Deportan Perempuan dan Anak yang Terpapar Radikalisme Perlu Pendampingan Khusus
Pendampingan bagi deportan dan returni perempuan dan anak yang terpapar radikalisme tak mudah. Ada tiga aspek yang perlu disentuh; hati, tangan, dan kepala. Sinergi berbagai komponen masyarakat menjadi amat krusial.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendampingan bagi deportan dan returni perempuan dan anak yang terpapar paham radikal memerlukan sinergi pemerintah, organisasi masyarakat sipil, organisasi massa keagamaan, dan masyarakat umum. Sebab, persoalan yang dihadapi kompleks dan permasalahan tersebut relatif masih baru dan belum ditangani secara khusus.
”Tidak cukup hanya pemerintah karena terorisme adalah kejahatan luar biasa, kejahatan serius, maka penanganannya harus serius. Ada tiga hal, yaitu heart, hand, dan head. Hati kita sentuh, kemudian tangannya mengenai bagaimana dia memiliki pekerjaan, kemudian kepala adalah mengenai narasi atau pemahaman,” kata Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris.
Hal itu disampaikan Irfan di dalam diskusi dan peluncuran Panduan Pedoman Teknis Penanganan dan Pendampingan Deportan dan Returni Perempuan dan Anak Terpapar Paham Radikal Terorisme, Rabu (21/4/2021), yang digelar secara daring. Panduan tersebut disusun International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Pimpinan Wilayah (PW) Fatayat Nahdlatul Ulama Jawa Timur, PW NU Jawa Barat, dan Harmoni.
Adapun pembicara dalam diskusi tersebut adalah Senior Program Officer INFID AD Eridani, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ketua PW Fatayat NU JatimDewi Winarti, dan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jabar Iip Hidajat.
Menurut Irfan, penanganan deportan dan returni termasuk deradikalisasi di luar lembaga pemasyarakatan (lapas). Beberapa aspek yang mesti diperhatikan adalah menyangkut kebermaknaan, yakni bagaimana dia memberi makna ketika kembali ke masyarakat dan sebaliknya masyarakat memberikan makna kepada dirinya.
Aspek berikutnya adalah kepercayaan dan disusul dengan penerimaan. Dalam konteks deradikalisasi, penerimaan mesti terjadi dari dua sisi, baik dari deportan dan returni maupun dari sisi masyarakat. Kemudian yang terakhir adalah keteladanan.
”Keputusan politik saat ini memutuskan hanya anak-anak yang diterima. Dulu perempuan dan anak-anak, tetapi berubah karena peran perempuan (dalam aksi teror) semakin kencang, seperti Ruli, Dita, bom Sibolga, terakhir ZA,” kata Irfan.
Menurut Irfan, mereka terpapar paham radikal karena pemahaman yang tidak lengkap. Bisa jadi didorong kehidupan yang tidak sejahtera, kemudian terpapar melalui media sosial, hingga melakukan rekrutmen diri sendiri, bahkan melakukan ikatan perkawian melalui perkenalan di media sosial.
Dengan kompleksitas dan perkembangan yang dinamis, lanjut Irfan, dibutuhkan komunikasi dan pendampingan yang intens, termasuk dari ormas keagamaan, organisasi masyarakat sipil, selain oleh pemerintah. Pendampingan dilakukan tidak hanya terkait ideologi, tetapi juga pendekatan kesejahteraan.
Ruhaini mengatakan, radikalisme adalah suatu paham propaganda gerakan radikal yang membutuhkan sentimen dan elan untuk menggerakkannya. Hal itu bisa melekat pada identitas, ras, agama,suku, klas, jender, dan lainnya.
”Agama bersifat sebagai pushing dan pulling factor. Ini sebetulnya lebih menaut kepada perasaan kehampaan dari seseorang secara psikologis yang disebabkan perasaan termarginalisasi, tertinggal, tertekan dan tertindas,” kata Ruhaini.
