Pilihan Capres Pengaruhi Elektabilitas Parpol
Konfigurasi partai politik berbasis elektabilitas berdasarkan hasil survei Litbang ”Kompas” masih bisa berubah saat pemilu digelar pada 2024. Perubahan, salah satunya, ditentukan oleh calon presiden yang diusung partai.
JAKARTA, KOMPAS — Konfigurasi partai politik berbasis elektabilitas berdasarkan hasil survei Litbang Kompas periode April 2021 masih bisa berubah saat pemilu digelar pada 2024. Perubahan, salah satunya, ditentukan oleh calon presiden yang akan diusung partai politik.
Calon internal partai politik diyakini akan lebih banyak mendongkrak elektabilitas dibandingkan mengusung kader dari partai lain. Namun, ini bukan hal yang mudah.
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic International Studies (CSIS) Arya Fernandes, dihubungi dari Jakarta, Rabu (5/5/2021), mengatakan, parpol yang mengusung kadernya untuk maju dalam kontestasi pemilu presiden (pilpres) memiliki efek cukup besar dalam meningkatkan elektabilitas parpol pada pemilu legislatif. Sebab, preferensi pemilih terhadap calon presiden (capres) cenderung sejalan dengan parpol kandidat tersebut berasal.
”Efek dari pencalonan kader internal terhadap partai lebih besar dibandingkan saat mengusung kader dari partai lain. Sebab, pemilih bisa saja hanya mendukung kandidatnya, bukan partai pendukung capres,” katanya.
Baca juga : Survei ”Kompas”: Elektabilitas Prabowo Fluktuatif, Anies dan Ganjar Meningkat
Namun, persoalannya, tidak semua parpol bisa menentukan sendiri capres dalam Pilpres 2024. Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang bisa mencalonkan capres sendiri tanpa perlu berkoalisi dengan parpol lain karena telah memenuhi syarat pencalonan kepemilikan kursi minimal 20 persen di DPR, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam kondisi ini, PDI-P bisa mengusung kader sendiri dalam Pilpres 2024, dan jika kader itu memang memiliki elektabilitas yang tinggi, tak tertutup kemungkinan hal itu akan mendongkrak suara PDI-P.
Adapun bagi parpol lain, tak akan mudah mengajukan kader sendiri sebagai capres. Sebab, parpol harus berkoalisi dengan parpol lain untuk memenuhi persyaratan pencalonan presiden. Dalam membangun koalisi ini, bisa saja capres dari kader parpol ditolak partai lain karena dinilai hanya akan menguntungkan parpol asal kader.
Menurut dia, pemberian tiket pencalonan presiden dari parpol akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kans calon untuk menang dan seberapa besar pilihan pemilih atas capres bisa mengalir pula pada elektabilitas partai.
”Partai-partai medioker yang perolehan suaranya berkisar 10 persen menjadi jangkar dalam pembentukan koalisi karena mereka lebih mudah memenuhi syarat untuk mencalonkan kandidat,” kata Arya.
Ia memprediksi, koalisi dalam Pilpres 2024 tak lagi sama dengan Pilpres 2019. Sebab, dalam pergelaran pilpres mendatang tidak ada petahana sehingga peluang untuk mencalonkan presiden lebih besar. ”Dari sisi calon pun belum ada kandidat yang kuat. Meskipun elektabilitas Prabowo Subianto unggul, trennya selalu menurun jelang pilpres. Ini yang membuat partai-partai terbuka kemungkinan untuk membuat koalisi,” tambahnya.
Survei Litbang ”Kompas”
Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 13-26 April 2021, tiga parpol dengan elektabilitas tertinggi adalah PDI-P (22,6 persen), Partai Gerindra (10,5 persen), dan Partai Golkar (8,6 persen). Posisi ketiga parpol itu relatif sama dengan hasil Pemilu Legislatif 2019.
Selain itu, ada tiga parpol lain yang melewati ambang batas parlemen 4 persen, yakni Partai Demokrat (7 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (7 persen), dan Partai Keadilan Sejahtera (5,4 persen).
Baca juga : Preferensi Publik soal Parpol Cenderung Mapan
Elektabilitas tiga parpol lain yang dalam Pemilu 2019 lolos ambang batas parlemen, tetapi masih berada di bawah ambang batas parlemen, adalah Partai Nasdem (3,4 persen), Partai Persatuan Pembangunan (2,9 persen), dan Partai Amanat Nasional (1,5 persen). Namun, jika memperhitungkan margin of error +/- 2,8 persen, ketiganya masih berpeluang menembus ambang batas 4 persen suara sah nasional.
Sementara itu, persentase responden yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dalam survei ini masih tinggi, yakni 27,6 persen.
Calon presiden
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, keluarga besar Golkar telah menetapkan niat untuk mengusung Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai capres pada Pilpres 2024. Keinginan Golkar untuk punya capres dari kader sendiri tersebut juga disebutnya sebagai salah satu amanat dan keputusan Munas Golkar X 2019.
Berkaitan dengan itu, seluruh jajaran partai kini masih fokus konsolidasi untuk pemenangan pilpres. Namun, tak hanya itu, partai juga fokus untuk bisa memenangi pemilu legislatif dan pilkada serentak nasional yang juga akan digelar pada 2024.
Langkah konsolidasi ini dilakukan Golkar sambil menunggu jawaban dari Airlangga terkait aspirasi segenap jajaran pengurus dan arus bawah kader Golkar yang menginginkan Airlangga maju dalam Pilpres 2024. Saat ini, kata Doli, Airlangga belum memberikan jawaban karena masih berkonsentrasi dengan tugasnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Perkonomian serta Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).
Adapun Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengatakan, partainya masih belum memutuskan untuk mengusung Muhaimin Iskandar atau yang biasa dikenal dengan Cak Imin pada Pilpres 2024 sekalipun dukungan telah muncul dari sejumlah pengurus daerah PKB.
Salah satunya karena raihan suara PKB dalam Pemilu 2019 belum memenuhi syarat pencalonan presiden, yaitu harus memiliki keterwakilan di DPR minimal 20 persen atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2019. ”Karena itu, kami masih pikir-pikir,” ujar Jazilul.
Meski demikian, ia menyadari, jika PKB mengusung kader sendiri pada Pilpres 2024, dalam hal ini Cak Imin, hal itu berpotensi mendongkrak raihan suara PKB pada Pemilu 2024. Ia mencontohkan keputusan PKB menjelang Pilpres 2019. Saat itu, PKB mempromosikan Cak Imin menjadi calon wakil presiden. Sekalipun akhirnya Cak Imin batal menjadi calon wakil presiden, promosi Cak Imin sudah bisa mendongkrak elektabilitas PKB.
Baca juga : Survei ”Kompas”: Apresiasi Publik Jadi Modal Pemerintahan Joko Widodo
Pada Pemilu 2019, PKB meraih 58 kursi dengan total 13.570.970 suara atau 9,69 persen. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada Pemilu 2014. Saat itu, raihan kursi PKB di DPR hanya 47 kursi, sedangkan elektabilitasnya 11.298.957 suara.
”Terbukti, kan, suara PKB naik. Kursi PKB mengalami kenaikan tertinggi dalam sejarah PKB. Jadi, kehadiran Cak Imin ini ada dampaknya. Signifikan dampaknya. PKB perlu Cak Imin untuk mendongkrak (elektabilitas parpol). Padahal, itu enggak nyalon (maju sebagai capres), lho, baru digadang-gadang. Tetapi, suara PKB sudah naik signifikan,” kata Jazilul.