Masukan Publik Jadi Salah Satu Pertimbangan Pilih Hakim Agung
Partisipasi publik dinilai penting saat proses seleksi calon hakim agung untuk mendapatkan calon berkualitas, baik di sisi integritas maupun penguasaan teknis yudisial. Empat tahapan harus dilalui oleh para calon hakim.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial mengharapkan peran serta masyarakat untuk memberikan laporan dan informasi terkait proses seleksi calon hakim agung Republik Indonesia yang kini tengah berlangsung. Partisipasi publik dinilai penting agar proses seleksi tersebut mampu mendapatkan hakim agung yang berkualitas, baik di sisi integritas maupun penguasaan teknis yudisial.
Seperti diketahui, ada empat tahapan yang harus dilalui para calon hakim agung, yakni tahap seleksi administrasi, kualitas, kesehatan dan kepribadian, serta wawancara terbuka. Mereka mengikuti seleksi untuk mengisi kebutuhan 13 hakim agung di empat kamar Mahkamah Agung. Perinciannya, kamar pidana membutuhkan 8 hakim agung, kamar perdata membutuhkan 2 hakim agung, kamar militer membutuhkan 1 hakim agung, dan kamar tata usaha negara membutuhkan 2 hakim agung.
Komisi Yudisial mengumumkan ada 116 pendaftar yang lulus seleksi administrasi untuk mengikuti seleksi calon hakim agung. Namun, ada tiga peserta yang berhalangan sehingga hanya 113 orang yang ikut tes seleksi kualitas calon hakim agung. ”Dari 113 peserta yang ikut tes kualitas, (peserta) yang dinyatakan lulus ada 45 orang,” kata Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial RI Siti Nurdjanah pada konferensi pers secara daring, Rabu.
Apabila dirinci, dari 70 peserta tes kualitas di kamar pidana ada 27 orang yang lulus. Di kamar perdata ada 36 orang yang mengikuti tes dan 13 orang di antaranya lulus. Di kamar militer ada 3 peserta tes yang kesemuanya lulus. Adapun di kamar tata usaha ada empat peserta tes dan yang dinyatakan lulus 2 orang.
Siti Nurdjanah menuturkan, nama-nama calon hakim agung yang lulus seleksi kualitas tersebut disahkan berdasarkan keputusan rapat pleno Komisi Yudisial RI pada 4 Mei 2021 dan ditandatangani Ketua Komisi Yudisial RI Mukti Fajar Nur Dewata. Para peserta yang dinyatakan lulus akan mengikuti tes tahap ketiga, yakni seleksi kesehatan dan kepribadian. Proses ini mencakup pemeriksaan kesehatan, penilaian kepribadian dan kompetensi, serta rekam jejak.
Pemeriksaan kesehatan, karena tidak dimungkinkan dilakukan secara daring, akan dilakukan secara tatap muka di RSPAD Gatot Soebroto dengan menggunakan protokol kesehatan ketat. Peserta akan diminta melampirkan hasil tes PCR yang masih valid. Penilaian kepribadian dan kompetensi akan dilakukan secara daring karena kondisi masih belum memungkinkan untuk tatap muka.
Penelusuran rekam jejak dilakukan secara langsung dan daring dengan memperhatikan protokol kesehatan yang ketat. ”Komisi Yudisial sangat mengharapkan laporan dan informasi masyarakat yang obyektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Kami juga bekerja sama dengan KPK, PPATK, dan Mahkamah Agung, yaitu badan pengawasan serta direktorat jenderal-direktorat jenderal terkait,” kata Siti Nurdjanah.
Komisi Yudisial sangat mengharapkan laporan dan informasi masyarakat yang obyektif dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dia menuturkan, banyak masyarakat yang berkontribusi memberikan laporan terhadap seleksi calon hakim agung. Laporan masyarakat tersebut hingga saat ini masih terus masuk. Komisi Yudisial pun terus mengharapkan masukan selama proses seleksi calon hakim agung berlangsung.
”Kenapa? (Masukan masyarakat) ini sangat penting dalam proses seleksi karena hakim agung merupakan, kalau saya boleh bilang, barometernya para hakim seluruh Indonesia. Komisi Yudisial mengharapkan supaya (proses seleksi) mendapatkan hakim agung yang benar-benar berkualitas, baik di sisi integritas maupun sisi penguasaan teknis yudisial,” ujar Siti Nurdjanah.
