Cegah Radikalisme, Pendidikan Pancasila dan Agama Harus Beriringan
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mengusulkan agar pengajaran Pendidikan Pancasila dan Agama berjalan beriringan untuk mencegah radikalisme. Pengarusutamaan Pancasila jadi hal lain yang penting dilakukan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pancasila sebagai konsensus bersama belum diamini secara utuh oleh seluruh lapisan masyarakat. Tak heran, bibit-bibit radikalisme masih terus bermunculan, bahkan berujung pada aksi terorisme. Ini perlu menjadi perhatian bersama agar Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama dapat berjalan beriringan dan dimasukkan ke dalam kurikulum.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, dalam diskusi bersama Kompas di kantor Kompas, Jakarta, Selasa (20/4/2021), mengatakan, selama Pancasila tidak dianggap sebagai konsensus bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, akar radikalisme akan terus tumbuh.
Untuk itu, menurut dia, perlu pengarusutamaan Pancasila yang lebih terstruktur, sistematis, dan masif. Dalam pemahaman sila pertama di Pancasila, misalnya, itu harus disepakati terlebih dahulu oleh seluruh agama supaya tidak ada tafsir lain-lain.
”Bukan artinya menomorduakan agama. Sebab, akhirnya, selama tidak ada konsensus (Pancasila) dan masih ruang abu-abu, mereka (penyebar paham radikal) bisa memanipulasi ajaran agama. Akar terorisme itu, kan, salah satunya pemahaman agama yang tidak utuh, lalu dimanipulasi dan akhirnya menggeser ideologi,” ujar Benny.
Hadir dalam diskusi tersebut Kepala BPIP Yudian Wahyudi, Direktur Sosialisasi dan Komunikasi BPIP M Akbar Hadi Prabowo, Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra, serta Redaktur Pelaksana Kompas Adi Prinantyo.
Di sisi lain, Benny juga menjelaskan, terorisme merupakan fenomena global. Sebab, terorisme berakar dari sebuah persoalan ketidakadilan global. Namun, ketidakadilan global ini menjadi masalah karena dikaitkan dengan paham pemahaman agama yang tidak utuh. Artinya, agama tidak dilihat dalam konteks budaya, sosial, politik, ekonomi, dan struktur masyarakat.
”Kerap kali, mereka (pengajar paham radikal) menggunakan agama di teks itu dengan tidak melihat konteks tetapi diambil hanya untuk kepentingan memperalat para korbannya. Nah, orang muda yang punya idealisme dengan masalah ketidakadilan, persoalan global, itu mudah untuk ditarik. Karena diberi janji, yang utopis, janji surga. Nah, pembenaran ini yang dipakai mereka dengan menggunakan ayat-ayat itu tetapi tidak dalam konteks,” ucap Benny.
Kurikulum pendidikan
Kepala BPIP Yudian Wahyudi menambahkan, Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila perlu dirumuskan masuk kurikulum pendidikan, bahkan masuk ujian nasional. ”Kurikulum agama itu, saya inginnya, bagaimana Pancasila mendukung agama, agama mendukung Pancasila,” katanya.
Ia mengusulkan, cara menyusun kurikulum ini terdiri dari lima tingkat. Pertama, iman dasar. Ini akan diajarkan oleh guru agama hanya kepada murid seagama tetapi tetap dibuat standar bersama.
Kedua, pengetahuan agama yang tidak berkaitan dengan ibadah. Ketiga, pengetahuan agama untuk membaca kebutuhan-kebutuhan nasional, seperti korupsi, narkoba, melawan disintegrasi, terorisme, separatisme. Setiap agama membaca kasus-kasus ini dari sudut pandang agama masing-masing.
Keempat, masuk ke pendidikan Pancasila. Artinya, kebutuhan-kebutuhan nasional tadi dibaca memakai peraturan perundang-undangan. ”Jadi nyambung, dari agama ke negara, nyambung. Kalau sudah bicara terorisme, berarti setiap orang mengatakan, ini bertentangan dengan agama saya,” kata Yudian.
