Dalam beberapa hari terakhir, KKB membakar sejumlah sekolah di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Salah satu pemicunya ditengarai terkait penolakan atas perpanjangan Otsus Papua.
Oleh
FABIO M LOPES COSTA/RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sasaran aksi kelompok kriminal bersenjata atau KKB di Papua meluas. Jika selama ini lebih banyak menyasar aparat keamanan, dalam beberapa hari terakhir, KKB menyasar pula fasilitas sekolah. Ini ditengarai imbas dari bermunculannya faksi-faksi baru pendukung Papua merdeka yang didominasi anak muda, selain bentuk penolakan atas kebijakan negara terhadap Papua setahun terakhir, termasuk soal Otonomi Khusus Papua.
Pada Minggu (11/4/2021) malam, KKB membakar 9 ruangan di SMPN 1 Beoga, di antaranya 6 ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, dan gudang. Tiga hari sebelumnya, KKB telah membakar sejumlah ruangan di sekolah tersebut selain dua sekolah lain, yaitu SD Jambul dan SMAN 1 Beoga. Tak hanya fasilitas belajar, KKB juga menembak mati dua guru di Beoga, yakni Oktovianus Rayo dan Yonatan Renden. Alasannya, KKB menuding mereka sebagai mata-mata aparat keamanan.
Bupati Puncak Willem Wandik, saat dihubungi dari Jayapura, Senin (12/4), terkejut dan heran dengan aksi KKB yang terus membakar fasilitas sekolah di Beoga. Sebelumnya, KKB tidak pernah menyasar fasilitas sekolah. ”Perbuatan mereka menyebabkan anak-anak kehilangan fasilitas untuk belajar,” tambahnya.
Pemerintah Kabupaten Puncak telah berkoordinasi dengan aparat kepolisian untuk menyelidiki peristiwa tersebut. ”Kami akan mengusut penyebab kelompok ini menyerang fasilitas publik hingga tuntas. Negara tidak boleh kalah menghadapi masalah ini,” ujarnya.
Kapolsek Beoga Ipda Ali Akbar menduga KKB masih berada di Beoga. ”Kami berharap adanya penambahan pasukan ke Beoga. Jumlah anggota kami sangat minim,” tambahnya.
Namun, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri mengatakan, pengerahan tambahan pasukan terkendala. ”Kami masih berupaya mengirimkan satu peleton pasukan Brimob yang berjumlah 30 orang ke Beoga. Pesawat belum dapat memasuki Lapangan Terbang Beoga karena situasi keamanan yang tidak kondusif,” kata Fakhiri.
Selain di Beoga, KKB beraksi pula di Distrik Ilaga, Puncak. Masih pada Minggu malam, KKB membakar helikopter milik PT Ersa Air di Bandara Aminggaru. Fakhiri menyampaikan, ada indikasi KKB mengincar areal bandara dan lapangan terbang di Puncak, seperti Bandara Aminggaru dan Lapter Beoga. Ini untuk menghambat pasokan barang kebutuhan pokok, mobilisasi personel kepolisian, dan evakuasi warga.
Organisasi baru
Menurut Subkoordinator Bagian Pelayanan Pengaduan Komnas HAM Perwakilan Papua, Melchior Weruin, selama ini KKB lebih banyak menyasar aparat keamanan. Baru kali ini KKB menyasar sekolah dengan intensitas yang tinggi.
Meluasnya sasaran aksi KKB ini diduga berkaitan dengan penolakan mereka atas kebijakan negara untuk Papua dalam setahun terakhir. Di antaranya, penambahan pasukan pasca-pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, penolakan evaluasi dan perpanjangan Otonomi Khusus (Otsus) Papua berikut rencana pemekaran Papua di dalamnya, dan kehadiran penambangan emas Wabu di Intan Jaya, Papua.
”Semakin meningkatnya serangan KKB ke pekerja kemanusiaan dan fasilitas publik juga karena hadirnya organisasi OPM baru yang sulit dikendalikan. Rata-rata umur mereka dari 17 tahun hingga 25 tahun dan telah memegang senjata api,” ungkap Melchior.
Pencairan dana otsus
Secara terpisah, Ketua Panitia Khusus RUU Otsus Papua DPR Komarudin Watubun berjanji pansus akan menyerap masukan seoptimal mungkin untuk perbaikan Otsus Papua ke depan. Hal ini juga penting agar UU Otsus Papua nantinya bisa benar-benar dapat diterima oleh semua pihak, terutama masyarakat Papua.
Salah satu yang disoroti dalam pelaksanaan Otsus Papua selama 20 terakhir adalah belum signifikannya imbas dari triliunan dana otsus ke pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.
Anggota Ombudsman RI, Robert Endi Jaweng, meminta agar revisi UU Otsus Papua tersebut tak hanya terfokus pada penambahan dana otsus Papua dan pemekaran daerah di Papua. ”Sebab, kedua hal itu akan lebih banyak menyasar pada kepentingan elite dan birokrasi. Seharusnya yang juga menjadi perhatian ialah pada sejauhmana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat terlayani dengan baik,” tambahnya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar dalam RUU Otsus Papua dibahas pula perubahan mekanisme pencairan dana otsus. Menurut dia, lebih baik pencairan berbasis kinerja. Artinya, jika pemerintah menilai pelayanan publik oleh pemerintah daerah di ketiga bidang itu meningkat, anggaran dapat diturunkan secara bertahap. Sebaliknya, jika tidak, dana dapat dihentikan sementara sampai ada perbaikan layanan.
Dalam draf RUU Otsus Papua, pemerintah mengubah mekanisme pencairan dana otsus. Dana otsus sebesar 2,25 persen dari dana alokasi umum nasional dibagi menjadi dua bagian. Sebanyak 1 persen dicairkan sebagai block grant atau dikucurkan langsung kepada pemda. Sisanya, specific grant, dicairkan berbasis program dan pengajuan proposal yang menyasar pada pendidikan, kesehatan, dan perekonomian.
Peneliti Tim Pemantau Otsus Papua DPR, Riris Katharina, mengingatkan perubahan mekanisme tersebut tetap harus disertai pengawasan berjenjang, dari pemerintah provinsi hingga pusat.