Moderasi Beragama, Jalan untuk Menangkal Arus Intoleransi
Problem intoleransi akan terus ada karena ada generasi yang keras. Oleh karena itu, dibutuhkan Islam moderat yang hadir di masyarakat, kampus, sekolah, institusi pemerintah. Pendidikan formal perlu menghadirkan hal ini.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Moderasi dalam hidup beragama merupakan jalan untuk menangkal arus intoleransi yang terus terjadi di Indonesia. Hal tersebut mesti terus-menerus digaungkan karena dengan kondisi Indonesia yang sangat majemuk, permasalahan terkait suku, agama, ras dan antargolongan berpotensi untuk muncul kembali.
”Kita banyak sekali melihat kasus-kasus intoleransi tanpa melihat suasana masih pandemi Covid-19. Tantangan intoleransi itu tidak jauh, tetapi dekat dengan kita dan berada di dalam lingkungan kita,” kata Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga intelektual Muhammadiyah, Ahmad Najib Burhani.
Tantangan intoleransi itu tidak jauh, tetapi dekat dengan kita dan berada di dalam lingkungan kita.
Ahmad berpandangan, moderasi beragama berarti memoderasi pemahaman beragama. Namun, meletakkan moderatisme di antara liberalisme dan radikalisme juga memiliki dilema. Sebab, interpretasi moderatisme antara satu dan kelompok lain bisa berbeda-beda.
Hal itu terungkap di dalam diskusi daring bertajuk ”Urgensi Penguatan Moderasi Beragama dalam Menangkal Arus Intoleransi” yang diselenggarakan Kaukus Muda Indonesia, Kamis (29/4/2021). Pembicara lain dalam forum tersebut adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Media Zainul Bahri, Koordinator Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Viva Yoga Mauladi, politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Mohamad Guntur Romli, dan intelektual muda Nahdlatul Ulama Moch Eksan.
Menurut Ahmad, untuk memahami moderasi beragama, perlu dilihat kriteria atau ciri fundamentalisme. Pertama adalah selalu mengambil sikap oposisi. Dalam hidup beragama, orang berpaham radikal dan fundamental menganggap hanya penafsirannya sendiri yang benar atau menjadi satu-satunya kebenaran. Berikutnya adalah sikap ekslusif, serta bersikap reaktif dan defensif.
Salah satu masalah yang muncul terkait intoleransi adalah paradigma ekslusivisme. Sederhananya, pemahaman bahwa kehidupan akan lebih sempurna ketika kelompok yang berbeda tidak hidup bersama. ”Problem moderatisme kadang kala menjadi permasalahan kultural, lalu politis,” ujar Ahmad.
Intoleransi ibarat janin, radikalisme ibarat bayi, dan terorisme adalah wujud dewasa dari kekerasan.
Eksan berpandangan, intoleransi ibarat janin, radikalisme ibarat bayi, dan terorisme adalah wujud dewasa dari kekerasan. Persoalan terjadi ketika instrumen kekerasan digunakan untuk memengaruhi, menekan, dan membentuk suatu keyakinan tertentu.
”Saya melihat problem intoleransi akan terus ada karena ada generasi yang keras. Ketika mereka berada di wilayah penuh kekerasan, dia berpotensi melakukan kekerasan atau korban kekerasan. Maka, perlu dibutuhkan dari kita adalah Islam yang moderat, baik di lembaga masyarakat, kampus, sekolah, maupun institusi pemerintah, untuk mengetengahkan Islam yang moderat,” tutur Eksan.
Menurut Eksan, intoleransi adalah anasir di tengah masyarakat Indonesia. Mengutip Kementerian Agama, indeks kerukunan beragama pada 2019 adalah 73,83. Itu berarti, dari 100 orang, hanya 73 orang yang toleran. Lebih spesifik, di wilayah yang mayoritas merupakan basis masyarakat beragama Islam, angkanya justru di bawah rata-rata, yakni seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Aceh.
Untuk itu, lanjut Eksan, kampanye moderasi beragama untuk menekan intoleransi mesti dimulai dari para pendidik di sekolah formal dan institusi pendidikan lainnya. Sebab, selama ini virus intoleransi banyak berkembang melalui pendidikan.
Kampanye moderasi beragama untuk menekan intoleransi mesti dimulai dari para pendidik di sekolah formal dan institusi pendidikan lainnya. Sebab, selama ini virus intoleransi banyak berkembang melalui pendidikan.
Dari sisi historis, menurut Media, kesadaran moderasi beragama sudah lama tertanam di memori kolektif dan praktik orang-orang beragama di Nusantara. Pada masa kolonialisme Belanda, antara 1901-1940, terdapat organisasi bernama masyarakat teosofi Indonesia. Salah satu kegiatannya adalah mendiskusikan kerukunan umat beragama
”Pemerintah kolonial Belanda mendukung mereka karena menguntungkan. Bagi pemerintah kolonialisme, yang penting adalah masyarakat tenang. Riset saya juga menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Belanda justru tidak mendukung kristenisasi. Justru pemerintah kolonial itu ingin membatasi misionaris,” kata Media.
Pada masa Orde Baru, negara berkepentingan dengan kerukunan beragama dengan menyebarkan gagasan keagamaan yang moderat. Saat itu yang muncul adalah tokoh-tokoh intelektual Islam, seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid.
Pada masa reformasi, yang terjadi justru berkebalikan dari Orde Baru. Ketika masa Orde Baru terjadi depolitisasi agama, pada masa reformasi yang terjadi adalah politisasi agama sehingga memunculkan kelompok-kelompok Islam radikal. Selama ini yang menghadapi mereka adalah masyarakat dan organisasi masyarakat, serta intelektual Islam yang bergabung pada kelompok moderat.
”Maka, untuk menangkal intoleransi ini adalah masyarakat dan negara. Kalau hanya masyarakat sipil yang menghadapi, yang terjadi adalah konflik. Maka, negara harus ada,” ujar Media.
Guntur berpandangan, sebagai sebuah diskursus, pandangan Hizbut Tahrir Indonesia ataupun Front Pembela Islam dapat memperkaya spektrum. Namun, ketika ruang publik yang beragam dikooptasi dan disertai dengan agenda untuk mengganti konstitusi Indonesia, di titik itulah negara harus hadir.
”Negara mesti hadir untuk melindungi negara itu sendiri dan memastikan bahwa Indonesia yang beragam, yang damai, yang toleran tetap terjaga,” kata Guntur.
Namun, lanjut Guntur, moderatisme perlu diperluas tidak hanya untuk melawan intoleransi dan radikalisme. Moderatisme perlu ditanamkan sebagai nilai yang terpuji. Sebab, ketika intoleransi dan radikalisme sudah dapat diatasi, bisa jadi kelompok yang mengaku moderat akan jatuh pada konservatisme, semisal ketika dihadapkan pada persaingan politik terkait pemilihan pimpinan non-Muslim, tanggapan di dalam kelompok moderat akan berbeda-beda.
Menurut Viva, antara agama dan politik dapat dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Dalam beberapa kasus politik, agama digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan tingkat elektoral.
”Ketika agama sudah masuk ke proses politik, maka akan mengalami proses turbulensi sehingga pembelahan itu akan terjadi,” ujar Viva.
Menurut Viva, moderasi beragama mesti digaungkan dalam setiap masa dan generasi. Hal itu perlu dilakukan dengan pendekatan persuasif rasional dan obyektif. Dalam kondisi bangsa yang majemuk, baik dalam suku, agama, ras, mupun golongan, permasalahan terkait hal itu akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.