Sidang Sengketa Hasil Pilkada Usai, MK Diminta Segera Memutus Uji Formil UU KPK
Dengan berakhirnya persidangan sengketa hasil Pilkada 2020, Mahkamah Konstitusi diharapkan segera memutus uji formil dan uji materil UU tentang KPK. MK juga diharapkan bersikap progresif dalam memutus perkara itu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah selesai menangani sengketa perselisihan hasil pilkada, Mahkamah Konstitusi diharapkan segera melanjutkan pemeriksaan dan memutus perkara pengujian undang-undang yang tertunda. Pemohon berharap MK lebih serius dalam memeriksa cacat formil pembentukan UU, salah satunya Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015-2019 Laode M Syarif dalam diskusi ”Mahkamah Konstitusi dan PR Pengujian Undang Undang” yang diadakan Kode Inisiatif, Minggu (18/4/2021), mengatakan, cacat formil revisi UU KPK sebenarnya terang benderang jika dilihat dari asas pembentukan perundang-undangan yang baik.
Saat ini, MK menyidangkan tujuh permohonan uji materi UU KPK secara bersamaan, baik uji formil maupun uji materiil. Sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 yang telah direvisi menjadi UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, untuk membuat atau merevisi UU, terlebih dahulu harus ada naskah akademik, konsultasi dengan pihak-pihak terkait, dan melibatkan partisipasi publik.
Namun, dalam revisi UU KPK tahun 2019 itu, kata Laode, tidak ada unsur-unsur tersebut yang dipenuhi. KPK yang merupakan obyek lembaga yang diatur dalam UU itu tidak dilibatkan dalam pembahasan. Bahkan, saat pimpinan KPK berusaha meminta draf RUU KPK itu ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) juga tidak diberikan.
Pimpinan KPK hanya dijanjikan akan diundang ke DPR untuk pembahasan. Namun, hingga UU itu disahkan, KPK tak pernah diundang ke DPR. Proses pembahasan hingga pengesahan UU KPK itu hanya memakan waktu sekitar dua pekan. Selain itu, diduga, saat pengesahan UU KPK, jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang juga tidak memenuhi syarat kuorum.
”Dari sisi hukum acaranya perkara uji formil revisi UU KPK ini gampang, dan terang benderang. Semua prosedur formil pembentukan UU dilanggar sehingga perkara ini clear cut. Saya heran mengapa (putusannya) memakan waktu lama sekali,” kata Laode.
Sikap progresif
Laode berharap sembilan hakim konstitusi di MK dapat bersikap progresif dalam memutus perkara ini. Landasan filosofis dan sosiologis itu seharusnya tak hanya bersumber dari konstitusi, tetapi juga prinsip negara hukum yang demokratis. MK diharapkan dapat mempraktikan judicial activism atau suatu pemikiran dari hakim untuk mendapatkan doktrin atau terobosan hukum baru.
Dia mencontohkan, di Australia pernah ada kasus fenomenal, yaitu Mabo’s Case pada tahun 1991. Perkara itu adalah terkait sengketa kepemilikan tanah antara orang Aborigin dan pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi Australia. Menurut konstitusi Australia, seluruh tanah di Australia adalah milik pemerintah persemakmuran Kerajaan Inggris. Suku Aborigin yang telah lebih dulu mendiami wilayah itu, sebelum kedatangan orang Eropa, dianggap tidak memiliki hak atas tanah tersebut.
Kemudian, Mahkamah Agung Australia memutus bahwa orang Aborigin memiliki hak atas tanah tersebut. Meskipun hal itu bertentangan dengan konstitusi Australia, hakim agung menyatakan bahwa dalam situasi tersebut konstitusi tak dapat diterapkan karena bertentangan dengan hak-hak fundamental. Australia menghormati hak asasi manusia sehingga pemohon diberi hak atas tanah tersebut. Setelah putusan itu, suku Aborigin memiliki hak atas tanah meskipun tanpa sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah.
