Pemungutan suara ulang yang diselenggarakan di 16 daerah harus dilaksanakan sesuai dengan putusan MK. Ini penting untuk menghindari munculnya kembali gugatan atas hasil PSU yang diikuti dengan perintah PSU ulang.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu mengingatkan Komisi Pemilihan Umum agar menjalankan seluruh amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pemungutan suara ulang Pemilihan Kepala Daerah 2020. Hal itu untuk mencegah pemungutan suara ulang kembali terulang.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, saat Rapat Koordinasi Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Kepala Daerah Nabire 2020 dan Penyerahan Data Pemilih Hasil Sinkronisasi untuk Keperluan PSU Nabire, Rabu (28/4/2021), di Jakarta, mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu berkoordinasi dengan Bawaslu dalam melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU), seperti amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Koordinasi sebaiknya tidak hanya dilakukan dalam PSU Nabire, tetapi juga di 16 daerah lain yang diperintahkan MK untuk PSU dan penghitungan suara ulang.
”Harapan kita semua bahwa pasca-PSU ini sudah selesai, tidak ada lagi PSU-PSU kembali,” ucap Abhan.
Berdasarkan catatan Kompas, MK pernah memerintahkan PSU ulang untuk Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, dan Memberamo Raya, Papua, saat Pilkada 2015. Di Muna, MK menemukan 174 pemilih yang tidak memenuhi syarat, yakni pemilih ganda, pemilih sudah meninggal dunia, pemilih pindah alamat, dan pemilih belum cukup umur. Sedangkan di Memberamo Raya, ditemukan adanya intimidasi yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian (Brimob) kepada masyarakat di 10 TPS sehingga masyarakat menjadi takut untuk pergi ke TPS.
Rapat yang diselenggarakan KPU dalam rangka persiapan PSU Nabire itu dihadiri, antara lain, Ketua Bawaslu Abhan dan anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin. Sedangkan dari KPU hadir Ketua KPU Ilham Saputra serta anggota KPU, Viryan Aziz dan I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.
Dalam kesempatan itu, KPU menyerahkan data hasil sinkronisasi formulir model A-KWK yang diperoleh dari sinkronisasi data pemilih dalam Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 sebanyak 117.401 pemilih. Jumlah ini menyusut 61.144 pemilih jika dibandingkan dengan DPT Pilkada Nabire 2020.
Bawaslu nantinya akan melakukan pengawasan terhadap proses pemutakhiran data pemilih dalam tahap pencocokan dan penelitian.
Abhan mengatakan, Bawaslu nantinya akan melakukan pengawasan terhadap proses pemutakhiran data pemilih dalam tahap pencocokan dan penelitian. Langkah ini dilakukan agar pemilih yang akan menyalurkan suaranya di PSU Nabire adalah mereka yang benar-benar memiliki hak untuk memilih.
Dalam amar putusan MK, KPU diperintahkan melaksanakan PSU di seluruh tempat pemungutan suara di Nabire dengan mendasarkan pada DPT yang telah diperbaiki sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan PSU dilakukan dengan menggunakan sistem pencoblosan langsung.
Sebelumnya, MK menemukan ketidakwajaran penentuan jumlah DPT karena jumlahnya lebih banyak daripada jumlah penduduk sehingga sulit diterima akal sehat. Dalam menyusun DPT, KPU Nabire dinilai tak merujuk DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan) Semester II (115.877 jiwa) yang ditetapkan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Dari proses pemutakhiran data itu, hingga proses perbaikan, jumlah pemilih tetap yang ditetapkan menjadi DPT Pilkada 2020 berjumlah 178.545 pemilih. Jumlah DPT tersebut melebihi jumlah penduduk Nabire yang berdasarkan data Kemendagri per 30 Juni 2020 tercatat 172.190 jiwa.
Dari hasil analisis dan sinkronisasi data, jumlah pemilih berdasarkan formulir model A-KWK sebanyak 117.401 pemilih. Jumlah ini menyusut 61.144 pemilih jika dibandingkan dengan DPT Pilkada Nabire 2020.
Ilham menuturkan, koordinasi antara KPU dan Bawaslu sangat penting. Pihaknya mengharapkan masukan dari Bawaslu sehingga catatan Bawaslu bisa segera ditindaklanjuti. Koordinasi itu diharapkan juga dilakukan oleh KPU-Bawaslu di daerah.
