Mahfud MD: Internal Solid, Pemerintahan Efektif
Kepuasan publik yang terus menguat semestinya dijadikan modal bagi pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk terus memperbaiki kinerja. Namun, soliditas internal tetap diperlukan agar roda pemerintahan berjalan efektif.
Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan meningkat meski pandemi Covid-19 belum benar-benar terkendali. Hasil survei Litbang Kompas pada April menunjukkan, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin mencapai 69,1 persen.
Bahkan, khusus kinerja di bidang politik dan keamanan, kepuasan publik melonjak dari 67,2 persen pada Januari menjadi 77 persen. Begitu pula di bidang hukum yang pada Januari masih sebesar 63,4 persen naik menjadi 66 persen.
Peningkatan kepuasan publik itu tentu tak lepas dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Soliditas di internal membuat pemerintah pun tak ragu mengambil kebijakan secara cepat, tegas, meski terkadang tidak populer.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, saat ditemui di kantornya di Jakarta, Jumat (30/4/2021), menegaskan, pemerintah berani mengambil kebijakan tak populer karena fokus pada apa yang akan dilakukan. Pemerintah tak menghiraukan opini liar agar tetap bisa bekerja secara optimal. Kebijakan pun diambil dengan pertimbangan logika dan hati nurani.
Angka kepuasan publik itu semestinya bisa menjadi modal pemerintah untuk terus memperbaiki kinerja. Apalagi, 65 persen responden dalam survei Kompas merasa yakin, bahkan sangat yakin, kinerja pemerintah bisa membaik. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Mahfud MD.
Baca juga: Survei Kompas: Apresiasi Publik Jadi Modal Pemerintah
Kepuasan publik terhadap pemerintah sangat tinggi, apa maknanya bagi pemerintah?
Peningkatan kepuasan publik itu akibat perkembangan pemahaman masyarakat terhadap situasi sejak akhir 2020. Jadi, sejak awal periode pemerintahan sampai Oktober 2020, bentuk kerja pemerintah memang masih kontroversial. Tetapi, sesudah itu, kerja pemerintah semakin jelas, konsisten, dan lebih positif.
Misalnya, dalam penanganan Covid-19, Indonesia masuk enam terbaik dari 220 negara. Angka kematian tidak sampai 60.000 dari 270 juta penduduk. Angka terinfeksinya cukup tinggi, tetapi tetap sangat kecil jika dibandingkan 270 juta penduduk. Juga angka kesembuhan bisa mengimbangi, sementara angka kematian, meski fluktuatif, tetap sangat kecil.
Ditambah lagi dengan bansos (bantuan sosial) yang diberikan secara transparan. Masyarakat tahu bansos langsung diberikan, kemudian yang salah ditindak. Jumlahnya juga besar, dan meski mendapat banyak kritik, pemerintah tetap konsisten memberikan bansos.
Kemudian pemulihan ekonomi. Dulu sempat drop beberapa lama, minus. Tetapi di kuartal I-2021, minusnya sudah turun dibandingkan kuartal sebelumnya. Negara memang minus, tetapi ekonomi rakyat tetap hidup. Tidak ada kepanikan dan orang lapar. Jika tetap konsisten, minimal ekonomi akan tumbuh 6 persen, bahkan kalau kerja keras bisa lebih 7 persen.
Di bidang politik dan keamanan, serta bidang hukum, apa kebijakan yang menurut pemerintah membuat publik puas?
Kami fair saja bahwa hal-hal yang bisa kami selesaikan secara internal, kami selesaikan secara internal. Misalnya, kasus Partai Demokrat, orang banyak curiga ini rekayasa, pastilah (Kepala Staf Kepresidenan) Moeldoko (akan menang). Tetapi, kami tidak seperti itu. Secara terbuka saja, kalau kasus sudah sampai ke pemerintah, kami putuskan saja bahwa kongres luar biasa di Deli Serdang itu tidak benar.
Kemudian, penangkapan dua menteri (oleh Komisi Pemberantasan Korupsi) itu mungkin menimbulkan kesan yang mendalam bagi publik. Bayangkan, di awal periode ada dua menteri ditangkap, padahal biasanya periode akhir baru terungkap. Sekarang, pejabat setingkat apa pun, KPK silakan tangkap.
Di Kejaksaan Agung juga ada dua kasus besar, yaitu korupsi Jiwasraya dan Asabri. Keduanya BUMN, tetapi kasusnya diungkap dengan ancaman terberat. Jadi, rakyat menilai, pemerintah tidak main-main.
Lalu, pemerintah juga tegas membubarkan FPI (Front Pembela Islam) dengan segala konsekuensinya. Memang saat FPI dibubarkan ada yang marah-marah, tetapi sesungguhnya suara masyarakat lebih banyak yang mendukung pemerintah. Buktinya, begitu (FPI) bubar, ya, bubar.
