Pembahasan RKUHP Dinilai Masih Belum Libatkan Partisipasi Publik
Masyarakat sipil menilai, sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP yang dilakukan pemerintah selama ini dijalankan satu arah. Pembahasan rancangan undangan-undang itu dinilai tak libatkan publik.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP dinilai belum melibatkan partisipasi publik, terutama kelompok rentan. Masyarakat sipil menilai, sosialiasi yang dilakukan pemerintah selama ini dijalankan satu arah.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Gita Putri Damayana mengatakan, pemerintah telah melakukan sosialisasi melalui diskusi publik dengan menggunakan media daring. Menurut Gita, dalam sosialisasi ada faktor keterwakilan. Karena itu, seharusnya kepentingan yang paling rentan, seperti disabilitas, juga bisa mengakses. Sejauh ini, menurut Gita, fasilitas untuk kelompok rentan tersebut belum terpenuhi.
”Untuk bisa mengakses naskahnya saja tidak bisa. Pembahasannya berganti-ganti tambahan pasalnya. Publik sulit mengikuti,” kata Gita dalam diskusi bertajuk ”RKUHP: Hukum untuk Siapa?” yang diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Kamis (6/5/2021).
Hadir juga sebagai pembicara dalam diskusi ini Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Indonesia Khotimun Sutanti, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, Koordinator Akses pada Keadilan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Feri Sahputra, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Avokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, serta Manajer Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati.
Gita menegaskan, pelajaran dapat diambil dari pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja. Persyaratan formal menjadi sangat penting dalam pembentukan UU. Ia pun khawatir agenda sosialisasi dianggap sebagai partisipasi. Sebab, selama ini sosialisasi dilakukan secara satu arah yang hanya dilakukan oleh elite politik, pemerintah, dan akademisi. Alhasil, partisipasi dan keterwakilan tercederai. Ada kecenderungan sosialisasi seperti itu dianggap cukup oleh Mahkamah Konstitusi.
Khotimun Sutanti pun mempertanyakan apakah dalam merumuskan ketentuan RKUHP telah menggali pengalaman perempuan dan kelompok rentan lainnya, terutama dari sisi korban. Menurut Khotimun, berlakunya hukum yang hidup di masyarakat berpotensi ditafsirkan dengan sangat beragam dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum, seperti dalam standar kesusilaan, dan kekerasan seksual.
Khotimun juga mempertanyakan kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan. Aturan tersebut akan membuat perempuan dan anak korban kekerasan semakin terhambat untuk memberanikan diri melaporkan kasusnya.
Ia mengatakan, aturan satu daerah dengan lainnya berbeda sehingga rentan ditafsirkan tanpa batas dan sewenang-wenang. Hal tersebut berdampak pada kepastian hukum dan berpotensi merugikan perempuan serta kelompok rentan lainnya. Aturan itu membuka ruang lebih lebar lahirnya peraturan daerah diskriminatif.
Khotimun juga mempertanyakan kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan. Aturan tersebut akan membuat perempuan dan anak korban kekerasan semakin terhambat untuk memberanikan diri melaporkan kasusnya. Itu karena sering kali korban kesulitan membuktikan bahwa dirinya telah menjadi korban. Unsur tidak ada paksaan sering ditafsirkan hanya dilihat dari tidak ada perlawanan fisik.
Asfinawati juga melihat ada persoalan partisipasi publik dalam RKUHP. Itu karena masyarakat adat seperti tidak diakui dan dibuat tunduk pada hukum negara. Orang bisa dipidana berdasarkan perda.
Wahyudi Djafar menilai, para perumus RKUHP mencoba mengembangkan pendekatan yang menekankan pada sintesis antara hak-hak individu dan hak-hak masyarakat, selain menjaga kepentingan politik negara.
Menurut Wahyudi, pendekatan tersebut secara teoritik benar, tetapi dalam praktiknya akan mengalami kendala jika tidak dirumuskan dengan perspektif yang jelas. Hal itu terkait erat dengan landasan berpikir serta argumen dalam menentukan perbuatan apa yang harus diklasifikasikan sebagai kejahatan dan mana yang bukan termasuk kejahatan.
RKUHP saat ini, kata Wahyudi, melanjutkan situasi dan landasan kebahayaan tersebut karena materinya lebih menekankan pada perlindungan kepentingan politik negara dan kepentingan hak-hak komunal. Pembatasan bahwa suatu perbuatan adalah kejahatan inilah yang tidak cukup terjelaskan kepada publik sehingga kontroversi muncul.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, sosialisasi Rancangan Undang-Undang KUHP dilakukan di 12 kota, yakni Medan, Semarang, Denpasar, Yogyakarta, Ambon, Makassar, Padang, Banjarmasin, Surabaya, Mataram, Manado, dan Jakarta.
Sosialisasi dilakukan dengan metode luring sekitar 80 peserta dengan protokol kesehatan yang ketat dan daring. Peserta yang ikut sosialisasi terdiri dari perguruan tinggi, aparat penegak hukum, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat.
Sebelumnya, Hiariej mengakui, banyak penolakan terhadap RKUHP. Namun, ia mengklaim setelah sosialisasi, masyarakat menjadi paham. Ia menegaskan, tahun ini RKUHP harus selesai.
Materi sosialisasi meliputi sejarah penyusunan RKUHP, pembaruan RKUHP, pasal-pasal kontroversi, dan tindak pidana khusus. Hiariej mengatakan, banyak masukan yang diperoleh dari sosialisasi tersebut.
Sebelumnya, Hiariej mengakui, banyak penolakan terhadap RKUHP. Namun, ia mengklaim setelah sosialisasi, masyarakat menjadi paham. Ia menegaskan, tahun ini RKUHP harus selesai.