Jumlah pemilih menyusut
Viryan mengatakan, KPU telah melakukan tahapan perbaikan daftar pemilih tetap. Dari hasil analisis dan sinkronisasi data, jumlah pemilih berdasarkan formulir model A-KWK sebanyak 117.401 pemilih. Jumlah ini menyusut 61.144 pemilih jika dibandingkan dengan DPT Pilkada Nabire 2020.
Rinciannya terdiri dari data yang dipadankan antara DP4 dan DPT Pemilu 2019 sebanyak 87.595 pemilih, ada di DP4 tetapi tidak ada di dalam DPT sebanyak 28.282 pemilih, dan ada di DPT tetapi tidak ada di DP4 kemudian dipadankan dengan data perekaman KTP-el sebanyak 1.524 pemilih. Data tersebut menjadi acuan bagi petugas coklit untuk melakukan pemutakhiran data hingga nantinya menjadi DPT.
Saat tahapan pemutakhiran daftar pemilih yang dilakukan dengan mendatangi pemilih sejak 26 April lalu, Viryan berharap agar aparat keamanan memberikan dukungan. Sebab, ada kekhawatiran akan munculnya intimidasi terhadap petugas coklit yang melakukan pemutakhiran data dan pengolahan data di lapangan.
Selain itu, KPU menilai perlu ada tim teknis dari unsur KPU dan Bawaslu khusus untuk pelaksanaan PSU di Nabire. Tim teknis tersebut untuk memudahkan koordinasi, bahkan jika diperlukan melakukan supervisi dalam penyusunan DPT. Sebab, perlu ada kesamaan pandangan agar petugas di bawah tidak salah tafsir sehingga kerja-kerja perbaikan DPT akan efisien dan efektif.
”Dalam upaya pengawasan yang dilakukan Bawaslu, kami berharap ada cara pandang yang sama dalam melakukan pemutakhiran data pemilih di Nabire,” tutur Viryan.
Usulan itu kemudian disepakati oleh Bawaslu. Menurut Afifuddin, Bawaslu akan melakukan pencermatan yang sangat serius dengan pemahaman yang sama dengan KPU karena selisih DPT di Nabire sangat besar.
Untuk memastikan DPT PSU Nabire memenuhi aturan sesuai perintah MK, ada beberapa hal yang menjadi perhatian. Pertama, pemilih yang tidak terdaftar di DPT Pilkada 9 Desember 2020 tetapi tidak ada di data A-KWK. Kedua, pemilih yang elemen datanya tidak sesuai administrasi data kependudukan. Ketiga, pemilih yang dinyatakan tidak memenuhi syarat pada pilkada 9 Desember 2020 harus dipastikan tidak masuk dalam A-KWK, serta terakhir memastikan daftar pemilih tambahan.
”Pemilih yang tidak memenuhi syarat harus dicoret berdasarkan hasil coklit, juga pemilih yang memenuhi syarat harus dimasukkan dalam proses coklit. Kami punya waktu beberapa saat untuk pencermatan dan pengecekan di lapangan,” tutur Afifuddin.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengingatkan, tim teknis seharusnya dibentuk hingga tingkat daerah. Ini untuk memastikan kesepahaman di tingkat nasional juga dipahami anggota yang menjalankan tugas di lapangan.
Koordinasi antarkelembagaan, termasuk dengan menggandeng Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, juga penting agar ada kesepahaman data serta menghasilkan data yang akurat. ”Jadi, data bisa disepakati sehingga tidak ada data lain yang muncul,” katanya.
Data dari pemerintah, dalam hal ini DP4, harus menjadi rujukan utama dalam menentukan DPT. Data itu kemudian disinkronkan dengan DPT pemilu 2019 dan dimutakhirkan di lapangan ”Pada umumnya DPT di suatu daerah berkisar 60-70 persen dari jumlah penduduk,” ujar Ferry.
Perintah MK harus benar-benar ditindaklanjuti, termasuk perintah seperti memperbaiki daftar pemilih dan penggantian anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara pada beberapa putusan.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Ihsan Maulana, mengingatkan, perintah MK dalam amar putusan harus benar-benar ditindaklanjuti oleh penyelenggara, termasuk perintah seperti memperbaiki daftar pemilih dan penggantian anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara pada beberapa putusan. Hal ini untuk mencegah adanya gugatan dari pasangan calon peserta PSU akibat penyelenggara tidak sepenuhnya melaksanakan putusan MK.
”Pengawasan dari Bawaslu harus maksimal agar PSU tidak kembali digugat ke MK dan berpotensi kembali terulang,” katanya.