Juru Bicara: Presiden Jokowi Belum Pernah Menyatakan Akan ”Reshuffle” Kabinet
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyatakan, saat ini Presiden belum pernah menyatakan akan melakukan ”reshuffle” kabinet kepada publik. Apabila ”reshuffle” dilakukan, Presiden sendiri yang akan mengumumkan.
Oleh
FX LAKSANA AS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman melalui rilis video di Jakarta, Selasa (27/4/2021), berusaha meredakan spekulasi tentang perombakan atau reshuffle Kabinet Indonesia Maju. Ia menegaskan bahwa perombakan kabinet jika itu akan dilakukan, sepenuhnya menjadi hak prerogatif Presiden.
”Sampai saat ini Presiden Joko Widodo belum pernah menyatakan akan melakukan reshuffle kabinet kepada publik. Apabila reshuffle kabinet akan dilakukan, Presiden sendiri yang akan mengumumkan dan menyampaikan kepada publik, seperti reshuffle kabinet pada 22 Desember 2020 di beranda Istana Merdeka,” kata Fadjroel.
Hal yang sudah pasti, Fadjroel melanjutkan, adalah bahwa DPR telah menyetujui rencana Presiden untuk membentuk dua kementerian baru. Pertama adalah Kementerian Investasi yang merupakan peningkatan skala otoritas dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kedua adalah kementerian penggabungan dari Kementerian Riset dan Teknologi serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Perubahan nomenklatur tersebut didasarkan atas Surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 perihal Pertimbangan Pengubahan Kementerian. Hal itu sekaligus sesuai dengan sejumlah pertimbangan yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Presiden dalam merencanakan perubahan tersebut, Fadjroel menambahkan, tentu mempertimbangkan aspirasi rakyat dan menyesuaikan dengan kebutuhan. Soal kapan perombakan akan dilakukan dan siapa saja yang terdampak, hanya Presiden yang tahu.
”Dalam bahasa rakyat, hanya Presiden Jokowi dan Tuhan Yang Maha Esa yang tahu, kapan dan siapa yang akan menduduki jabatan menteri, setidaknya di dua kementerian baru tersebut. Atau dalam bahasa legal konstitusional, reshuffle adalah hak prerogatif Presiden,” kata Fadjroel.
Video rekaman berisi pernyataan tersebut disebarkan ke wartawan Istana Kepresidenan sekaligus diunggah Fadjroel di akun media sosialnya. Video itu berdurasi 2 menit 43 detik.
Beberapa pekan terakhir, kabar perombakan kabinet terus menghangatkan diskusi publik. Hal ini terjadi setelah DPR pada rapat paripurna di Jakarta, Jumat (9/4/2021), menyetujui permintaan Presiden Jokowi untuk mengubah nomenklatur di tiga kementerian. Dengan demikian, perombakan Kabinet Indonesia Maju tinggal menunggu hari saja.
Pembahasan di sejumlah media juga masuk ke dalam spekulasi soal siapa saja menteri yang akan dicopot. Spekulasi itu juga soal bursa calon-calon menteri baru yang akan menggantikan pejabat lama.
Peneliti The Institute for Ecosocs Rights, Sri Palupi, tidak berharap banyak terhadap perombakan kabinet yang akan dilakukan Presiden Jokowi. Alasannya, perombakan kabinet yang sudah-sudah terbukti lebih banyak urusannya untuk bagi-bagi jatah kekuasaan ketimbang untuk kepentingan menjawab tantangan obyektif rakyat.
”Perombakan kabinet hanya bagi-bagi kekuasaan saja. Lihat saja sekarang, semuanya semakin kabur, mana pengusaha, mana penguasa. Artinya, perombakan kabinet kalau tidak ada perubahan yang mengarah pada visi kepada rakyat percuma saja. Cuma ganti orang saja. Substansi persoalannya bukan di situ,” kata Palupi.
Saat ini, menurut Palupi, agenda normatif pemerintah adalah membantu rakyat yang kesulitan sekaligus mengupayakan berbagai cara agar Covid-19 segera terkendali di Tanah Air. Namun, banyak kebijakan tidak sinkron dengan fokus tersebut, misalnya proyek pembangunan ibu kota negara baru yang tidak realistis untuk dilanjutkan pada masa ini. Alasannya, sumber daya nasional mesti difokuskan untuk menyelesaikan pandemi.
”Itu tidak menunjukkan kepekaan atas situasi krisis. Ruang hidup rakyat itu makin sempit. Beban rakyat kian berat. Yang di bawah susah, yang di atas terus berdelusi tentang kemegahan. Jaraknya jauh sekali antara realitas yang dihadapi rakyat dan apa yang dipikirkan elite. Tidak nyambung,” kata Palupi.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, Jumat (16/4/2021), menyatakan, tantangan obyektif bangsa Indonesia ke depan kian berat. Indonesia dalam jangka pendek jelas-jelas dihadapkan pada persoalan multisektoral akibat pandemi Covid-19.
Pada saat yang sama, ada pula persoalan perubahan iklim, bonus demografi, disrupsi teknologi, dan pengangguran. Indonesia juga memiliki sejumlah persoaan struktural yang juga harus disasar.
”Karena tantangan ke depan makin berat, Presiden seharusnya melakukan reshuffle kabinet atas basis kebutuhan obyektif dan menempatkan orang yang benar-benar berintegritas dan kompeten yang bisa menjawab tantangan. Jika akomodasi politik lebih dominan, sangat berisiko untuk Indonesia,” kata Arya.