ini kan sangat dinamis. Sehingga, MK beberapa kali mengatur hukum acaranya sendiri melalui putusannya. Padahal, jika dilihat di Pasal 24C Ayat (6) UUD 1945, yang seharusnya berwenang menyusun hukum acara adalah pembentuk undang-undang. Itu domain pemerintah dan DPR,” kata Bayu.
“Bisa dibayangkan jika tidak ada jangka waktu (penanganan perkara oleh MK), sementara aturan pelaksana UU sudah dibuat, banyak orang yang terdampak dengan berlakunya UU, lalu tiba-tiba MK baru memutus, tentu akan ada banyak kerugian,” ujar Bayu. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember)
Meskipun demikian, pengaturan hukum acara melalui putusan MK sudah lazim diterima. Ini setidaknya terlihat dari ketentuan tentang batas waktu pengajuan uji formil 45 hari sejak UU dicantumkan di dalam lembaran negara. Aturan itu berasal dari putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 dan sudah diterima dalam praktiknya. Para pemohon uji formil pasti mengajukan permohonannya tidak akan lebih dari 45 hari setelah UU diundangkan.
Hanya saja, ada ketimpangan saat batas waktu pengajuan perkara diatur tetapi tidak ada batas waktu penanganan perkara, berapa lama MK harus memutus perkara uji formil. Padahal, jika uji formil dikabulkan akan memiliki implikasi hukum pembatalan UU secara keseluruhan.
“Bisa dibayangkan jika tidak ada jangka waktu (penanganan perkara oleh MK), sementara aturan pelaksana UU sudah dibuat, banyak orang yang terdampak dengan berlakunya UU, lalu tiba-tiba MK baru memutus, tentu akan ada banyak kerugian,” ujar Bayu.
Baca juga: Revisi UU KPK dan Kekecewaan terhadap Pemberantasan Korupsi
Demi kepastian hukum, MK juga dapat menjatuhkan putusan sela sebagai bentuk tindakan prioritas dan juga dapat memisahkan (split) proses pemeriksaan pengujian formil dan pengujian materiil. MK juga dapat menunda pemberlakuan suatu UU yang dimohonkan pengujian formil agar tidak ada kerugian konstitusional yang terjadi sebelum ada putusan MK.
“Putusan sela ini sebenarnya untuk mencegah kerugian semacam itu. Sehingga putusan sela di perkara uji formil merupakan salah satu hal yang akan melindungi kepentingan baik pemohon maupun pelaksana undang-undang,” tambah Bayu.
Apa implikasi dari putusan ini? Bagi Bayu, putusan tersebut akan mencegah DPR menyederhanakan persoalan dalam membentuk undang-undang. Selama ini, pembentukan undang-undang seolah hanya menjadi domain DPR saja. Dengan adanya putusan nomor 79/PUU-XVII/2019, para anggota DPR harus benar-benar hadir mengawal pembentukan UU secara langsung. Tidak cukup hanya mencantumkan namanya di dalam daftar hadir.
“Pembentuk undang-undang juga akan lebih hati-hati. Sebab, ada putusan sela yang kemudian bisa membuat UU yang ditetapkan tidak diberlakukan sampai ada putusan MK,”ujarnya.
Baca juga: Penghancuran Pencapaian
Akan tetapi apakah demikian yang akan terjadi? Ataukah hal tersebut tidak banyak berguna? Menyitir pendapat Wahiduddin Adams dalam dissenting opinion-nya, “Terapi kejut (shock therapy) yang dilakukan Mahkamah terhadap Pembentuk Undang-Undang dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam perkembangannya belum cukup berdayaguna dan berhasil guna dalam mengarahkan dan menjamin pembentuk undang-undang agar menghindarkan pembentuk undang-undang dari ketergesa-gesaan dalam membentuk undang-undang dan taat asas pada asas pembentukan undang-undang dan asas materi muatan undang-undang. Sebab asas adalah titik tolak, tolok ukur dan kendali untuk menjaga materi dan substansi dalam koridor konstitusi.”
Padahal, di dalam putusan nomor 27/PUU-VII/2009, MK secara jelas menyatakan bahwa telah terjadi cacat prosedur di dalam proses pembentukan UU Mahkamah Agung yang diuji saat itu. Persoalan yang dibahas sebenarnya hampir serupa, rapat paripurna pengambilan keputusan tidak kuorum, tidak ada transparansi dan lainnya.
Apakah putusan uji formil MK terakhir akan berakhir serupa, tak menimbulkan terapi kejut seperti yang diharapkan. Waktu yang akan menjawabnya.