”Ini adalah sikap hakim yang progresif dan sering disebut sebagai judicial activism. Di negara yang menganut prinsip common law, putusan yang bertentangan dengan konstitusi sejauh itu untuk memenuhi HAM diperbolehkan. Kami berharap MK meniru progresivitas dari hakim Australia ini,” tutur Laode.
Laode menerangkan, pascarevisi UU KPK disahkan, hasil survei sejumlah lembaga termasuk harian Kompas menyatakan bahwa tingkat kepercayaan publik kepada KPK menurun. Hal itu salah satunya karena minimnya penindakan seperti operasi tangkap tangan. Selain itu, keberadaan Dewan Pengawas KPK juga dinilai tak efektif. Dewas dibentuk dengan alasan tugas check and balances. Namun, meski sudah ada dewas, kasus-kasus baru bermunculan, seperti pencurian alat bukti dan barang bukti perkara yang hilang.
”Dengan fakta-fakta tersebut, kami berharap MK bersikap progesif, mengabulkan permohonan kami untuk membatalkan seluruh pasal di UU KPK yang telah melemahkan independensi KPK,” kata Laode.
Hukum acara
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas sekaligus kuasa hukum dalam perkara uji materi UU KPK, Feri Amsari, menilai, faktor penentu dikabulkannya permohonan uji formil UU KPK adalah cara pandang hakim konstitusi. Sebab, selama ini, MK masih berpandangan bahwa sepanjang UU memiliki manfaat, ketika ada kelalaian prosedur, UU tidak dapat dibatalkan.
Hal ini, menurut Feri, sangat kontradiktif dengan semangat uji formil UU. Dalam uji formil, hakim konstitusi diminta mengoreksi pembentukan perundang-undangan yang melanggar prosedur. Namun, asas kemanfaatan justru menghalangi MK untuk melakukan koreksi tersebut.
”Tidak mungkin UU dibuat tanpa manfaat bagi masyarakat. Secara filosofis, UU tentu dibuat untuk tujuan kemanfaatan. Kalau MK masih berpandangan seperti ini, sulit untuk berharap pada uji formil UU,” kata Feri.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Lailani Sungkar, menambahkan, meskipun MK berwenang memeriksa uji formil UU, belum ada peraturan khusus mengenai kedudukan hukum pemohon dalam pengujian formil. Pengaturan syarat kedudukan hukum belum diatur secara tegas dan rapi di hukum acara MK. Akibatnya, MK sendiri merasa kesulitan menguji proses formil pembentukan UU.
Peneliti Kode Inisiatif, Violla Reininda, mengatakan, tahun 2019-2021, MK menerima banyak pengujian formil UU. Ada total 18 uji formil dari 38 uji materi UU yang ditangani MK. Namun, dalam sejarah MK, pengujian formil UU belum pernah ada satu pun yang dikabulkan.
Dalam uji formil UU No 3/2009 tentang Mahkamah Agung, misalnya, MK membenarkan bahwa proses pembentukan UU dilakukan dengan terburu-buru dan sangat cepat, dan tidak mengindahkan suara-suara penolakan di ruang sidang di DPR. Namun, dalam hal itu MK mengedepankan asas kemanfaatan sehingga UU tetap berlaku dan konstitusional.
Violla berharap MK mengedepankan substansi perkara terutama untuk kepentingan publik yang luas. MK juga bisa konsisten pada yurisprudensi sebelumnya. Misalnya, MK pernah membatalkan UU Perkoperasian karena dinilai tidak berasaskan Pancasila, dan lebih bersifat privatisasi serta kapitalis.
”MK harus bisa bersikap progresif dan memperlihatkan keberpihakan kepada kepentingan publik, para pencari keadilan. Jangan sampai putusan MK itu konstitusional, tetapi penuh dengan paradoks,” kata Violla.