Keterpilihan Cenderung Stagnan, Kerja Panjang Mesin Parpol Sudah Harus Dimulai
Kerja panjang mesin partai sudah harus dimulai sejak dini. Sebab, saat ini konfigurasi tingkat keterpilihan partai politik, berdasar survei Litbang Kompas, cenderung tak banyak berubah dibanding hasil Pemilu 2019.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Konfigurasi keterpilihan partai politik pada saat ini tak banyak berubah dibandingkan hasil Pemilu 2019. Jeda waktu tersisa sekitar tiga tahun hingga Pemilu 2024 menjadi kesempatan bagi parpol untuk menggerakkan mesinnya guna memikat masyarakat lewat kinerja nyata di tengah pandemi Covid-19. Kerja panjang mesin partai sudah harus dimulai sejak dini.
Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 13-26 April 2021, tiga parpol dengan elektabilitas tertinggi adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (22,6 persen), Partai Gerindra (10,5 persen), dan Partai Golkar (8,6 persen). Posisi ketiga parpol itu relatif sama dengan hasil Pemilihan Legislatif 2019.
Selain itu, ada tiga parpol lagi yang melewati ambang batas parlemen 4 persen, yakni Partai Demokrat (7 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (7 persen), dan Partai Keadilan Sejahtera (5,4 persen). Namun, masih ada 27,6 persen responden yang tidak menjawab.
Elektabilitas tiga parpol lain yang di Pemilu 2019 lolos ambang batas parlemen, masih berada di bawah ambang batas parlemen, yakni Partai Nasdem (3,4 persen), Partai Persatuan Pembangunan (2,9 persen), dan Partai Amanat Nasional (1,5 persen). Namun, apabila memerhitungkan margin of error +/- 2,8 persen, tiga partai itu masih berpeluang menembus ambang batas parlemen empat persen suara sah nasional.
Sementara itu, persentase responden yang belum menentukan pilihan (undecided voters) di survei ini masih tinggi, yakni 27,6 persen.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia dan pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) Aditya PerdanaDirektur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (4/5/2021), mengatakan, tingginya pemilih yang tidak menjawab bisa jadi karena Pemilu 2024 dianggap masih lama. Apalagi, dengan keterbatasan ruang gerak akibat pandemi Covid-19, partai tidak dilirik pemilih. Selain itu, dia menduga, pemilih belum melihat kerja nyata parpol di tengah pandemi Covid-19 sehingga pilihan belum dijatuhkan.
Namun, terlepas dari hal tersebut, masih tersisa tiga tahun sebelum Pemilu 2024 digelar. Partai bisa memanfaatkan momentum pandemi ini dengan menggerakkan seluruh kekuatan partainya, untuk memikat pemilih yang belum menjatuhkan pilihan atau memengaruhi pemilih parpol lain agar memilih mereka di Pemilu 2024.
“Satu hal bahwa Pemilu 2024 itu tidak ada pilkada sebelumnya. Jadi tidak ada pilkada di 2022 atau 2023. Artinya, kerja panjang mereka itu sekarang bisa dimulai,” ujar Aditya.
Perubahan elektabilitas
Jika dilihat dari tren elektabilitas dari empat survei Litbang Kompas, terekam bagaimana partai-partai mengalami pasang surut tingkat keterpilihan.
Dari empat survei tersebut, Partai Demokrat mengalami rata-rata kenaikan 2,3 persen, lebih tinggi dibanding partai politik lainnya. Sementara Partai Gerindra, meskipun selalu berada di peringkat kedua, trennya justru turun.
Dari keempat survei ini, tren rata- rata fluktuasi Gerindra berada di angka minus 3,1 persen. Sementara keempat partai lainnya relatif landai pergerakannya, yakni berkisar 0,1 persen hingga 1,7 persen.
Moeldoko menghadiri Kongres Luar Biasa Partai Demokrat setelah dipilih menjadi Ketua Umum, di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3/2021).Mengenai kenaikan elektabilitas Demokrat, Aditya menduga, ini karena publik terus membincangkan konflik internal partai tersebut setelah digelarnya Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada awal Maret lalu. Efek pemberitaan yang panjang soal konflik tersebut ikut mendongkrak popularitas Demokrat.
Sedangkan, terkait penurunan elektabilitas Gerindra, menurut Aditya, ini kemungkinan merupakan imbas dari bergabungnya partai tersebut dengan pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Selain itu, mungkin tak terlepas dari kasus korupsi yang menjerat kadernya, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
“Meskipun kalau soal (korupsi) itu, kan, sebenarnya relatif, ya, karena hampir semua partai juga dia pasti punya kasus korupsi juga,” ucap Aditya.
Memantik simpati publik
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menyampaikan, hampir semua survei menunjukkan Gerindra berada di posisi dua atau tiga. Padahal, idealnya elektabilitas Gerindra berjalan paralel dengan elektabilitas Prabowo Subianto selaku Ketua Umum Gerindra. Namun, realitas politik elektabilitas Gerindra ternyata masih belum mengejar Prabowo.
Sebagaimana survei Litbang Kompas terkait elektabilitas calon presiden yang dilakukan pada April ini, Prabowo Subianto mencapai 16,4 persen.
Namun, lanjut Habiburokhman, hasil survei ini tentu akan menjadi evaluasi sekaligus pengingat bagi partai untuk terus membangun partai secara lebih sistematis.
“Kami masih punya waktu untuk melakukan berbagai pembenahan sampai 2024. Kami targetkan pada (Pemilu) 2024, kami bisa menjadi peraih kursi terbanyak,” ujar Habiburokhman.
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra berpandangan, peningkatan elektabilitas partainya tak terlepas dari kerja nyata partai selama setahun terakhir, mulai dari memperjuangkan aspirasi rakyat di parlemen, hingga membantu secara langsung masyarakat yang terdampak pandemi dan bencana di berbagai pelosok Indonesia.
Di luar itu, ia melihat, gerakan pengambilalihan kepemimpinan Demokrat yang terjadi belakangan ini, ikut memantik simpati publik.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengungkapkan, jika dibandingkan antara survei Litbang Kompas pada April ini dengan perolehan suara pada Pileg 2019, elektabilitas PDI-P tergolong naik signifikan. Kenaikan itu bisa mencapai 3,3 persen.
Menurut Hasto, kenaikan elektabilitas PDI-P ini akan menjadi pemicu bagi partainya untuk semakin semangat bergerak dan menyatu dengan rakyat. Kenaikan itu sebagai bukti bahwa gerak partai di tengah pandemi diapresiasi rakyat.
“Mengapa di tengah pandemi partai tetap eksis? Karena PDI-P berasal dari rakyat. Selain hal PDI-P terus memperluas ruang gerak politik tidak hanya pada aspek kekuasaan semata, namun juga menyentuh kebudayaan, gerakan penghijauan, olah raga, kesenian, dan juga secara konsisten melakukan kaderisasi kepemimpinan,” ucap Hasto.
Hasto menambahkan, partainya menyadari bahwa sinergisitas tiga pilar, yakni struktural, legislatif, eksekutif, sangatlah memengaruhi elektabilitas parpol. Kerja gotong royong dari tiga pilar ini juga menunjukkan wajah ideal parpol di mana partai tak hanya mengelola kekuasaan pemerintahan dan negara tetapi juga berlomba untuk memberikan daya manfaat bagi rakyat.