Keterbatasan figur calon presiden dan pandemi Covid-19 membuat publik enggan memikirkan Pemilihan Umum 2024. Partai politik diharapkan memperbaiki kaderisasi calon pemimpin nasional untuk mengenalkan figur baru.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, DIAN DEWI PURNAMASARI, AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Covid-19 yang meluluhlantakkan ketahanan kesehatan, sosial, serta ekonomi nasional telah menyita perhatian publik. Sampai saat ini masyarakat masih fokus memikirkan upaya pengendalian pandemi ketimbang gelaran Pemilihan Umum 2024, apalagi menentukan pilihan calon presiden.
Survei terbaru Litbang Kompas pada April 2021 menunjukkan, masih banyak masyarakat yang belum menentukan pilihan calon presiden (capres). Hingga tiga tahun menjelang pemilu, sekitar 21 persen responden menyatakan belum menentukan pilihan capres. Angka pemilih yang belum menentukan pilihan itu tergolong tinggi karena lebih besar dari tingkat elektabilitas sejumlah tokoh yang masuk dalam bursa kepemimpinan mendatang.
Sementara bursa calon kepemimpinan nasional masih didominasi wajah-wajah lama. Saat ditanya nama capres yang akan dipilih jika pilpres digelar saat ini, sebanyak 25 persen responden masih memilih nama Jokowi. Hanya 16 persen responden yang memilih Prabowo Subianto dan 10 persen memilih Anies Baswedan. Selebihnya muncul nama Sandiaga Uno, Ganjar Pranowo, Agus Harimurti Yudhoyono, Ridwan Kamil, Basuki Tjahaja Purnama, dan Tri Rismaharini yang elektabilitasnya masih di bawah 10 persen.
Nama-nama dan tingkat elektabilitas itu masih sangat mungkin berubah secara dinamis karena pemilu masih tiga tahun lagi. Saat ini, mesin partai politik (parpol) dan para calon juga relatif belum bergerak secara aktif ke masyarakat. Sesuai konstitusi yang kini berlaku, Presiden Jokowi juga sudah tidak dapat mencalonkan diri lagi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 karena sudah dua kali menjabat.
Pengajar pada Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mada Sukmajati, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (2/5/2021), menengarai, atmosfer pemilu belum terasa karena penyelenggaraan Pemilu 2024 masih relatif lama. Apalagi saat ini masyarakat masih berkutat dengan pandemi Covid-19 yang belum juga terkendali.
”Memang, masyarakat belum fokus pada agenda politik sehingga belum ada nama-nama yang mengerucut sebagai alternatif pilihan baru. Buktinya, dari nama-nama yang muncul di survei juga masih itu-itu saja,” ujar Mada.
Lebih jauh, Mada mengungkapkan, suasana kebatinan masyarakat masih belum beranjak dari kontestasi pada Pilpres 2019 sehingga nama-nama yang paling diingat publik adalah mereka yang bertarung pada Pilpres 2019, seperti Jokowi, Prabowo, dan Sandiaga Uno.
Munculnya wajah-wajah lama dalam bursa kontestasi politik 2024 juga mengindikasikan bahwa parpol belum melakukan kaderisasi secara optimal. Dari hasil survei Litbang Kompas, hanya tiga partai yang mampu memunculkan kader pada pilpres mendatang, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerindra, dan Partai Demokrat. Sementara enam parpol parlemen lainnya, belum memiliki kader yang popularitasnya bisa diperhitungkan.
Dari fenomena ini, Mada menilai, peran parpol sebagai aktor utama pemilu masih belum optimal. Parpol belum berhasil menjalankan fungsi perekrutan dan seleksi pemimpin nasional dengan baik. Padahal, untuk menjalankan fungsi seleksi kepemimpinan, parpol cukup mengenalkan kader-kader calon pemimpin nasional sejak jauh hari sebelum pemilu digelar.
Dengan begitu, parpol bisa melihat respons publik, sementara masyarakat dapat mengenal para calon pemimpin nasional. ”Partai-partai lain yang lolos ambang batas parlemen sebaiknya membuka pintu regenerasi kepemimpinan nasional. Jangan hanya didominasi oleh elite-elite Jakarta saja, tetapi juga para pemimpin daerah,” ucap Mada.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor pun melihat parpol cenderung mendukung tokoh yang popularitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan mengenalkan nama baru. Ini karena parpol lebih mengutamakan kepentingan elektoral ketimbang kapasitas dan kapabilitas calon yang diusung dalam kontestasi politik.
”Partai tentu tidak ingin dukungan mereka kontraproduktif pada elektabilitas partainya. Jadi, proporsi kepentingan elektoral itu lebih besar dibandingkan dengan bagus tidaknya tokoh tersebut,” kata Firman.
Ketua DPW Partai Nasdem Jawa Barat Saan Mustopa berpandangan, munculnya wajah-wajah lama dalam bursa capres karena penyelenggaraan pilpres masih relatif lama. Publik masih belum fokus pada agenda politik sehingga mayoritas memilih figur-figur lama.
Karena itulah, Nasdem menyadari, pekerjaan rumah parpol ke depan adalah mengoptimalkan proses kaderisasi di internal parpol. Menurut dia, kaderisasi harus bisa melahirkan calon pemimpin yang tidak hanya populer, tetapi juga diterima oleh masyarakat.
Sementara Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, banyaknya kader PDI-P yang muncul di bursa capres merupakan bukti bahwa proses kaderisasi berjalan baik. ”Ini menunjukkan bahwa partai berada pada track yang benar ketika proses peningkatan kualitas kader itu dijadikan sebagai skala prioritas,” ujar Hasto.
Pada Pilpres 2024, lanjut Hasto, PDI-P memiliki kewajiban untuk mendorong kader internal sendiri.