Salah satu parameter untuk menjadi bangsa yang kuat adalah militer yang kuat. Tragedi tenggelamnya KRI Nanggala-402 hendaknya dijadikan pelajaran bagi negara untuk berpihak pada pertahanan.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 menggetarkan hati masyarakat. Selain karena 53 prajurit terbaik TNI Angkatan Laut menjadi korban, tragedi itu juga menguak banyak persoalan di pertahanan Indonesia. Masalah kemanusiaan memang harus didahulukan, terutama bagi keluarga 53 patriot yang gugur. Namun, pertanyaan berikutnya, selanjutnya apa?
Bangsa Indonesia kerap terbawa emosi yang melodramatis. Namun, gelombang emosi berlalu begitu saja. Yang terjadi, kerap kali, justru menunggu gelombang berikutnya. Padahal, ada masalah mendasar yang harus diselesaikan, yaitu bagaimana bangsa ini melindungi dirinya sendiri.
Menghadirkan mantan Kepala Staf TNI AL (KSAL) Laksamana (Purn) Ade Supandi; pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie; anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P, Effendi Simbolon; dan pengamat militer Ninok Leksono, diskusi Satu Meja The Forum yang tayang di KompasTV, Rabu (28/4/2021), mengambil tema ”Belajar dari KRI Nanggala-402”. Pemandu acara Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo menyoroti berbagai soal yang menghadang upaya peremajaan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Ke depan, pekerjaan rumah pertama adalah menginvestigasi penyebab tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402. Para pembicara sepakat, hal ini tak bisa dilakukan tanpa menaikkan reruntuhan kapal itu dari dasar laut sedalam lebih dari 800 meter.
Ade Supandi menjelaskan, kecelakaan di laut disebabkan oleh berbagai faktor yang terdiri dari teknis, awak, alam, dan eksternal. Ia mengatakan, kesimpulan saat ini belum ada. Yang ada baru elaborasi pengalaman para kru kapal selam pada masa lalu. Mereka bercerita tentang kondisi-kondisi yang pernah dialami, baik black out, kondisi alam, maupun teknis lainnya. Ade menggarisbawahi, yang jelas tanpa alutsista, TNI AL tidak ada apa-apanya.
Sepakat dengan Ade, Connie menekankan pentingnya fisik kapal selam untuk diselidiki. Ia juga meminta agar catatan perawatan dan pemeliharaan Nanggala dibuka. Ia menggarisbawahi, kecelakaan Nanggala sebagai puncak gunung es dari sistem yang buruk.
Akan tetapi, Effendi mengingatkan agar jangan sampai emosi mendahului investigasi. ”Kita tunggu investigasi dari TNI, komunitas internasional, ada juga dari Jerman dan Korea yang melakukan retrofit tahun 2012,” ujarnya.
Kesiapan alutsista
Connie menyoroti, kecelakaan alutsista terus terjadi, lalu kemudian masyarakat lupa. Di sisi lain, anggaran pertahanan terus naik, tetapi tak sebanding dengan kenaikan tingkat kesiapan alutsista.
Ia menyebutkan, sejak 2009 hingga 2020 anggaran pertahanan naik 389 persen. Adapun kesiapan alutsista naik dari semula hanya 35 persen menjadi 59 persen.
”Kesiapan pesawat tempur cuma 37 persen,” ujarnya.
Tuanya usia alutsista harus diakui memengaruhi tidak saja dari sisi keselamatan, tetapi juga dari kinerja. Latihan untuk personel tidak bisa utuh sesuai dengan skenario maksimal bertempur. Paling-paling hanya latihan kedaruratan. Ketersediaan suku cadang pun jadi terbatas. Ia mencontohkan, setelah 20 tahun, sensor peluru kendali tidak lagi bisa digunakan.
Usia tua juga membuat kapal mengalami lelah material, keretakan yang tidak selalu bisa diidentifikasi, kerusakan, dan sistem yang bisa gagal. ”Semakin tua kapal, harus semakin intensif pelatihan kalau kapal mengalami kedaruratan,” kata Ade.
Ninok Leksono mengingatkan, parameter untuk menjadi sebuah bangsa yang kuat adalah militer yang kuat, ekonomi yang maju, teknologi yang berkembang, dan demokrasi yang mapan.
Ia mengakui, keuangan negara untuk membeli pesawat tempur dan kapal selam susah mengingat harganya yang mahal, bisa Rp 5 triliun-Rp 11 triliun. Belum lagi perang masa depan yang terkait siber dan kecerdasan buatan. ”Tapi, pertahanan ini tetap nomor satu karena terkait survival bangsa,” katanya.
Connie mengingatkan, Presiden pertama Soekarno yang piawai memanfaatkan geopolitik Indonesia untuk bisa memperkuat alutsista. Ia pun mengingatkan bahwa TNI adalah angkatan bersenjata yang tugasnya berperang. Untuk itu, jika konsisten dengan tugas utama tersebut, modernisasi dan kesiapan alutsista harus ditingkatkan.
Urusan pertahanan, modernisasi alutsista memang bukan hal sederhana. Di sisi lain, perlu diingat pentingnya membangun industri pertahanan.
Mantan KSAL Laksamana (Purn) Sumardjono mengatakan, perlu konsistensi dari para pengambil keputusan dalam pemenuhan kebutuhan alat pertahanan dan keamanan. Ia mengingatkan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang ingin menghasilkan daya gentar lewat kemampuan industri dalam negeri pada masa damai.
Selain itu, perlu ada standardisasi karena akan mempermudah, baik dalam pengoperasian maupun perawatan dan perbaikan, sehingga akan terjadi efisiensi dan efektivitas anggaran dan dapat menghasilkan kesiapan alutsista yang tinggi.