Kepemimpinan Transformatif Diharapkan Peka Membaca Zaman
Saat ini bangsa Indonesia tengah mengalami tantangan akibat disrupsi digital dan krisis akibat pandemi Covid-19. Bangsa ini membutuhkan kepemimpinan berintegritas dan transformatif yang mampu membaca tanda-tanda zaman.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepemimpinan yang berintegritas dan transformatif harus mampu untuk membaca zaman sehingga dapat menjaga relevansi kebijakan yang dibuat dengan realitas kekinian. Kepemimpinan peka pada zaman itu pun kian diperlukan, terutama untuk merespons perkembangan teknologi yang masif, dan menghadapi ketidakpastian yang timbul akibat pandemi Covid-19.
Tiga pembicara dalam webinar bertema ”Kepemimpinan Berintegritas Menuju Tatanan Masyarakat Baru” yang diadakan oleh Yayasan Bhumiksara, Sabtu (17/4/2021), mendorong perlunya kepekaan para pemimpin dalam merespons perkembangan terkini yang terjadi di dunia internasional dan nasional. Berkembangnya teknologi informasi dan dampak buruk akibat pandemi Covid-19 adalah dua isu penting yang perlu juga disasar oleh pemimpin masa depan yang berintegritas dan berkarakter transformatif.
Kepemimpinan peka pada zaman itu pun kian diperlukan, terutama untuk merespons perkembangan teknologi yang masif, dan menghadapi ketidakpastian yang timbul akibat pandemi Covid-19.
Tiga pembicara yang hadir secara virtual ialah mantan Deputi Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho, Rektor Universitas Katolik Atma Jaya A Prasetyantoko, dan pakar manajemen Rhenald Kasali. Mereka hadir dalam webinar yang diadakan untuk memperingati Dies Natalis Yayasan Bhumiksara yang ke-33.
Dalam sambutannya, Ketua Pengurus Yayasan Bhumiksara Ery Seda mengatakan, tema itu dipilih karena erat dengan peran yang selama ini dijalani oleh yayasan, yakni untuk menyiapkan kader serta calon pemimpin maupun intelektual, tidak terbatas pada satu kelompok tertentu, tetapi bersifat terbuka dari berbagai kalangan. Kendati demikian, prinsip-prinsip Katolik, yang juga menjadi prinsip universal, antara lain integritas, berbela rasa, dan inklusif, tetap menjadi acuan yayasan, sesuai dengan semangat awal pendiriannya.
Dalam paparannya, Yanuar mengatakan, zaman berubah dengan cepat dan pemimpin Indonesia harus membaca kondisi itu. Sedikitnya ada fenomena globalisasi, urbanisasi, dan kerusakan lingkungan, serta perkembangan dunia digital 4.0, yang perlu menjadi perhatian para pemimpin ketika mereka terlibat dalam pengambilan kebijakan.
”Kalau kita hidup di era seperti ini, pilihan-pilihan apa yang dapat kita ambil. Sebab, ini era disrupsi dan siapkah kita untuk mengambil keuntungan dari itu semua. Misalnya, dengan terus mendidik diri sendiri dan menyiapkan kepemimpinan ke arah sana,” katanya.
Dari pengalamannya di pemerintahan, menurut Yanuar, pilihan yang dihadapi pemimpin itu kerap dilematis, antara lain, karena sifat kebijakan yang kerap politis dan bukan semata-mata teknokratis. Hal ini membawa pada posisi sulit, terutama bagi intelektual dan aktivis, yang juga sekaligus teknokrat, untuk bisa menyesuaikan diri. Sebab, bagaimanapun ada keputusan-keputusan yang di luar prinsip-prinsip ideal mereka. Jika itu yang terjadi, bukan berarti intelektual harus mundur, melainkan menyikapinya dengan bijak sebagai bagian dari kepentingan banyak pihak yang harus dilayani.
”Selalu ada sesuatu yang tidak dapat kita ubah, tetapi paling tidak kita mengupayakannya,” kata Yanuar.