Baca juga: Pemerintah Menolak Kepengurusan Demokrat Hasil KLB Deli Serdang
Terakhir, soal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kami selesaikan secara perdata. Ada yang nyinyir, lho, kok dipindahkan, dulu kasus pidana, kok sekarang jadi perdata? Tidak ada pemindahan karena MA (Mahkamah Agung) sudah menyatakan BLBI itu tidak ada unsur korupsi. Ada kerugian negara, tetapi ranahnya perdata yang bisa ditagihkan. Kami tagih lagi, Sjamsul Nursalim itu kami tagih juga utang Bank Dewaruci Rp 407 miliar, lalu ada kekurangan bayar yang disebut MA.
Dari survei terlihat, ada gap antara apresiasi dan keyakinan. Apa yang akan dilakukan untuk meyakinkan publik?
Ada dua aspek, pertama, kami akan konsolidasikan terus pemerintahan agar solid dan selalu menjadi lebih baik. Kedua, bahwa ada yang yakin atau tidak yakin itu saya mencatat ada beberapa hal penyebabnya. Tetapi, dari survei ini, 65 persen yakin bahwa pemerintah akan lebih baik, 27 persen tidak yakin, sisanya mungkin iya atau tidak. Kalau dilihat dari pemahaman demokrasi 65 persen dibandingkan 27 persen, sudah oke. Taruhlah bagi demokrasi itu kalau 50+1 persen itu sudah tinggi, 65 persen ya sudah banyak sisanya.
Tetapi, saya tetap harus menjawab bagaimana 27 persen itu. Saya melihat ada tiga hal. Pertama, karena ada pihak-pihak yang punya sikap politik, apa pun dikerjakan oleh pemerintah tidak dipercaya. Kedua, sekarang ini media sosial, kan, liar, kadang kala hal-hal yang tidak benar dipompa-pompa terus sehingga terjadi apa yang disebut post truth. Post truth sesuatu yang tidak benar terus dikembangkan kepada orang-orang tertentu itu, lalu membekas di pikiran mereka.
Kan, ada banyak kelompok medsos yang menuduh pemerintah punya buzzer, sungguh saya tidak tahu kalau pemerintah punya buzzer. Tetapi, ada kelompok anti-pemerintah yang seperti buzzer terus yang selalu menyatakan kalau pemerintah itu salah, itu ada. Apa pun pemerintah itu disebarkan sedemikian rupa secara masif sehingga orang menjadi percaya karena post truth itu.
Ketiga, algoritma digital. Artinya, orang yang sudah punya sikap tertentu, nanti secara otomatis oleh IT (teknologi informasi), Google, dan sebagainya, itu selalu mendapat berita-berita yang sejenis, tanpa Anda cari. Ada ruang gema (echo chamber), dan itu yang menyebabkan 27 persen itu muncul. Ya sudah, tidak apa-apa ada 27 persen itu karena demokrasi, kan. Kalau 100 persen (yakin pada pemerintah), kita juga diketawai orang.
Dengan tiga persoalan itu, apa langkah pemerintah mengonsolidasikan agar tidak semakin besar?
Jadi kalau kami untuk menjaga itu semua, ya, dengan meningkatkan kepercayaan dan demokrasi. Pertama, kami akan konsisten saja, lurus gitu. Terutama di bidang politik, hukum, dan keamanan, kami akan terus konsisten dengan berbagai kontroversinya dan tidak akan terpengaruh oleh opini. Sebab, kalau kita terombang-ambing oleh opini, enggak ambil keputusan, di tingkat pemerintah sendiri bisa macam-macam.
Taruhlah ketika kami akan menetapkan KKB itu teroris, wah, kalau kita menuruti medsos yang beragam, ini rakyat belum kompak, ya, kapan berbuatnya? Karena ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Di internal pemerintah, Polri orientasi begini, Kejaksaan begini, Menkumham (Menteri Hukum dan HAM) begini, Kemenko (Polhukam) begini, kok, beda-beda ya. Nah, inilah tugas Menko (Polhukam), panggil ke sini, ayo, sikap pemerintah harus satu. Sesudah selesai rapat ini, jika ada yang tidak setuju, harus setuju karena ini harus diputuskan.
Baca juga: Lonjakan Penghargaan yang Terpilah
Jadi, pemerintah harus solid?
Iya dong, solid dan harus diajak bicara dulu semua yang setuju dan enggak setuju. Karena tidak mungkin dibiarkan, harus diputuskan dan mengikat. Ketika (bicara) keluar, sikapnya semua harus sama. Yang beda (sikap), silakan beda. Nanti, kalau ada yang membantah, didengarkan. Kalau benar, nanti kami ikuti, tetapi kalau enggak (benar), ya, kami ambil keputusan.
Terakhir, apa yang akan dilakukan pemerintah untuk memenuhi harapan publik?
Kami juga akan fokus, tidak terpengaruh oleh opini-opini liar karena kalau kami ikut opini, maka tidak akan mulai bekerja karena opini itu macam-macam. Di antara opini yang beragam, kami punya hati nurani, punya logika berpikir, bagaimana pemerintahan berjalan, penegakan hukum, politik, keamanan bagaimana, ini kan logika hati nurani. Kalau opini, mau tanya kepada siapa pun, beda-beda jawabannya. Ya sudah, kami jalan saja, kami kerja terus, konsisten.