Peran Gubernur Terganjal Persoalan Politik
Tugas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah kerap terbentur pada persoalan politik, administratif, serta tidak adanya etika pemerintahan. Untuk itu, penguatan peran gubernur dibutuhkan.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan otonomi daerah dengan asas dekonsentrasi dinilai belum berjalan efektif. Tugas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah kerap terbentur pada persoalan politik, administratif, serta tidak adanya etika pemerintahan. Untuk itu, penguatan peran gubernur dibutuhkan.
Komisioner Ombudsman RI Robert Endi Jaweng, dalam diskusi virtual bertema ”Desentralisasi Administratif”, Rabu (28/4/2021), mengatakan, setidaknya ada dua tujuan besar dari dekonsentrasi, yakni menjaga keutuhan bangsa, serta menciptakan standarisasi pelayanan. Namun, dalam pelaksanaan tujuan itu, ia melihat, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan, belum berjalan optimal.
”Kalau melihat peran gubernur hari ini masih mata rantai yang hilang dalam pemerintahan kita. The missing link. Hilang di tengah. Di beberapa tempat, gubernur memang efektif. Tetapi, beberapa daerah lain tidak (berjalan efektif),” ujar Robert.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) ini dihadiri juga oleh Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, dosen Program Studi Administrasi Publik Universitas Nasional (Unas) Agnes Wirdayanti, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Baca juga: Langkah Otonomi Daerah
Robert berpandangan, setidaknya ada tiga faktor yang membuat peran gubernur ini menjadi tidak efektif, meliputi persoalan politik, administratif, serta etika pemerintahan. Pertama, dari sisi politik, ternyata jika antara gubernur dan bupati/wali kota memiliki warna partai politik yang berbeda, maka itu menjadi hambatan. Bahkan, ia menyebut, tak jarang pula, meski antara gubernur dan bupati/wali kota berasal dari satu partai, komunikasi politik itu tak berjalan dengan baik.
Dari sisi etika pemerintahan, Robert melihat, mereka yang sudah menjadi kepala daerah kerap kali masih memikirkan soal partai. Ini membuat loyalitas kepada partai lebih kuat daripada loyalitas kepada hierarki pemerintahan. Alhasil, apa pun yang diarahkan oleh gubernur bahkan Kementerian Dalam Negeri sebagai pembina umum pemerintah daerah, tidak akan dijalankan.
”Seharusnya, secara etika politik, bupati, wali kota taat pada gubernur. Itu enggak ada cerita soal dia dipilih dengan cara seperti apa dan dari partai mana. Tetapi, di dalam pemerintahan, ketaatan itu harus hierarkis,” tutur Robert.
Kemudian, soal administratif, lanjut Robert, peran gubernur tak cukup hanya sebagai wakil pusat di daerah dalam pengawasan dan pembinaan bupati/wali kota. Namun, peran gubernur harus ditambah terkait koordinasi atas instansi-instansi vertikal milik kementerian dan lembaga yang ada di daerahnya. Ini dinamakan sistem prefektur terintegrasi (integrated prefectoral system).
Dengan demikian, keuntungannya adalah kepala daerah tak perlu lagi harus ke Kemendagri dalam proses penyusunan peraturan daerah. Gubernur cukup mengoordinasikan para kepala kantor wilayah (kanwil) untuk membantu kepala daerah dan DPRD dalam penyusunan perda.
”Kita enggak punya sistem itu karena para kepala kanwil di daerah saat ini masih mengenal loyalitas tunggal pada kantor pusat, tidak bicara berkoodinasi dengan gubernur,” ucap Robert.
Perlu penguatan
Agnes Wirdayanti pun memiliki argumentasi yang hampir mirip dengan Robert. Menurut dia, ada empat hal yang membuat peran gubernur dalam asas dekonsentrasi ini tak optimal. Pertama, tidak ada dukungan politik dari pusat ke gubernur.
Kedua, dari sisi kelembagaan, hingga saat ini pembentukan sekretariat gubernur yang terlepas dari organisasi perangkat daerah, tidak berjalan optimal. Padahal, itu merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
Ketiga, persoalan dana dekonsentrasi bagi gubernur untuk menjalankan tugasnya belum juga optimal. Keempat, faktor sosial di mana gubernur harus mampu membangun pola komunikasi dan interaksi sosial yang baik dengan para kepala daerah di wilayahnya. Dengan demikian, gubernur dipercaya mampu menjadi jembatan bagi kepentingan pusat dan daerah.
Atas segala persoalan itu, Agnes mengusulkan sejumlah hal terkait optimalisasi peran ganda gubernur dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia ini, baik sebagai kepala daerah otonom, maupun sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Pertama, mengoptimalkan peran gubernur sebagai mediating structure dalam hubungan antara pusat dan daerah. Kedua, mengoptimalkan peran gubernur sebagai budget optimizer dalam perencanaan pembangunan daerah. Ketiga, memperkuat pendanaan bagi pelaksanaan tugas peran ganda gubernur.