Menurut Ruhaini, peningkatan keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme bukan bentuk emansipasi, tetapi karena relasi kuasa yang asimetris. Selama ini doktrin tentang keterlibatan perempuan dalam jihad sangat minor sehingga peran perempuan lebih sebagai sarana aksi, bukan perancang aksi. Dengan pengertian tersebut, perempuan menjadi lebih militan karena adanya ketergantungan bagi eksistensinya.
Terkait dengan deportan dan returni perempuan dan anak, lanjut Ruhaini, hal itu senada dengan persoalan radikalisme dan terorisme yang kompleks dan multidimensi. Tidak ada satu atau dua pendekatan standar yang berlaku bagi semua kasus.
”Penanganan yang paling krusial adalah menyentuh yang bersifat afektif atau tadi istilahnya hati. Satu titik pembuka yang nantinya sangat menentukan pendampingan yang lain. Hanya saya ingin menggarisbawahi adanya persoalan kehampaan psikologis yang penyebabnya bervariasi dengan manifestasi juga bervariasi,” ujar Ruhaini.
Menurut Dewi, pemahaman yang baik mengenai berbagai istilah terkait radikalisme, ekstremisme, dan terorisme diperlukan sebelum menangani persoalan deportan dan returni perempuan dan anak. Selain itu, diperlukan identifikasi tentang faktor-faktor yang memengaruhi mereka, baik faktor pendorong maupun penarik.
Dari pengalaman pendampingan di Jawa Timur, lanjut Dewi, komunikasi dan interaksi mutlak harus dilakukan. Kemudian pendamping melakukan asesmen untuk mengetahui tingkat paparan yang diterima. Sebelum intervensi dilakukan, pendamping juga mesti mencari tahu kebutuhan deportan atau returni.
”Di Sidoarjo, kami menemukan dia punya keahlian menjahit dan uangnya sudah habis. Ketika kembali ke Indonesia, kemudian kami bantu dari sisi ekonomi, kami beri modal sedikit untuk membuka usaha jahitan,” kata Dewi.
Di Lamongan, lanjut Dewi, pihaknya mendampingi seorang anak yang cenderung diam dan menghindar. Untuk itu, pendamping mesti mencari cara agar bisa masuk dan membuatnya percaya. Namun, terdapat pengalaman lain bahwa pendamping langsung mengalami penolakan ketika menawarkan bantuan.
”Diperlukan pendekatan-pendekatan untuk mengukur tingkat perasaan mereka serta keinginan mereka seperti apa. Hal ini perlu sinergi dengan pihak-pihak lain, seperti pemerintah, dan kolaborasi menjadi penting karena kapasitas kami hanya di pendampingan,” ujar Dewi.
Senada dengan itu, menurut Iip, permasalahan intoleransi dan radikalisme merupakan tanggung jawab bersama. Di provinsi Jabar, penanganan deportan dan returni perempuan dan anak belum memiliki regulasi khusus. Selama ini, pihaknya mengikuti petunjuk dari pemerintah pusat.
Untuk menangani masalah radikalisme dan intoleransi, lanjut Iip, pekerjaan rumah yang dilakukan terlebih dahulu adalah bagi aparatur sipil negara di daerahnya yang jumlahnya sekitar 48.000 ASN dan non-ASN berjumlah 30.000 orang. Berikutnya adalah menangani masalah radikalisme dan intoleransi terhadap siswa sekolah.
Menurut Eridani, buku panduan penanganan deportan dan returni ditujukan bagi pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, dan ormas keagamaan. Mengutip data BNPT, jumlah perempuan yang masih berada di Suriah dan Irak sebanyak 301 orang, sementara jumlah anak-anak kurang lebih ada 546 anak. Adapun yang belum teridentifikasi sekitar 158 orang.
”Dari hasil pemetaan sejak Juni sampai September 2020, hingga saat ini belum ada peraturan khusus mengenai deportan perempuan dan anak baik dari tingkat pemerintah pusat sampai daerah,” kata Eridani. (NAD)