Untuk pilihan-pilihan praktik kebijakan, misalnya, pemimpin dapat memilih untuk membuka kesetaraan pada akses atau memilih pada keadilan. Dua hal itu memiliki prinsip pengambilan kebijakan yang berbeda dan karena itu menimbulkan dampak yang berbeda pula. Untuk bisa sampai pada pilihan kebijakan yang terbaik, pemimpin harus melihat pada kondisi yang ada.
”Misalnya, soal kebijakan subsidi pupuk, Presiden Joko Widodo memilih prinsip keadilan. Subsidi kepada perusahaan pupuk dihilangkan dan dilakukan subsidi kepada petani langsung. Hal ini akan memberikan manfaat lebih banyak kepada petani miskin daripada petani menengah atau perusahaan pupuk besar. Berbeda dengan pilihan kebijakan kesetaraan yang memberikan akses bantuan sama rata antara yang besar dan kecil,” katanya.
Pemimpin harus menghadapi kemungkinan perubahan yang brutal ini dan berani menatap, serta berinisiatif untuk berbuat sesuatu dengan fakta tersebut. Karena itu, pemimpin yang transformatif harus mampu memahami tanda-tanda zaman. (Prasentyantoko)
Dunia berubah
Prasetyantoko mengatakan, pandemi Covid-19 adalah pengubah dunia. Banyak aspek dalam hidup yang akan seterusnya berubah karena pandemi. Dunia tidak akan kembali seperti semula sebelum ada pandemi Covid-19. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin untuk memahami kondisi ini, dan menyiapkan dirinya menghadapi perubahan itu.
”Perubahan ini mungkin tidak akan mudah, bahkan brutal. Namun, pemimpin harus menghadapi kemungkinan perubahan yang brutal ini dan berani menatap, serta berinisiatif untuk berbuat sesuatu dengan fakta tersebut. Karena itu, pemimpin yang transformatif harus mampu memahami tanda-tanda zaman,” ujar Prasetyantoko.
Dalam konteks ekonomi nasional, Indonesia pada dasarnya tidak mengalami masalah sebelum pandemi. Masalah ekonomi muncul setelah pandemi. Oleh karena itu, menurut Prasetyantoko, upaya mengatasi pandemi adalah kunci untuk membangkitkan ekonomi Indonesia kembali. Tanpa upaya dan kebijakan nyata dalam mengendalikan pandemi, ekonomi akan terus tertekan.
”Tidak mudah menghadapi persoalan ini karena pasti setiap pilihan mengandung risiko. Secara ekstrem bisa saja pemerintah mengatasi kesehatan dan ekonomi turun, tetapi kemudian ketika kesehatan teratasi maka ekonomi dapat membaik kembali. Karena sebelum pandemi, tidak ada masalah dengan ekonomi kita,” ujarnya.
Pascapandemi, dunia juga melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Pendekatan yang lebih ramah lingkungan, mengutamakan teknologi, dan lebih adil akan menjadi pilihan dari banyak pemimpin negara. Pilihan kebijakan ini tentu perlu diadopsi oleh pemimpin Indonesia sehingga produk-produk Indonesia tidak mengalami penolakan di luar negeri. Pasalnya, standar moral dan etis dalam tata kelola produk yang dijual di dunia global berubah. Mau tidak mau, menurut Prasetyantoko, pemimpin Indonesia harus pula merespons hal ini di masa depan.
Rhenald Kasali mengatakan, untuk menciptakan pemimpin di masa depan yang berintegritas dan transformatif harus dimulai dari pendidikan. Sekolah tidak bisa lagi mengajarkan buku yang sama dengan yang dibaca oleh guru sebab dunia telah banyak berubah. Pendidikan harus menyiapkan anak-anak itu untuk masa depan dan bukan untuk masa lalu.
”Belajar harus dilakukan seumur hidup dan itu dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali,” katanya.
Disrupsi saat ini, yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi yang masih, kata Rhenald, tidak dapat dilawan. Ketika hal itu dilawan akan menimbulkan kehancuran bagi diri sendiri. Oleh karena itu, kepemimpinan yang transformatif harus memahami disrupsi dan mengembangkan pendekatan-pendekatan baru untuk dapat menyesuaikan diri dengan kekinian, serta perkembangan. Demikian halnya pendidikan harus dikelola dengan menyiapkan anak-anak di masa depan dan dengan mengantisipasi zaman yang berubah.