Dibutuhkan Ekosistem dan Perlindungan agar ASN Berani Melaporkan Penyelewengan di Lembaganya
Pelaporan anonim diperkuat. Pengawas internal atau inspektorat harus dipaksa untuk menjamin kerahasiaan para pelapor.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah aparatur sipil negara tak berani melaporkan penyalahgunaan wewenang kepada pengawas internal lantaran khawatir laporan itu berdampak terhadap dirinya. Tak ada jaminan identitas mereka tak bocor dan tak diketahui pimpinan. Untuk itu, dibutuhkan ekosistem yang memungkinan ASN untuk berani melapor. Perlindungan terhadap para pelapor harus jelas.
ASN yang bertugas di Papua Barat, Yandri, masih ragu melapor ke inspektorat sekiranya menemukan ketidakberesan di lembaganya. Ini karena dia belum percaya identitasnya sebagai pelapor akan dilindungi.
”Kita cuma staf, sedangkan yang main (kemungkinan) orang besar. Aktornya tertangkap, tetapi jejaringnya masih di luar. Bisa jadi karier kami terganggu,” ujarnya ketika dihubungi, Senin (19/4/2021).
Di Sumatera Utara, seorang pegawai negeri sipil (PNS) berinisial W (30) menerapkan prinsip bermain aman. Dia tidak akan melapor selama tidak ada orang atau pejabat lain yang mengganggu pekerjaannya.
Sikap ini dipilih lantaran dia sadar diri. Sebagai PNS yang baru bekerja dua tahun, posisinya lemah di kantor. Sementara orang yang diduga menyalahgunakan wewenang merupakan pejabat dengan jejaring politik kuat.
Sudah menjadi rahasia umum, dia melanjutkan, mereka yang menjabat di daerah memiliki kuasa politik. Kalau nekat melaporkan orang tersebut, dia khawatir aksinya itu malah menjadi bumerang bagi diri sendiri.
Sementara menurut Febrian (32), salah seorang PNS di Sumatera Barat, sulit membayangkan PNS berani melaporkan lembaganya sendiri. ”Mana ada keluarga ngelaporin keluarga. (Jiwa) Korsa, tahu!” katanya.
Dia juga menyinggung minimnya sumber daya manusia inspektorat di daerah. Ini membuat pengawasan di lapangan tidak maksimal.
PNS di salah satu lembaga riset pemerintah, Ubai, menyatakan, di lembaganya ada sistem whistle blower untuk pelaporan anonim. Namun, dia sendiri belum pernah melapor. Jadi, dia tidak mengetahui seberapa efektif sistem itu.
Hasil sigi dari Lembaga Survei Indonesia menunjukkan, 97,1 persen dari 1.201 responden PNS mengetahui keberadaan inspektorat jenderal atau inspektorat daerah. Sayangnya, ada 23,8 persen responden yang mengaku tidak melaporkan penyalahgunaan wewenang di instasinya ke inspektorat. Alasannya antara lain takut menghadap masalah, belum ada yang melapor, proses pelaporan berbelit-belit, dan laporan diyakini tidak akan ditindaklanjuti (Kompas, 19/4/2021).
Inspektorat dalam istilah lain disebut juga aparat pengawas internal pemerintah (APIP). Menurut anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, APIP belum mempunyai sistem proteksi terhadap pelapor atau saksi. Ditambah lagi, kepercayaan bahwa APIP akan menindaklanjuti laporan itu juga masih rendah.
Sementara pada saat bersamaan, belum banyak juga PNS yang mau melapor melalui sistem pelaporan anonim. Untuk itu, harus dibangun ekosistem yang kondusif agar PNS berani melapor. ”Proteksi atas mereka harus jelas, bahkan kalau laporannya benar, perlu diberikan reward tertentu,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman maklum apabila banyak ASN di daerah mendiamkan dugaan pelanggaran. Ini karena landasan hukum APIP sebagai perangkat daerah. Karena bestatus perangkat daerah, APIP bertanggung jawab kepada pimpinan daerah. Dalam konteks itu, katanya, sulit mengharapkan APIP bekerja secara independen.
Meski Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah memungkinkan APIP bisa menelusuri dugaan korupsi tanpa persetujuan kepala daerah, kedudukannya sebagai perangkat daerah tetap menyulitkan penelusuran dugaan korupsi itu.
ASN takut melapor, katanya, juga dipengaruhi oleh posisi kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK). Ini karena kepala daerah berwenang untuk memberikan promosi, demosi, bahkan mutasi kepada ASN.
”Kalau ada anak buahnya yang melapor dan laporan itu mengancam PPK secara politis, ya, pasti ASN otomatis jadi takut. Ini, kan, sudah menjadi rahasia umum,” ucapnya.
Untuk mengatasi hal ini, dia mendorong agar sistem pelaporan anonim diperkuat. APIP harus dipaksa untuk menjamin kerahasiaan para pelapor. Sementara dari sisi regulasi, diperlukan aturan hukum yang tidak lagi menempatkan APIP sebagai perangkat daerah, tetapi sebagai institusi vertikal yang berdiri sendiri.