Keempat, mengoptimalkan kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam hal ini, Agnes berharap, sekretariat gubernur dapat diisi oleh aparatur sipil negara (ASN) dari pusat yang berkompeten. Misal, ASN yang berkompeten di bidang perencanaan daerah ditempatkan di Badan Perencanaan Daerah. Kelima, menerapkan instrumen koordinasi, pembinaan, dan pengawasan (binwas) gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah. Ini akan memudahkan gubernur dalam melakukan koordinasi dan binwas tersebut.
Sangat riskan
Meski demikian, Djohermansyah Djohan memiliki pandangan yang berbeda. Menurut dia, gubernur tidak tepat apabila harus merangkap sebagai wakil pusat. Ini membuat sistem pemerintahan tidak berjalan secara fokus.
Ia mengusulkan, perlu dibentuk kepala pemerintahan wilayah di setiap pulau besar, yang diangkat oleh Presiden dari orang-orang yang berpengalaman di dunia pemerintahan. Mereka akan fokus mengawal pelaksanaan otonomi daerah di provinsi, kabupaten dan kota. Ini juga dinilai dapat memudahkan koordinasi dan binwas. Pulau-pulau besar itu, misalnya, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, dan Papua.
”Jadi, gubernur tidak lagi merangkap sebagai wakil pemerintah pusat. Gubernur, wali kota, bupati, tetap dipilih sebagai kepala daerah otonom, tetapi presiden sebagai kepala pemerintahan dibantu oleh pemimpin di pulau-pulau besar tadi. Saya yakin itu akan lebih efektif,” ucap Djohermansyah.
Sementara itu, Ganjar Pranowo membenarkan soal benturan etika politik pemerintahan ketika dirinya menjalankan tugas sebagai koordinator binwas di wilayahnya. Bahkan, ia menyebut, perbedaan pendapat antara gubernur dan bupati/wali kota pun sering muncul meski memiliki warna partai yang sama.
”Satu kata yang tidak pernah dipakai, tetapi diomongkan terus itu etika tadi. Ini nyebelin betul. Kalau sudah etika, itu nyebelin betul. Apakah dia heavy-nya nanti akan lari ke (partai) pengusungnya atau ke mana? Kita tidak semuanya sama. Pada tingkat kepentingan ini sering kali ini memang saling menekan. Maka, negosiasi politiknya menjadi tidak ringan,” ujar Ganjar.
Jika merunut dari hulunya, lanjut Ganjar, ini tak terlepas dari biaya politik yang mahal. Setelah kepala daerah mengeluarkan modal yang besar, mereka akan mencari jalan untuk dapat mengembalikan modalnya. Apalagi, mereka menang juga tak terlepas dari dukungan partai-partai pengusungnya.
”Pada saat itu ada yang cara-caranya mungkin tidak tepat. Ketika tidak tepat orang bicara siapa bandar di belakangnya. Maka pada saat itu terjadi deal-deal yang mengakibatkan apakah konsesi, apakah kolutif, apakah koruptif. Itu yang terjadi, yang terlihat di lapangan, ternyata mereka, mohon maaf, yang kena operasi tangkap tangan, terus kemudian mereka kena problem,” ucap Ganjar.
Pada tingkat itulah, menurut Ganjar, penting untuk memberikan penguatan pada seorang gubernur sebagai pengontrol. Bahkan, menurut dia, patut dipertimbangkan pula agar ke depan gubernur dapat memberikan sanksi bahkan mengusulkan pencopotan kepada kepala daerah yang tidak sejalan. Itu pun berlaku bagi gubernur jika mereka tidak dapat melakukan binwas dengan baik.
Baca juga: Seperempat Abad Otonomi Daerah, Pemda Masih Bergantung pada Keuangan Pusat
”Kalau enggak, nanti etika tadi tidak bisa berjalan. Apalagi, kita menghadapi pandemi seperti ini. Kalau silatnya masih kebanyakan, varian-varian pengambil keputusan masih banyak dan kemudian tidak mengikuti ketentuan yang ada atau kebijakan yang nasional ambil, maka ini kemudian membikin seolah-olah kita tidak kompak. Dan, ini terjadi di banyak hal,” tutur Ganjar.
Opsi lainnya, pemerintah pusat menerapkan formula insentif dan disinsentif. Misal, kepala daerah tidak menjalankan kebijakan pusat atau gubernur, maka itu berpengaruh pada bantuan keuangan. Dengan demikian, ia berharap, kepala daerah dapat lebih patuh.