Pada konferensi pers tersebut dipaparkan data bahwa dari 45 peserta yang lolos seleksi kualitas, 33 orang berprofesi (hakim) karier dan 12 orang nonkarier. Dari sisi pendidikan, 29 peserta berpendidikan strata dua dan 16 orang berpendidikan jenjang strata tiga. Dari sisi pekerjaan, 33 orang hakim, 6 orang akademisi, 1 orang jaksa, 1 orang notaris, dan 4 orang pekerjaan lainnya. Sedangkan dari sisi jenis kelamin, 40 peserta yang lulus seleksi adalah laki-laki dan 5 perempuan.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah ketika dihubungi menuturkan, selepas seleksi kualitas, hal yang perlu dikawal adalah pengaduan-pengaduan yang sudah masuk ke Komisi Yudisial. Pengaduan dari masyarakat tersebut mesti dibaca dan menjadi salah satu penilaian untuk seleksi tahap ketiga yang mencakup rekam jejak dan lain-lain.
”Nanti di tahap ketiga, khusus penelusuran rekam jejak, dari KY biasanya akan ada tim yang turun ke lapangan, sampai turun ke tetangga dan siapa pun yang dekat dengan calon hakim agung. Pengaduan yang masuk ke KY harus dibaca dan dijadikan pegangan juga dalam penelusuran rekam jejak,” kata Liza.
Selain menunggu masukan dari masyarakat dan tim yang turun ke lapangan, menurut Liza, Komisi Yudisial juga dapat mencari informasi tentang calon hakim agung kepada institusi asal. Informasi dimaksud, misalnya, menyangkut pernah tidaknya calon hakim agung tersebut mendapat hukuman disiplin dan soal integritas.
”Hakim agung yang berkualitas itu seperti apa? Satu, harus berkualitas, yang kalau dijelaskan lebih lanjut tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin, diakui oleh institusinya memang punya integritas, punya pemahaman soal hukum dan peradilan yang baik. Jadi, karena hakim agung itu nanti menangani perkara, sudah pasti pengetahuan hukum harus baik,” ujarnya.
Hakim agung yang berkualitas itu seperti apa? Satu, harus berkualitas, yang kalau dijelaskan lebih lanjut tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin, diakui oleh institusinya memang punya integritas, punya pemahaman soal hukum dan peradilan yang baik. Jadi, karena hakim agung itu nanti menangani perkara, sudah pasti pengetahuan hukum harus baik.
Liza menuturkan, pascareformasi, Mahkamah Agung terus berbenah dan memiliki proyek pembaruan peradilan. Terkait hal tersebut perlu dicari hakim agung yang bukan hanya berfokus memutus perkara dengan baik, melainkan juga memiliki visi pembaruan atau reformasi peradilan.
Sehubungan dengan calon hakim agung dari jalur karier dan nonkarier, Liza menuturkan, berdasarkan observasinya masing-masing memiliki plus dan minus (kelebihan dan kekurangan). Secara umum dapat dikatakan bahwa hakim agung dari jalur karier memiliki pemahaman lebih baik soal peradilan, semisal tentang cara membuat putusan, cara peradilan bekerja, dan sistem pengadilan.
”Plusnya bagi yang nonkarier, misalnya dari kalangan akademisi, pengacara, dan lainnya yang bisa dibilang selama ini di luar peradilan, adalah memiliki kemungkinan lebih update terhadap perkembangan hukum. Hal ini karena aksesnya lebih terbuka. Pengacara menangani banyak perkara, akademisi bisa ke mana-mana. Dengan demikian, secara umum, mereka seharusnya lebih update terhadap informasi dan perkembangan hukum,” kata Liza.
Menurut Liza, KY harus benar-benar jeli melihat calon yang benar-benar cocok menjadi hakim agung berdasarkan indikator kapasitas dan integritas. Terlepas berasal dari jalur karier dan nonkarier, pada saat menjadi hakim agung maka yang bersangkutan sudah harus langsung bisa membuat putusan.
”Soalnya, kan, tidak ada pendidikan untuk hakim agung. Beda dengan ketika orang mau jadi hakim ada pendidikannya dulu dua tahun. Jadi, benar-benar harus dicari orang yang siap untuk bekerja. Contohnya, sekalipun dia akademisi, ya, harus belajar nanti bagaimana cara membuat putusan,” ujar Liza.