Operasi Penyelamatan KRI Nanggala Tetap Harus Diupayakan
Pasca-tenggelamnya KRI Nanggala-402, pemerintah dan TNI diharapkan mengevaluasi secara menyeluruh, terutama sistem perawatan alutsista. Peristiwa ini juga jadi momentum evaluasi dan audit alutsista.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun operasi penyelamatan kapal selam KRI Nanggala-402 yang berada di kedalaman sekitar 850 meter diperkirakan tidak akan mudah, TNI diharapkan tetap mengupayakan hal itu. Di sisi lain, pemerintah dan TNI diharapkan melakukan evaluasi menyeluruh, terutama mengenai sistem perawatan alat utama sistem persenjataan atau alutsista.
Pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie, Minggu (25/4/2021), berpandangan, dengan status kapal selam KRI Nanggala-402 yang dinyatakan tenggelam di kedalaman sekitar 850 meter, upaya penyelamatan akan semakin sulit, baik dari sisi teknis maupun tantangan dari alam.
”Di dunia ini tidak ada kapal selam militer yang dibuat untuk kedalaman di bawah kedalaman 500 meter. Ditambah lagi ketika melihat serpihan yang ditemukan, saya melihat yang terjadi adalah implotion atau semacam kaleng remuk,” kata Connie.
Di dunia ini tidak ada kapal selam militer yang dibuat untuk kedalaman di bawah 500 meter. Ditambah lagi ketika melihat serpihan yang ditemukan, saya melihat yang terjadi adalah implotion atau semacam kaleng remuk. (Connie Rahakudini Bakrie)
Hal itu, lanjut Connie, terkait dengan tekanan air laut yang semakin besar ketika kedalaman laut semakin dalam. Dengan kedalaman sekitar 850 meter, maka tekanan air laut menjadi sekitar 85 kali lipat tekanan atmosfer.
Dalam konteks penyelamatan, menurut Connie, hal ini sangat sulit. Meskipun kapal bantuan dari negara sahabat, seperti dari India dengan Submarine Rescue Vessel (SRV) SCI Sabarmati yang memiliki kemampuan evakuasi bawah air, evakuasi di kedalaman 850 meter tetap tidak mudah.
Dalam situasi keprihatinan tersebut, Connie berharap agar dilakukan audit terhadap sistem perawatan, perbaikan, dan pemeriksaan (maintenance, repair and overhaul/MRO). Sebab, selama ini sistem MRO tidak pernah diaudit. Institusi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun hanya mengaudit proses pengadaan.
Padahal, menurut Connie, kunci dari alutsista terletak pada sistem MRO. Pada sistem MRO itulah nyawa atau keselamatan dari para prajurit berada. Berkaca pada negara lain, seperti Amerika Serikat, kru atau anggota MRO harus menjalani prosedur yang ketat.
”Jangan ABS atau asal bapak senang, deh. Sistem MRO mesti ketat, harus betul-betul sesuai protap (prosedur tetap), mulai dari pemesanan, hingga kualitas kontrol suku cadang. Ini KW (tiruan) atau orisinal?” tutur Connie.
Di sisi lain, lanjut Connie, dengan visi Indonesia sebagai negara maritim dunia, semestinya belanja pertahanan Indonesia tidak hanya tertuju pada pembelian alutsista. Pemerintah mestinya juga membeli kapal penyelamat selam sebagaimana dimiliki Singapura.
Jangan ABS atau asal bapak senang, deh. Sistem MRO mesti ketat, harus betul-betul sesuai protap (prosedur tetap), mulai dari pemesanan, hingga kualitas kontrol suku cadang. Ini KW (tiruan) atau orisinalkah?
Sebelumnya, TNI Angkatan Laut menaikkan status pencarian kapal selam KRI Nanggala-402 yang hilang di perairan utara Pulau Bali dari tahap hilang kontak atau sub-missed ke tahap tenggelam atau sub-sunk. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengungkapkan rasa kehilangan yang besar atas kejadian ini.
Harus evaluasi
"Evaluasi alutsista penting agar tidak semakin banyak putra terbaik bangsa menjadi anumerta pada usia muda"
Sementara itu, pengamat intelijen dan pertahanan Susaningtyas Kertapati berpandangan, insiden tersebut harus menjadi peringatan agar pemerintah mengevaluasi alutsista yang dimiliki, mengevaluasi sistem perawatannya (MRO), dan mengevaluasi kebijakan anggaran pertahanan beserta penerapannya. Selain itu, perlu evaluasi terhadap lembaga pendidikan TNI dengan maksud agar para perwira mendapat kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi alutsista yang mumpuni.
”Evaluasi alutsista penting agar tidak semakin banyak putra terbaik bangsa menjadi anumerta pada usia muda,” kata Susaningtyas.
Selain itu, lanjut Susaningtyas, evaluasi alutsista juga mendesak dilakukan karena dalam setahun terakhir dua kapal perang milik TNI AL tenggelam. ada Juni 2020, KRI Teluk Jakarta yang merupakan kapal pendarat tenggelam tenggelam di perairan Pulau Kangean, Jawa Timur. Terkait hal ini, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) diminta untuk bertanggung jawab.
Menurut Susaningtyas, insiden tenggelamnya KRI Nanggala-402 dalam latihan perang juga harus dievaluasi. Sebab, persiapan dalam latihan perang tersebut dinilai tidak paripurna karena hanya memakan waktu seminggu dari seharusnya dua bulan. Persiapan itu mencakup kesiapan alutsista dan kesiapan awak alutsista tersebut.
”Tidak semata kapal selam sudah tua, tetapi setiap alutsista mau operasi harus dilakukan kirka (perkiraan keadaan). Seharusnya perkiraan keadaan KRI Nanggala-402 sebelum berangkat harus digunakan pertimbangan berangkat atau tidak,” terang Susaningtyas.