Selama 44 tahun mengelola TMII, Yayasan Harapan Kita bertumpu pada biaya sendiri. Tak ada bantuan dari negara. Kontribusi pada negara pun besar, salah satunya dengan mengklaim sebagai salah satu pembayar pajak terbesar.
Oleh
ANITA YOSSIHARA/RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Yayasan Harapan Kita, yang selama 44 tahun mengelola Taman Mini Indonesia Indah, akhirnya angkat bicara terkait pengambilalihan pengelolaan oleh negara. Tak hanya menerima keputusan pemerintah, yayasan pimpinan Siti Hardijanti Rukmana itu pun siap membantu proses transisi pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah.
”Kami menghormati terbitnya Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 19 Tahun 2021 sebagai suatu produk hukum perundang-undangan negara. Dan, tentunya akan bersikap kooperatif sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami untuk menerima dengan tangan terbuka pelaksanaan amanat perpres ini. Demi menuntaskan proses transisi yang akan dilakukan bersama-sama, Yayasan Harapan Kita selalu siap melaksanakan penugasan dari negara,” kata Sekretaris Yayasan Harapan Kita Tria Sasangka Putra dalam jumpa wartawan, Minggu (11/4/2021).
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Perpres Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Perpres itu mengatur keputusan pemerintah mengambil alih kembali pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita. Seperti juga Gelora Bung Karno, Kemayoran, dan aset negara lain, TMII akan dikelola langsung oleh Kementerian Sekretariat Negara.
Dalam jumpa wartawan, Jumat (9/4/2021), Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengungkapkan bahwa selama 44 tahun, TMII tak memberikan kontribusi bagi negara. Bahkan, tempat rekreasi dan edukasi yang digagas oleh Ibu Negara ke-2 RI Tien Soeharto itu terus mengalami kerugian hingga harus disubsidi oleh Yayasan Harapan Kita.
Pada jumpa wartawan yang juga disiarkan secara langsung oleh saluran Youtube Cendana TV itu, Yayasan Harapan Kita berupaya meluruskan berbagai informasi mengenai pengelolaan TMII yang beredar beberapa hari terakhir.
Tria menegaskan bahwa sejak awal berdiri, TMII tidak menerima bantuan dari pemerintah, baik dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Tria menjelaskan, TMII dibangun untuk mengisi masterplan DKI Jakarta sebagai ibu kota negara RI. Saat itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merekomendasikan empat alternatif pembangunan TMII yang digagas sebagai warisan nasional untuk mengenalkan seni, budaya, serta keragaman dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Yayasan Harapan Kita memilih membiayai sendiri pembangunan TMII yang dimulai pada 1972. Alasannya, Yayasan Harapan Kita tidak ingin mengganggu prioritas pembangunan yang tengah dijalankan pemerintah.
”Kami memilih alternatif keempat, yakni membiayai sendiri proyek TMII dalam rangka pengisian masterplan DKI Jakarta sebagai ibu kota negara RI,” kata Tria menjelaskan.
Selama 44 tahun, pengelolaan, dari pengurusan sumber daya manusia, pemeliharaan, hingga pembangunan baru, dibiayai langsung oleh Yayasan Harapan Kita tanpa bantuan anggaran dari pemerintah. Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1977, TMII merupakan aset negara yang dikelola oleh Yayasan Harapan Kita. Bahkan, pada 2010, pemerintah melalui Sekretariat Negara telah melakukan proses balik nama sertifikat hak pakai dari Yayasan Harapan Kita menjadi atas nama Pemerintah RI.
Karena itulah Tria menyebut, bantuan keuangan untuk memenuhi kebutuhan operasional TMII merupakan konstribusi Yayasan Harapan Kita pada negara. Begitu pula anggaran untuk pembangunan fasilitas baru, pengelolaan, perbaikan, perawatan, dan pelestarian yang dibiayai Yayasan Harapan Kita tetap menjadi milik pemerintah.
”Dengan demikian, Yayasan Harapan Kita tidak pernah membebani dan merugikan keuangan negara,” ujar Tria menegaskan.
Direktur Utama TMII Tanribali Lamo menambahkan, selama ini biaya operasional pengelolaan TMII bisa dipenuhi dari pendapatan yang dihasilkan. Namun, semenjak pandemi Covid-19 melanda pada 2020, pendapatan TMII tak cukup untuk menutup biaya operasional. Karena itulah Yayasan Harapan Kita memberikan bantuan biaya operasional hingga Rp 41,56 miliar terhitung sejak April 2020 hingga Maret 2021.
Dana tersebut digunakan untuk membayar gaji para pegawai TMII yang jumlahnya mencapai 900 orang.
”Pegawai di TMII jumlahnya hampir 900 orang, tidak tidak ada satu pun yang dirumahkan. Jadi, mereka dipotong gaji, besarannya 15-40 persen. Sampai dengan hari ini yang tidak dipotong gaji adalah pegawai yang mengurus kebersihan, keamanan, dan satwa. Bantuan dari Yayasan Harapan Kita Rp 41,56 miliar lebih banyak digunakan untuk membayar gaji,” kata Tanribali menjelaskan.
Kendati tidak menerima dana APBN ataupun APBD, pengelolaan keuangan TMII diaudit langsung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena merupakan bagian dari Sekretariat Negara. Hasil pemeriksaan BPK tahun 2018, 2019, 2020 menyatakan tidak terdapat kasus kerugian negara.
”Kalau kita simak pernyataan ini, sebenarnya tidak ada lagi yang tidak pernah disetorkan TMII sepanjang itu menjadi kewajiban TMII. Kenapa? Karena kami diperiksa BPK. Apabila TMII ada yang tidak melaksanakan setoran, bagi hasil, dan sebagainya, kalau memang ada, kami pasti ditegur oleh BPK,” ujar Tanribali.
Tak hanya itu, menurut Tanribali, TMII merupakan salah satu pembayar pajak terbesar di wilayah Jakarta Timur. Pada 2018, misalnya, TMII membayar pajak tontonan sebesar Rp 9,4 miliar. Begitu pula 2019, pajak tontonan yang disetorkan TMII mencapai Rp 9,7 miliar. Baru pada 2020 pajak tontonan TMII hanya Rp 2,6 miliar karena penurunan kunjungan akibat pandemi Covid-19.
Pengambilalihan pengelolaan TMII oleh pemerintah disambut baik oleh kalangan DPR, salah satunya Komisi II yang merupakan mitra Kementerian Sekretariat Negara. ”Komisi II memberikan apresiasi dan mendukung langkah yang diambil pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan TMII,” kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung.
Komisi II berharap pemerintah dapat menyelamatkan keberadaan TMII sebagai aset negara yang penting untuk mengenal kekayaan dan keberagaman. Pengenalan budaya tidak hanya untuk masyarakat Indonesia, tetapi juga mancanegara.
Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang menambahkan, pengambilalihan pengelolaan TMII merupakan kebijakan strategis yang diharapkan bisa memberikan kontribusi pada keuangan negara. ”Kebijakan pemerintah sangat strategis karena segala aset negara kalau dikelola dengan baik dan hasilnya masuk ke kas negara tentu akan berguna untuk membangun negara ini,” ujarnya.