Perombakan Birokrasi Butuh Upaya dan Konsekuensi Besar
Presiden Jokowi akan mengubah nomenklatur tiga kementerian dan lembaga, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Teknologi, serta BKPM. Perombakan tersebut tak mudah karena butuh waktu lama.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo akan mengubah nomenklatur tiga kementerian dan lembaga, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Teknologi, serta Badan Koordinasi Penanaman Modal. Perombakan tersebut membutuhkan upaya luar biasa dan memakan waktu untuk transisi. Dikhawatirkan, sisa waktu kepemimpinan Jokowi-Amin habis hanya untuk menyatukan kementerian sebelum akhirnya mesin birokrasi bekerja normal.
Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo saat dihubungi, Senin (12/4/2020), mengatakan, penggabungan dua kementerian, yaitu Kementerian Ristek dan Kemendikbud, membutuhkan upaya dan kerja keras luar biasa. Hal itu menyangkut anggaran, sumber daya manusia, aset, sarana prasarana, dan cara kerja. Selain itu, yang paling sulit dan krusial adalah menyangkut budaya dan nilai dasar setiap kementerian yang berbeda. Menurut Eko, problem dasarnya, Kemendikbud saat ini telah memiliki kewenangan yang sangat luas mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, kebudayaan, riset, dan inovasi.
”Apabila ditambah kewenangannya, kementerian baru akan sulit untuk fokus pada substansi dan strategi pencapaian kinerja kementerian,” kata Eko.
Eko berpendapat, periode pertama Presiden Jokowi 2014-2019, nomenklatur Kemenristek Dikti dinilai paling ideal karena sesuai dengan filosofi esensi pendidikan tinggi dan riset. Pada saat itu, pembentukannya pun memakan waktu lama. Terutama untuk menyatukan budaya dan menyusun program terintegrasi antardirektorat jenderal yang ada. Selain itu, juga untuk reorganisasi dan manajemen perubahan. Pada masa transisi itu, lanjut Eko, karena banyak hal teknis yang harus dilakukan, fokus kerja birokrasi pun bisa terpecah.
Apabila ditambah kewenangannya, kementerian baru akan sulit untuk fokus pada substansi dan strategi pencapaian kinerja kementerian.
Khusus untuk nomenklatur baru Kementerian Investasi, menurut Eko, hal itu merupakan respons untuk UU Cipta Kerja. Selama ini, masalah klasik investasi adalah birokrasi yang kualitasnya jelek dan berbelit-belit. Jika kementerian baru bisa mengubah kualitas birokrasi perizinan, itu akan lebih bisa diterima oleh publik.
Eko mengingatkan esensi dasar pembentukan sebuah kementerian adalah untuk membuat kebijakan, bukan implementasi kebijakan investasi. Sebab, fungsi implementasi perizinan sebenarnya sudah ada di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Saat ini, fungsi pengaturan investasi sudah dilakukan tiap-tiap kementerian dan dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Kompetensi pejabat
Deputi Bidang Kebijakan Pengembangan Kompetensi Aparatur Sipil Negara Lembaga Administrasi Negara (LAN) Muhammad Taufiq berpendapat, presiden dan wakil presiden memiliki hak prerogatif untuk mengubah nomenklatur kementerian. Apalagi, semangat yang diusung dalam program tersebut adalah untuk reformasi birokrasi agar pemerintahan lebih efektif. Namun, kendalanya adalah iklim kerja birokrasi saat ini tidak adaptif pada perubahan. Kompetensi yang dimiliki oleh birokrat juga kurang dapat menyesuaikan perubahan yang cepat. Padahal, dalam program reformasi birokrasi saat ini, birokrat diharapkan lebih fleksibel menghadapi perubahan.
Menurut Taufiq, Kemenristek dan Kemendikbud adalah salah satu kementerian yang sudah melakukan pemangkasan eselon III dan IV. Pejabat eselon III dan IV dipangkas, kemudian dimasukkan ke dalam jabatan fungsional.
”Pengintegrasian kementerian membutuhkan kontrol yang besar. Kemenristek dan Kemendikbud itu adalah dua kementerian yang sangat maju dalam penyederhanaan birokrasinya. Kalau berhasil digabungkan, ini akan menjadi model organisasi yang ramping,” kata Taufiq.
Dengan kebijakan visioner dari kepala negara tersebut, menurut dia, birokrasilah yang seharusnya beradaptasi dengan cepat. Para pejabat harus mendukung kebijakan itu dengan cara beradaptasi dengan cepat sehingga roda birokrasi bisa kembali berjalan dengan normal. Kemampuan untuk mengeksekusi kebijakan dari presiden harus dengan cepat, termasuk penempatan birokratnya. Kendalanya, kerap kali adalah bagaimana menempatkan orang yang tepat dalam jabatan yang tepat. Karena itu, ke depan harus ada program pengembangan kompetensi yang lebih baik.
Apabila ada kompetensi yang baik dari para birokrat, perubahan dapat dipandang sebagai hal yang wajar dan dapat disikapi secara fleksibel.
”Apabila ada kompetensi yang baik dari para birokrat, perubahan dapat dipandang sebagai hal yang wajar dan dapat disikapi secara fleksibel,” kata Taufiq.
Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Andi Rahadian mengatakan, meskipun sudah disetujui oleh DPR, Kemenpan RB masih menunggu arahan dari Presiden untuk tindak lanjut kebijakan perubahan nomenklatur tiga kementerian tersebut.
Menurut Andi, karena hal itu merupakan kebijakan dari Presiden, Kemenpan RB membutuhkan arahan dari Presiden sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya.