Putusan Hakim Jangan Hanya Kedepankan Kepastian Hukum
Pasca-majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta jatuhkan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan ke Suharjito, yang menyuap Menteri KKP Edhy Prabowo, hakim diminta pertimbangkan rasa keadilan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang mengacu pada perkara korupsi serupa dinilai hanya mengedepankan aspek kepastian hukum. Pakar hukum pidana berpandangan, putusan hakim seharusnya juga memenuhi rasa keadilan. Sebab, karakteristik masing-masing perkara berbeda meski delik pidananya sama.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan penjara kepada Suharjito. Suharjito adalah pengusaha penyuap bekas Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mempercepat pengurusan izin budidaya lobster dan ekspor benih bening lobster (BBL).
Vonis hakim tersebut lebih rendah daripada tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Suharjito penjara 3 tahun denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara. Majelis berpandangan Suharjito selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara berkelanjutan. Suharjito terbukti memberikan suap senilai 77.000 dollar AS, 26.000 dollar AS, atau setara Rp 1,4 miliar, serta Rp 706 juta dalam beberapa tahap kepada Edhy Prabowo.
Majelis hakim yang memeriksa perkara itu diketuai oleh Albertus Usada, Ali Muhtarom, dan Suparman Nyompa. Saat membacakan amar putusan, Rabu (21/4/2021) malam, Albertus menyebutkan bahwa putusan tersebut dibuat dengan pertimbangan menjaga konsistensi dan penerapan hukum guna mengurangi disparitas putusan perkara yang hampir mirip. Perkara yang dimaksud adalah terpidana Leonardo Jusminarta Prasetyo. Leonardo merupakan penyuap bekas anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil dalam proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM).
”Albertus menyebutkan bahwa putusan tersebut dibuat dengan pertimbangan menjaga konsistensi dan penerapan hukum guna mengurangi disparitas putusan perkara yang hampir mirip. Perkara yang dimaksud adalah terpidana Leonardo Jusminarta Prasetyo. Leonardo merupakan penyuap bekas anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil dalam proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM).”
Dalam perkara tersebut Albertus juga bertindak sebagai hakim ketua. Walakin putusan yang dijatuhkan sama, yaitu penjara dua tahun dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan penjara. Namun, dalam perkara Leonardo, vonis yang dijatuhkan sama dengan tuntutan jaksa.
”Untuk menjaga konsistensi dan kesatuan penerapan hukumnya guna menghindari disparitas putusan dalam perkara yang mirip (similar case by case), yaitu dengan putusan pidana korupsi atas nama terpidana Leonardo Jusminarta Prasetyo. Majelis hakim berkhikmat dan berpendapat bahwa lamanya pemidanaan yang dijatuhkan kepada terdakwa tersebut telah memenuhi rasa keadilan masyarakat,” kata Albertus.
Kepastian hukum
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, melihat pertimbangan hakim dalam perkara suap ekspor benur tersebut, terlihat bahwa hakim berupaya untuk mengejar aspek kepastian hukum. Menurutnya, langkah menghindari disparitas pemidanaan dalam perkara yang hampir serupa adalah hal baik. Namun, putusan hakim sebenarnya tidak hanya bicara soal kepastian hukum, tetapi juga mengenai rasa keadilan.
Meskipun deliknya sama, setiap perkara memiliki karakteristik tersendiri. Dalam perkara ekspor benur, misalnya, majelis dapat menggunakan pandangan hukum bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak mendukung upaya untuk menjaga ekosistem dan budidaya produk perikanan laut Indonesia. Sebab, dalam persidangan terungkap, jika ekspor dilakukan tanpa prosedur dan kajian yang benar, secara jangka panjang justru akan menguntungkan negara lain. Nelayan budidaya lobster justru akan rugi dan tidak dapat menikmati nilai ekonomisnya. Fakta tersebut seharusnya bisa menjadi pertimbangan hakim untuk memperberat hukuman kepada terdakwa.
”Hakim memiliki independensi kekuasaan kehakiman sehingga punya kebebasan penuh untuk memutus perkara. Independensi itu seharusnya digunakan untuk menggali fakta-fakta hukum dan variabel yang bisa digunakan untuk memberatkan atau meringankan terdakwa,” kata Fickar.
Meskipun perbuatan pidananya sama-sama suap, konteks kejadian, tujuan akhir, dan dampak dari perbuatan pidana korupsi itu juga pasti berbeda. Majelis hakim seharusnya dapat menggali lebih jeli faktor tersebut. Fakta-fakta persidangan itu kemudian dapat dijadikan pertimbangan yang logis dengan argumen hukum yang kuat. Dengan demikian, majelis hakim dapat menjelaskan melalui putusannya mengenai rasa keadilan kepada masyarakat.
”Upaya untuk meminimalisasi terjadinya disparitas pemidanaan itu baik. Tetapi, jangan sampai hal itu justru membatasi hakim untuk menerapkan prinsip independensi atau kebebasan kebijakan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara tertentu.”
”Jadi, tujuannya bukan hanya mengejar pemidanaan yang sama dalam kasus serupa. Sebab, kalaupun ada disparitas pemidanaan, tetapi alasan dan pertimbangan hakim kuat, masyarakat juga akan menghormati putusan tersebut,” imbuh Fickar.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji juga berpendapat, putusan hakim dalam perkara tindak pidana sangat tergantung pada kasus per kasus. Majelis hakim seharusnya tidak hanya melihat pada kesamaan jenis delik saja, tetapi juga faktor lainnya. Hal itu misalnya karakter pelaku, alasan melakukan perbuatan tindak pidana, kondisi atau lingkungan terjadinya perbuatan. Konteks uniformitas relatif itu akan sangat berpengaruh terhadap vonis majelis hakim. Hakim diharapkan tidak terpaku pada uniformitas absolut pemidanaan, seperti menghindari disparitas putusan dalam perkara yang serupa.
”Upaya untuk meminimalisasi terjadinya disparitas pemidanaan itu baik. Tetapi, jangan sampai hal itu justru membatasi hakim untuk menerapkan prinsip independensi atau kebebasan kebijakan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara tertentu,” kata Indriyanto.