Penyidik Pemeras Wali Kota Tanjungbalai Bisa Terancam Dua Pasal Kombinasi
Penyidik Polri di KPK diduga memeras Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial. Penyidik KPK berinisial AKP SR yang diduga terkait kasus ini bisa diancam dua pasal kombinasi UU Pemberantasan Korupsi.
Oleh
PDS/NAD/DEA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi akan menindak penyidik dari kepolisian yang bertugas di KPK yang diduga memeras Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial. Polri telah mengamankan penyidik KPK berinisial AKP SR yang diduga terkait kasus ini. SR bisa terancam dua pasal kombinasi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, KPK tidak akan menoleransi penyimpangan. Ia memastikan akan menindak pelaku korupsi tanpa pandang bulu.
”Saat ini, KPK sedang melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana dimaksud dengan melakukan permintaan keterangan serta pengumpulan bukti permulaan lainnya,” kata Firli, Rabu (21/4/2021). Ia menegaskan, hasil penyelidikan akan ditindaklanjuti dengan melakukan gelar perkara di forum ekspose pimpinan.
Saat ini, KPK sedang melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana dimaksud dengan melakukan permintaan keterangan serta pengumpulan bukti permulaan lainnya.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menuturkan, KPK telah melakukan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait penerimaan hadiah atau janji terkait lelang atau mutasi jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai tahun 2019. KPK telah menemukan dua bukti permulaan yang cukup.
Akan tetapi, KPK belum bisa menyampaikan kronologi dan para pihak yang telah KPK tetapkan sebagai tersangka. Tim penyidik KPK masih akan terus melakukan pengumpulan alat bukti untuk melengkapi berkas perkara.
Anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris, mengatakan, pihaknya belum mendapatkan fakta yang sebenarnya. Dewas akan mempelajari kasus ini.
Sementara itu, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo mengatakan, pihaknya bersama KPK telah mengamankan penyidik KPK berinisial AKP SR. Saat ini yang bersangkutan diamankan di Divisi Propam Polri.
”Selanjutnya, penyidikan kasus tersebut dilakukan oleh KPK. Meskipun demikian, tetap berkoordinasi dengan Propam Polri,” kata Ferdy.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, kejadian semacam ini bukan kali pertama terjadi di KPK. Sebelumnya, tahun 2006, seorang penyidik KPK bernama Suparman juga melakukan hal serupa. Kala itu, Suparman terbukti memeras seorang saksi dan menerima uang. Akibat perbuatannya, Suparman kemudian diganjar hukuman 8 tahun penjara.
”Sangat disayangkan, lembaga antikorupsi yang seharusnya menjadi contoh bagi penegak hukum lain justru saat ini menjadi sumber permasalahan,” kata Kurnia.
Seumur hidup
Menurut Kurnia, jika dugaan pemerasan terhadap M Syahrial tersebut benar, penyidik tersebut harus dijerat dengan dua pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni kombinasi pasal 12 huruf e tentang tindak pidana pemerasan dan pasal 21 terkait menghalang-halangi proses hukum. Ketika dua kombinasi pasal itu disematkan kepada pelaku, ICW berharap penyidik tersebut dihukum maksimal seumur hidup.
KPK kerap kali menyembunyikan nama tersangka dengan alasan menunggu penangkapan atau penahanan. Selain perkara lelang jabatan di Tanjungbalai, sebelumnya juga terdapat model penanganan serupa, misalnya dalam dugaan suap pajak dan korupsi pembangunan gereja di Mimika, Papua.
Kurnia juga mengkritisi kebiasaan KPK saat ini dalam menangani sebuah perkara. Beberapa waktu terakhir, KPK kerap kali menyembunyikan nama tersangka dengan alasan menunggu penangkapan atau penahanan. Selain perkara lelang jabatan di Tanjungbalai, sebelumnya juga terdapat model penanganan serupa, misalnya dalam dugaan suap pajak dan korupsi pembangunan gereja di Mimika, Papua.
Ia mengatakan, merujuk pada UU KPK, pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi KPK untuk menutup-nutupi nama tersangka saat proses penanganan perkara yang sudah masuk dalam proses penyidikan. Pasal 44 ayat (1) UU KPK menyebutkan bahwa dalam fase penyelidikan, KPK sudah mencari bukti permulaan yang cukup.
Hal tersebut menandakan, ketika perkara sudah naik pada tingkat penyidikan, dengan sendirinya sudah ada penetapan tersangka. Menurut Kurnia, dengan melakukan hal ini secara terus-menerus, KPK telah melanggar Pasal 5 UU KPK perihal asas kepentingan umum, keterbukaan, dan akuntabilitas lembaga.