Tingkatan terakhir, kelima, diperlukan pengenalan prinsip-prinsip dasar semua agama kepada semua anak didik. Namun, pengenalan itu harus dilakukan oleh pemeluk agamanya.
”Dari sini pelajaran-pelajaran yang sifatnya mengancam negara, itu tidak bisa masuk. Misal, konsep khilafah, ini, kan, masih disisip-sisipkan di sekolah-sekolah agama, nah ini pemerintah memberi jawaban kenapa khilafah dilarang tetapi memakai argumen keagamaan juga,” ujar Yudian.
Dengan begitu, menurut Yudian, Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila tidak saling menegasikan. Pemahaman peserta didik yang akan terbentuk pun agama yang dipakai untuk bernegara dan berpancasila.
”Jadi, anak-anak kita itu paham betul, kita harus mulai dari bawah pembersihannya juga. Saya melihat ini sebagai proses jangka panjang sebenarnya. Yang akhirnya nanti, agama untuk berpancasila atau menjadi agamawan pancasilais. Itu perlu mulai didengungkan,” ucap Yudian.
Media sosial
Direktur Sosialisasi dan Komunikasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) M Akbar Hadi Prabowo menambahkan, pentingnya produksi konten-konten kontra-radikalisme di media sosial untuk mencegah radikalisme di kalangan anak muda.
Namun, lanjutnya, BPIP tidak bisa bergerak luas karena terbatas pada anggaran. Ia pun berharap, Rancangan Undang-Undang tentang BPIP yang saat ini telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 dapat segera disahkan. Dengan begitu, BPIP dapat menjadi lembaga yang lebih kuat dan memiliki anggaran yang memadai pula.
”Sebetulnya kalau anggaran kami memadai, kami akan memperbanyak konten atau akun di medsos. Kita semua tahu bahwa produksi dan reproduksi (konten radikalisme di medsos) itu setiap hari luar biasa. Jadi, milenial ini perlu dijaga. Anak muda ini jangan sampai salah arah,” ujarnya.
Meningkatkan kewaspadaan
Secara terpisah, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, aksi terorisme di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat. Dalam rentang waktu kurang dari satu bulan, Indonesia mengalami dua aksi terorisme.
Bambang meminta aparat TNI dan Polri lebih meningkatkan kewaspadaan dan bersinergi dengan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan deteksi dini aksi teror dan kekerasan.
Selain itu, aparat harus terus mengefektifkan upaya pemberantasan aksi terorisme, salah satunya melalui program reintegrasi bekas narapidana terorisme atau napiter. Sebab, program tersebut dapat menyadarkan seorang mantan napiter dan juga mencegah berulangnya aksi terorisme.
“Dengan begitu, para napiter dapat lepas dari jerat jejaring terorisme, dan kembali terintegrasi dengan kehidupan bermasyarakat seperti sebelumnya,” tutur Bambang.
Bambang pun mminta pemerintah agar memperhatikan sejumlah faktor penyebab terjadinya terorisme dan radikalisme. Ini di antaranya faktor ideologi, faktor tekanan ekonomi, faktor politis, faktor perkembangan teknologi informasi dan internet, serta faktor transnasional.
”Pemerintah dapat melakukan upaya preventif sejak dini untuk mencegah faktor-faktor tersebut berkembang menjadi aksi terorisme dan radikalisme, seperti upaya pemerintah menanamkan nilai-nilai Pancasila yang baik dan benar dalam kehidupan bermasyarakat, baik melalui pendidikan resmi maupun melalui diskusi dan seminar, serta bagaimana upaya pemerintah berhati-hati dalam kemajuan teknologi informasi,” ucap Bambang.
Ini mengingat sebelumnya diketahui ada seorang terduga teroris di Cilincing, Jakarta Utara, pada 2019 merakit bom triaseton triperoksida/TATP setelah membeli semua bahannya secara daring.