Insiden Nanggala-402, Sinyal Perbaikan Menyeluruh Alutsista
Insiden tenggelamnya KRI Nanggala-402 merupakan sinyal akan pentingnya evaluasi dan perbaikan menyeluruh sektor pertahanan. Modernisasi alat utama sistem pertahanan harus menjadi prioritas pemerintah.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Insiden kapal selam KRI Nanggala-402 merupakan sinyal pentingnya perbaikan menyeluruh sektor pertahanan. Evaluasi menyeluruh terhadap proses pengadaan alat utama sistem persenjataan perlu dilakukan bersamaan dengan investigasi ilmiah untuk mengetahui penyebab pasti tenggelamnya KRI Nanggala-402.
KRI Nanggala-402 merupakan satu dari empat alutsista dalam Satuan Kapal Selam Komando Armada RI Kawasan Timur yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur. Kapal selam berusia 44 tahun yang membawa 53 anggota TNI itu tenggelam saat berlatih di perairan utara Bali, 21 April lalu.
Kapal selam buatan Jerman itu terakhir kali dilakukan pemeliharaan atau perawatan menyeluruh pada tahun 2012. Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf dalam diskusi daring bertajuk ”Tragedi Nanggala dan Problematika Modernisasi Alutsista”, Selasa (4/5/2021), mengungkapkan, selama ini modernisasi alutsista masih bermasalah.
Permasalahan alutsista saat ini disebut tak lepas dari karut-marutnya modernisasi alutsista yang dilakukan pada kurun waktu 2009-2014. ”Di era Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), pada periode 2009-2014, ada beberapa faktor yang mengakibatkan modernisasi alutsista bermasalah. Kemudian karut-marut yang terjadi pada periode itu berkontribusi ke periode saat ini,” katanya dalam diskusi yang digelar Centra Initiative, Imparsial, dan Indonesia Corruption Watch itu.
Hadir dalam diskusi itu narasumber lain, yakni Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, jurnalis harian Kompas Edna C Pattisina, dan peneliti Imparsial Hussein Ahmad.
Kompas
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf, Selasa (4/5/2021).
Al Araf menengarai, problematika masalah yang terkait dengan perawatan dan pengadaan alutsista pada periode 2009-2014 bertumpuk dan berdampak hingga sekarang. Pada tahun 2012, misalnya, alih-alih membeli kapal selam baru, pemerintah malah memilih memperbaiki KRI Nanggala-402 di Korea Selatan. Padahal, biaya perawatan yang mencapai Rp 1 triliun tidak terlalu jauh dari harga kapal selam baru sebesar Rp 4 triliun.
Selain itu, pemerintah juga lebih memilih membeli tank Leopard bekas dari Jerman ketimbang membeli tank baru. Masih pada periode itu pula Indonesia membeli 24 pesawat F-16 bekas dari Amerika Serikat.
”Kenapa itu (membeli alutsista bekas) menarik ketimbang beli alutsista baru? Karena ketika membeli bekas, indikatornya susah untuk dicek sehingga potensi penyimpangan tinggi,” terang Al Araf.
Catatan lain dari Al Araf adalah orientasi pembangunan pertahanan yang belum jelas, di mana pemerintah lebih mementingkan kuantitas dibandingkan kualitas, serta penggunaan anggaran secara tepat. Inkonsistensi kebijakan sektor pertahanan juga ditengarai menjadi pintu bagi masuknya pihak ketiga atau broker alutsista. Keterlibatan broker itulah yang membuat pemerintah tidak mendapatkan alutsista yang prima dan sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.
Kompas
Jurnalis harian Kompas, Edna C Pattisina, Selasa (4/5/2021).
Namun, menurut Edna, alutsista tua tidak selalu jelek. Meski begitu, patut diingat bahwa bahan metal pada alutsista berusia di atas 30 tahun akan mengalami kelelahan (fatigue). Selain itu, platform alutsista tersebut juga kemungkinan besar sudah tidak sesuai dengan kebutuhan perang modern.
Di sisi lain, biaya pemeliharaan alutsista tua juga tinggi. Sementara meskipun masih bisa beroperasi, kemampuannya sudah tidak lagi maksimal atau sudah menurun. Ketika KRI Nanggala-402 tenggelam, insiden itu terkait dengan banyak faktor, seperti alutsista tua, profesionalisme TNI AL secara keseluruhan, hingga kebijakan dari para pemangku kepentingan.
”Karena pengadaan alutsista budgetnya terbatas, harus ada skala prioritas. Saya tidak anti dengan alutsista bekas, yang penting pengadaannya transparan dan tidak terlalu bekas. Lalu TNI harus jujurlah, di dalam banyak yang mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi. Padahal, tahun 1998 kita sudah berkomitmen agar TNI profesional,” ujar Edna.
Kompas
Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, Selasa (4/5/2021).
Setali tiga uang, Adnan juga mengungkapkan bahwa selama ini proses pengadaan alutsista dilakukan secara tertutup. Budaya organisasi di Kementerian Pertahanan yang juga tertutup membuka peluang kemungkinan terjadinya kongkalikong. Sementara tidak ada sistem yang dapat melakukan mekanisme cek dan keseimbangan secara profesional.
Dengan adanya insiden KRI Nanggala-402, semestinya pemerintah mengambil tindakan serius, seperti melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tatanan alutsista. ”Mestinya pemerintah melakukan tindakan serius, misalnya membentuk tim khusus untuk me-review tatanan alutsista yang selama ini dipakai Kemenhan. Perlu suatu cara baru untuk memperbaiki situasi saat ini. Sebab, kalau anggaran terus bertambah, sementara sistem tidak berubah, sama seperti membuang garam di lautan,” tuturnya.
Tak hanya itu, menurut Adnan, perbaikan di sektor pertahanan dengan mendorong proses yang transparan mendesak untuk dilakukan. Selain untuk memperbaiki sistem dan mencegah korupsi, hal itu juga penting untuk menjaga keselamatan para prajurit yang mengoperasikan alutsista.
Sementara itu, Imparsial mencatat, sejak 2015 terjadi 18 kecelakaan alutsista. Kecelakaan itu terdiri dari kecelakaan pesawat sebanyak 5 kejadian, kecelakaan helikopter 5 kejadian, kecelakaan kapal 6 kejadian, kecelakaan artileri 1 kejadian, dan kecelakaan kendaraan tempur 1 kejadian.
Namun, menurut Hussein, berbagai kecelakaan alutsista itu tak membuat pemerintah segera memperbaiki prioritas program dan anggaran pertahanan. Meski anggaran Kementerian Pertahanan tergolong besar, masih lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan nonpertahanan, yakni belanja pegawai dan belanja barang.
”Menurut kami, Kemenhan hari ini tidak fokus. Alih-alih memperkuat TNI, Kemenhan justru fokus pada agenda-agenda lain, misalnya rekrutmen komponen cadangan, sibuk pada tugas nonmiliter,” ujar Hussein.
Lebih lanjut Adnan menambahkan, terkait tenggelamnya KRI Nanggala-402, pemerintah perlu melakukan investigasi dengan pendekatan saintifik. Sebagaimana penerbangan sipil, investigasi tenggelamnya KRI Nanggala-402 diperlukan untuk mengetahui penyebabnya. Hasil investigasi itu pun bisa menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan baru untuk mencegah kecelakaan serupa terulang di masa mendatang.