Presiden Joko Widodo diharapkan segera menyudahi keriuhan dengan segera mengumumkan "reshuffle" kabinet. Semakin lama ditunda, dikhawatirkan berimbas pada kinerja para menteri.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·5 menit baca
Isu reshuffle atau perombakan kabinet kembali mengguncang dunia politik nasional setelah Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui perubahan nomenklatur kementerian, 9 April lalu. Tak hanya mengisi kementerian baru, banyak kalangan mendorong reshuffle jilid II di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini jadi momentum membongkar pasang kabinet sekaligus merangkul kekuatan politik di luar koalisi.
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas perubahan nomenklatur kementerian yang diusulkan pemerintah mau tak mau membuat Presiden Jokowi harus melakukan penataan kabinet. Minimal mengisi jabatan di dua kementerian dan satu badan, yakni Kementerian Investasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Namun, tidak sedikit kalangan yang menduga, perubahan nomenklatur kementerian tersebut bakal dijadikan pintu untuk melakukan perombakan kabinet secara besar-besaran. Spekulasi soal nama-nama menteri yang akan diganti dan diangkat pun bermunculan.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Luqman Hakim, misalnya, menyebut salah satu menteri yang akan diganti berinisial M. Saat dikonfirmasi dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum bertajuk ”Bongkar Pasang Kabinet Lagi”, Rabu (21/4/2021) malam, Luqman tidak mau membuka siapa sebenarnya menteri berinisial M.
”Ya, kalau yang berinisial M, kan, banyak, tentu saya tidak bisa sebutkan nama. Mas Fadjroel (Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman) yang jubir saja, kan, pasti tidak akan menyebut namanya. Presiden-lah yang nanti menyebut nama,” kata Luqman dalam acara yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Hadir secara virtual narasumber lain, yakni politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Eriko Sutarduga; politikus Partai Keadilan Sejahtera, Anis Byarwati; Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia Huriyyah; dan Fadjroel Rachman.
Terkait dengan pernyataan Luqman, dalam Kabinet Indonesia Maju saat ini setidaknya terdapat empat menteri dan pejabat setingkat menteri berinisial M, yakni Kepala Staf Presiden Moeldoko; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, serta Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.
Meski demikian, Moeldoko yang paling menjadi sorotan dan disebut-sebut akan diberhentikan. Maklum saja, beberapa waktu lalu Moeldoko terlibat dalam gonjang-ganjing pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat hingga nama Istana ikut terseret.
Ada pula dorongan Mendikbud Nadiem Makarim diganti menyusul penggabungan kementerian itu dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Sejumlah nama yang dianggap layak menggantikan Nadiem pun beredar, dari Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti hingga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
Wacana penggantian Mendikbud pun dijawab dengan beredarnya swafoto Nadiem bersama Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Foto yang menunjukkan kedekatan Nadiem dan Mega itu tak pelak membuat banyak kalangan berspekulasi, posisi Nadiem sebagai menteri tak akan terganti.
Akan tetapi, menurut Eriko, pertemuan antara Nadiem dan Megawati sebatas pertemuan antara Mendikbud dan Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
”Mas Nadiem datang bukan membahas soal Mendikbudristek, tetapi membahas PP 57 (PP Nomor 57 Tahun 2001 tentang Standar Nasional Pendidikan),” kata Eriko.
Tak terhindarkan
Tidak seperti biasanya, pada episode reshuffle kali ini Presiden Jokowi terkesan lambat dalam mengambil keputusan. Sudah dua hari Rabu terlewati sejak pembentukan dan penggabungan kementerian disetujui DPR, tanpa ada kejelasan perombakan kabinet.
Menurut Fadjroel, sampai saat ini belum ada pembicaraan mengenai penataan kabinet. ”Sampai saat ini tidak ada pernyataan dari Presiden ataupun arahan dari Presiden untuk menyampaikan kepada publik (tentang reshuffle),” tuturnya.
Meski begitu, sebenarnya saat ini reshuffle kabinet tetap tak bisa terhindarkan. Sebab, menurut Luqman, Presiden harus menindaklanjuti keputusan DPR membentuk satu kementerian baru, satu lembaga baru, serta peleburan dua kementerian. Perkara reshuffle jilid II digunakan untuk melakukan evaluasi kabinet secara besar-besaran, hal itu mutlak menjadi wewenang Presiden.
Akan tetapi, sebagai partai pendukung, PKB memberikan catatan bahwa pada situasi pandemi Covid-19 yang belum terkendali, Presiden memerlukan menteri yang bisa membantu keluar dari krisis. Selain itu, dibutuhkan pula kabinet yang bisa mengurangi kegaduhan-kegaduhan yang tak diperlukan.
Eriko menambahkan, berbagai penyesuaian memang perlu dilakukan karena situasi saat ini belum kembali normal. ”Justru aneh kalau dalam situasi seperti ini tak ada reshuffle,” katanya.
Namun, untuk mengambil keputusan, Presiden membutuhkan waktu. Presiden mengedepankan kehati-hatian dan penuh pertimbangan. Dibutuhkan waktu memilih para pembantu yang berintegritas, memiliki kapabilitas, dan diterima semua kalangan masyarakat.
Hentikan kegaduhan
Sejak awal pemerintahan Jokowi pada 2014, kegaduhan selalu terjadi menjelang penyusunan maupun perombakan kabinet. Sering kali para relawan dan partai pendukung sama-sama bermanuver, mencoba memengaruhi, bahkan menekan agar Presiden menerima pendapat serta usulan nama yang mereka ajukan.
Kegaduhan itu tentu berpengaruh pada kinerja para menteri. Alih-alih fokus melaksanakan program kerja yang telah ditetapkan, ada saja menteri yang justru sibuk kasak-kusuk, mencari tahu apakah kursinya aman atau tidak.
Karena itu, menurut Huriyyah, semestinya Presiden segera menyudahi keriuhan dengan segera mengumumkan perombakan kabinet. ”Ini agar para menteri pun bisa bekerja dengan tenang karena bagaimanapun reshuffle ini semakin lama ditunda, orangnya juga semakin resah,” katanya.
Presiden cukup memilih sosok yang memiliki integritas, kapabilitas, dan bisa diterima masyarakat. Kriteria itu penting agar menteri bisa mengerti dan memahami visi Presiden.
Siapa pun boleh berspekulasi, tetapi penentuan perombakan kabinet tetap berada di tangan Presiden Jokowi, sang pemilik hak prerogatif. Karenanya, publik hanya bisa menanti bagaimana akhir dari episode reshuffle jilid II ini.