Pendekatan keamanan telah menciptakan rasa saling tidak percaya. Tidak saja pemerintah pusat yang memberi stigma masyarakat Papua separatis, tetapi masyarakat Papua juga melihat pemerintah di Jakarta sebagai penjajah.
Oleh
Edna C Pattisina
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dialog menjadi kunci penyelesaikan konflik di Papua. Penyelesaian dengan pendekatan keamanan hanya akan memperbesar lingkaran kekerasan dan menimbulkan penderitaan masyarakat Papua.
Hal ini disampaikan Rosita Dewi, peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis (6/5/2021), dalam diskusi daring. Rosita mengatakan, pendekatan keamanan telah menciptakan rasa saling tidak percaya dan stigmatisasi. Tidak saja pemerintah pusat yang memberi stigma masyarakat Papua separatis, tetapi masyarakat Papua juga melihat pemerintah di Jakarta sebagai penjajah.
”Dialog dibutuhkan untuk menyelesaikan perbedaan ini,” kata Rosita.
Rosita mengatakan, pendekatan keamanan telah menciptakan rasa saling tidak percaya dan stigmatisasi. Tidak saja pemerintah pusat yang memberi stigma masyarakat Papua separatis, tetapi masyarakat Papua juga melihat pemerintah di Jakarta sebagai penjajah.
Beka Ulung Hapsara, komisioner Komnas HAM, juga merekomendasikan pendekatan dengan dialog. Selain itu, ia meminta pemerintah pusat memastikan penegakan hukum dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM pada masa lalu. Menurut Beka, siklus kekerasan yang tidak pernah berhenti telah memakan korban jiwa dan kerusakan fasilitas publik.
Ia mengatakan, kekerasan telah terjadi, bahkan, sejak Papua masuk menjadi provinsi termuda di Indonesia. Komnas HAM telah membentuk tim untuk menyelidiki berbagai pelanggaran HAM. Beberapa kasus, seperti peristiwa Abepura pada 7 Desember 2000 yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Selain itu, juga ada kasus Biak Berdarah 1998, Wasior-Wamena, dan Paniai.
Yang terbaru, tahun 2019, Polda Papua dan Papua Barat mencatat terjadi aksi kekerasan menggunakan senjata api hingga 23 kali. Akibatnya, 11 warga sipil dan 10 anggota TNI-Polri meninggal dunia. Terkait dengan aksi unjuk rasa soal rasisme menyebabkan 44 warga sipil dan 2 anggota TNI-Polri meninggal dunia.
Selain itu, masih juga ada kasus penembakan karyawan Istaka Karya. Tahun 2020 banyak korban kekerasan dari TNI-Polri dan masyarakat, misalnya, karena kontak tembak dan penyerbuan markas aparat.
Stempel terorisme yang baru-baru ini diumumkan pemerintah dinilai malah menimbulkan masalah baru. Melyana Ratana Pugu, dosen Hubungan Internasional Universitas Cendrawasih, pada kesempatan yang sama mengatakan, dirinya terperangah dengan label terorisme itu.
”Yang diinginkan orang Papua itu sederhana, yaitu bisa mengerjakan apa yang mereka milik, seperti sepetak tanah milik mereka. Ketika pemerintah tidak mengurus, orang Papua tidak percaya lagi,” katanya.
Al Araf, Ke,tua Centra Initiative mengatakan, label terorisme diberikan pemerintah untuk menghindar dari akar konflik yang terjadi. Padahal, saat ini masalah terbesar adalah adanya ketidakpercayaan.
Label terorisme diberikan pemerintah untuk menghindar dari akar konflik yang terjadi. Padahal, saat ini masalah terbesar adalah adanya ketidakpercayaan.
Label itu, lanjutnya, menjadi legitimasi tindakan kekerasan yang lebih kuat. Negara juga jadi tidak ditekan oleh dunia internasional untuk menyelesaikan masalah secara damai seandainya konflik di Papua adalah masalah separatisme.
”Perlu kemauan politik untuk selesaikan masalah Papua,” kata Al Araf.