Sebagian mantan narapidana terorisme sudah memulai hidup baru dan meninggalkan jaringannya. Namun, ada sekitar 10 persen dari narapidana itu yang kembali terlibat terorisme. Hal ini menjadi tantangan deradikalisasi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Kumandang lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” menggema di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (15/4/2021). Lagu itu dinyanyikan peserta upacara, di antaranya, oleh 34 narapidana tindak pidana terorisme.
Berbeda dengan upacara biasanya, upacara itu merupakan upacara ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diikuti narapidana tindak pidana terorisme di lapas itu. Dari 56 narapidana terorisme yang menjalani masa tahanan di lapas itu, 34 di antaranya ikut ambil bagian.
Mereka disebut-sebut berasal dari berbagai jaringan teroris, antara lain, Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), simpatisan Daulah, simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Azzam Dakwah Centre (ADC), returnis, serta deportan.
Selain menyanyikan lagu kebangsaan, narapidana yang berpakaian putih dengan penutup kepala merah putih itu juga mengucapkan dan menandatangani ikrar setia kepada NKRI. Satu per satu mereka memberi penghormatan dan mencium bendera Merah Putih.
”Semoga ini menjadi awal untuk membuka jalan narapidana terorisme kembali ke masyarakat,” kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat Sudjonggo setelah upacara itu.
Ikrar kepada NKRI merupakan salah satu cara narapidana terorisme menunjukkan iktikad mereka meninggalkan paham-paham radikal. Setelah mengucapkan ikrar, narapidana terorisme tersebut berhak mendapat program keringanan hukuman, seperti pembebasan bersyarat dan remisi.
Upacara seperti itu, yang menjadi bagian dari program deradikalisasi, beberapa kali dilakukan di sejumlah lembaga pemasyarakatan. Misalnya, di Lembaga Pemasyarakatan Permisan dan Kembangkuning, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Sebanyak 38 narapidana terorisme di lapas tersebut mendeklarasikan ikrar bela negara sebagai bentuk kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI, Kamis (19/12/2019).
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris, Sabtu (17/4/2021), di Jakarta, mengatakan, deradikalisasi terhadap narapidana terorisme dilakukan melalui tahapan identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi sosial. Bentuknya melalui pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan wawasan keagamaan, serta kewirausahaan.
Program-program deradikalisasi itu sangat penting. Sebab, tidak semua narapidana terorisme yang sudah bebas tidak akan kembali melakukan aksi. Dalam laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) bertajuk ”Terrorism, Recidivism and Planned Releases in Indonesia” yang dirilis pada 4 September 2020 ada lebih kurang 11 persen mantan narapidana terorisme yang kembali terlibat terorisme.
Sebanyak 94 dari 825 mantan narapidana terorisme kembali ditangkap dalam kurun waktu 2002 hingga Mei 2020 akibat terlibat aksi terorisme. Sebagian besar mereka ditangkap dalam kurun waktu 0-3 tahun setelah bebas.
Di sisi lain, juga ada mantan narapidana terorisme yang sudah bisa kembali berbaur di masyarakat. Salah satunya Arif Budi Setyawan. Ia kini sudah menerbitkan buku bertajuk Internetistan; Jihad Zaman Now.
Menurut Arif, ikrar kesetiaan kepada NKRI oleh narapidana terorisme dilakukan dengan kesadaran mereka sendiri. Mereka memahami konsekuensi dari pilihan yang diambil. Setelah berikrar dan bebas dari penjara, biasanya masih ada tantangan untuk bisa kembali ke masyarakat.
Tidak serta-merta kehadiran mereka bisa diterima kembali oleh masyarakat meski sudah berikrar kepada NKRI. Bagi mantan narapidana yang bisa membuktikan perubahan, kemungkinan besar bisa diterima di masyarakat. Jika tidak, pengucilan bisa dialami oleh mereka.
Kebutuhan ekonomi
Tantangan tak berhenti di situ. Mantan narapidana membutuhkan penghidupan ekonomi agar tetap bisa bertahan hidup. Jika berasal dari latar belakang ekonomi yang mapan, biasanya tidak akan menjadi masalah besar. Berbeda dengan mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi sulit. Mereka perlu pendampingan pemerintah agar kesetiaan kepada NKRI tidak luntur demi sesuap nasi.
”Ada beberapa yang sejatinya sudah setia kepada NKRI, tetapi tidak ikut upacara dan kegiatan-kegiatan dari pemerintah karena sakit hati jika kembali bertemu dengan jaringannya di lapas. Mereka ini tidak mendapatkan bantuan setelah bebas, padahal jiwa mereka sudah NKRI,” katanya.
Sebagian yang kembali ke jaringan, lanjut dia, biasanya karena tidak bisa lepas dari kelompoknya. Saat ditangkap aparat, keluarga yang ditinggalkan dirawat kelompok lamanya. Begitu pula setelah bebas, kelompok lama cenderung bisa mengakomodasi kebutuhan ekonomi mereka.
Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib menilai, program deradikalisasi tidak cukup hanya mengucapkan ikrar setia kepada NKRI. Pemerintah perlu tetap mengawal secara berkelanjutan narapidana yang telah berikrar agar tidak kembali ke jaringannya setelah bebas.
Menurut dia, program deradikalisasi perlu mengedepankan pendekatan emosional. Kebutuhan mereka setelah bebas, seperti akses pendidikan dan kesehatan, pekerjaan, serta penghidupan yang layak untuk keluarga, harus dijamin pemerintah. Pemenuhan kebutuhan harus diberikan sama kepada seluruh narapidana tanpa memandang individu yang bersangkutan.
”Jika mereka tidak diurus negara, bisa jadi kembali ke jaringan karena pernyataan ikrar sekadar formalitas untuk dapat kemudahan pembebasan bersyarat,” tuturnya.
Peneliti terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menambahkan, mantan narapidana terorisme mengalami stigma sekembalinya ke masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung memberikan stigma dan tidak mau membuka diri terhadap kehadiran tetangganya yang mantan narapidana teroris.
Kondisi seperti ini dikhawatirkan bisa membuat mereka kembali ke jaringan lamanya, terlebih jika ada satu momentum di kelompok lamanya.
”Deradikalisasi cenderung fokus saat di lapas, tetapi belum menyentuh kesiapan masyarakat untuk menerima kembali di kehidupan mereka setelah bebas,” ujarnya.
Oleh sebab itu, program-program di lapas harus disinergikan dengan upaya menyiapkan masyarakat menerima kehadiran mantan narapidana terorisme. Sebab, sebagian besar mereka bisa kembali terpengaruh jika tidak mendapatkan tempat di masyarakat dan menganggap kelompok lamanya lebih bisa menerima. Keluarga mantan narapidana teroris juga perlu disiapkan agar saat memulai kehidupan yang baru, mereka bisa diterima.
Deradikalisasi tidak hanya berhenti di ikrar setia terhadap NKRI. Mantan narapidana terorisme perlu juga mendapat perhatian selepas bebas agar bisa kembali memulai kehidupan baru di masyarakat. Jangan sampai mantan narapidana terorisme kembali ke jalan lama karena urusan perut dan penerimaan warga.