Pemerintah mengategorikan KKB di Papua sebagai teroris. Tindakan cepat, tegas, dan terukur, menurut hukum, harus dilakukan aparat keamanan. Aparat juga diminta bersinergi, tak lagi bergerak sendiri-sendiri.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/FABIO M LOPES COSTA/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengategorikan kelompok kriminal bersenjata atau KKB di Papua dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya sebagai kelompok teroris. Setiap penindakan oleh aparat kepada KKB tetap mengacu pada aturan hukum dan jangan sampai ada warga sipil yang menjadi korban. Namun, sejumlah kalangan khawatir pelabelan KKB sebagai teroris akan memperkeruh situasi keamanan di Papua.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (29/4/2021), menyampaikan, organisasi dan anggota KKB dikategorikan sebagai kelompok teroris karena mereka telah melakukan kekerasan secara masif.
”KKB telah melakukan pembunuhan dan kekerasan secara brutal dan masif. Berdasarkan definisi di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 (tentang Pemberantasan Terorisme), yang dilakukan KKB dan segala nama organisasi dan orang yang berafiliasi dengannya adalah tindakan teroris,” ujarnya.
Dengan pelabelan itu, pemerintah meminta Polri, TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN) melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur terhadap KKB. Namun, setiap penindakan harus mengacu pada aturan hukum. Selain itu, jangan sampai warga sipil jadi korban.
Hal lain yang ditekankannya, pentingnya aparat keamanan terus meningkatkan sinergi di Papua. ”Pangdam dan Kapolda supaya berkoordinasi dengan baik di bawah bimbingan Kapolri dan Panglima TNI sehingga operasi lebih terkoordinasi,” ucap Mahfud.
Berdasarkan catatan Kompas dan data Polda Papua dari Januari hingga 27 April 2021, KKB telah melakukan 17 penyerangan. Akibatnya, enam aparat keamanan dan enam warga sipil meninggal serta empat aparat keamanan dan dua warga terluka. KKB juga membakar sekolah, helikopter milik swasta, dan fasilitas telekomunikasi di beberapa tempat di Kabupaten Puncak, Papua.
Kedepankan persuasif
Namun, pelabelan KKB sebagai kelompok teroris dianggap tidak tepat oleh sejumlah kalangan. Sekretaris II Dewan Adat Papua John Gobay khawatir pelabelan itu akan meningkatkan operasi keamanan di Papua. ”Dengan peningkatan operasi, akan berdampak bagi masyarakat setempat. Solusi untuk Papua tanah damai tidak akan terwujud,” ujarnya.
Menurut John, akan lebih baik jika pendekatan dialog dikedepankan. Aparat keamanan, misalnya, bisa menggandeng tokoh yang mempunyai pengaruh di masyarakat untuk berdialog dengan KKB. ”Pendekatan persuasif untuk mencegah jatuhnya korban terus-menerus. Pemda bersama tokoh masyarakat dan agama bisa berperan untuk berdialog dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka),” katanya.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf pun khawatir pelabelan KKB sebagai teroris justru akan meningkatkan ketidakpercayaan publik kepada pemerintah. ”Bisa jadi itu malah memperkeruh suasana dan menambah ketegangan keamanan. Akhirnya tidak jadi resolusi konflik, tetapi malah menambah masalah baru,” ujarnya.
Dari hasil riset sejumlah akademisi, lanjut Al Araf, akar permasalahan di Papua memiliki banyak dimensi, seperti ketidakadilan ekonomi, isu marjinalisasi, kekerasan, dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tidak kunjung dituntaskan secara hukum, serta faktor historis. Maka, seharusnya konflik bersenjata di Papua diselesaikan secara lebih inklusif dan komprehensif melalui jalan dialog.
Terkait dengan tuntutan dialog tersebut, Mahfud MD mengklaim pemerintah telah berdialog dengan tokoh adat, tokoh agama, dan pimpinan DPR Papua. Dalam dialog ini, mayoritas disebutnya menyatakan ingin Papua dibangun secara komprehensif dan menolak tindakan separatis.
Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey mengatakan, dengan sikap pemerintah yang mengategorikan KKB sebagai teroris, pihaknya akan memantau upaya-upaya penegakan hukum oleh TNI/Polri agar tidak melanggar HAM.