Rombak Rancangan Perpres Penanganan Kasus HAM Masa Lalu
Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Peristiwa Hak Asasi Manusia Berat melalui Mekanisme Nonyudisial dinilai Komnas HAM tidak memadai, baik secara konseptual maupun prosedur penyelesaiannya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Substansi yang diatur dalam draf Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Peristiwa Hak Asasi Manusia Berat melalui Mekanisme Nonyudisial dinilai tidak memadai, baik secara konseptual maupun prosedur penyelesaiannya. Komnas HAM meminta agar rancangan peraturan itu direvisi agar sesuai dengan prinsip HAM universal.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, saat dihubungi, Minggu (11/4/2021), mengatakan, Komnas HAM mendukung dorongan dari Komisi III DPR untuk mencari terobosan dalam penuntasan dugaan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III dan Komnas HAM, Selasa (6/4/2021), ada desakan dari DPR untuk tidak semata-mata menggantungkan penyelesaian kasus HAM berat pada mekanisme yudisial. Mekanisme di luar pengadilan atau nonyudisial juga perlu ditempuh. Sebab, dalam penyelesaian secara yudisial, berbagai kendala ditemui, seperti banyaknya saksi dan korban yang telah meninggal dunia.
Komnas HAM pun mengapresiasi rencana pemerintah membentuk tim Unit Kerja Presiden-Penanganan Peristiwa Hak Asasi Manusia Berat melalui Mekanisme Nonyudisial. Namun, dalam proses penyusunan draf rancangan peraturan presiden yang akan jadi payung hukum pembentukan unit kerja itu, Komnas HAM tidak dimintai pendapat atau pandangan. Sementara dari draf rancangan peraturan yang diterima Komnas HAM, substansinya tidak memadai untuk menjadi dasar hukum bagi upaya penyelesaian HAM berat di masa lalu.
”Secara konseptual tidak memadai dan secara prosedur penyelesaiannya juga tidak memungkinkan untuk kasus pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu, Komnas HAM tidak mendukung draf raperpres yang ada saat ini,” ucap Amiruddin.
Menurut Amiruddin, ada kesalahan konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dalam rancangan peraturan presiden.
Pertama, sebelum ada langkah pemulihan hak korban, seharusnya ada pengungkapan kebenaran peristiwa dan pertanggungjawaban dari negara. Namun, dalam rancangan perpres tersebut, upaya pemulihan negara kepada korban pelanggaran HAM berat melompat. Tidak ada pengakuan kesalahan dan permintaan maaf dari negara. Selain itu, wujud pemulihan terhadap korban juga tidak diatur secara jelas.
Amiruddin menambahkan, rancangan peraturan menyatakan bahwa pemulihan korban pelanggaran HAM berat akan menggunakan hasil penyelidikan Komnas HAM. Menurut dia, berkas penyelidikan Komnas HAM hanya boleh ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung karena termasuk kasus pidana.
”Di negara lain juga sudah ada upaya restitusi korban pelanggaran HAM berat. Namun, semua itu harus diawali dengan pengungkapan kebenaran peristiwa dulu. Tidak ujug-ujug pembayaran ganti rugi,” kata Amiruddin.
Sebelum rancangan perpres disahkan oleh presiden, Amiruddin berharap draf yang ada sekarang dihentikan pembahasannya. Dia berharap Kemenko Polhukam dan Kemenkumham mau membicarakan substansi raperpres secara terbuka serta melibatkan para ahli dalam pembahasannya. Dengan demikian, dasar hukum raperpres kuat dan sesuai dengan prinsip HAM universal.
”Mari bicarakan substansi raperpres dengan terbuka dan libatkan banyak pihak sehingga ada transparansi publik,” ujar Amiruddin.
Bukan ranah nonyudisial
Ketua Tim Penyusunan Raperpres UKP-PPHB Mualimin Abdi menuturkan, perpres adalah instrumen hukum yang dibuat presiden untuk membuat tim terpadu dan memudahkan koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Tanpa dasar hukum perpres, koordinasi antarkementerian dan lembaga dalam penyelesaian kasus HAM berat di luar pengadilan kerap terganjal. Unit kerja diharapkan dapat mempermudah upaya pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat di masa lalu.
”Unit kerja ini memang tidak masuk ke ranah pengungkapan kebenaran karena itu adalah bagian dari penyelesaian yudisial. Kami akan masuk dari hasil penyelidikan Komnas HAM serta hasil analisis psikososial dan medis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” ucap Mualimin.
Mualimin menegaskan bahwa meski ada penyelesaian di luar pengadilan, upaya penyelesaian secara hukum tetap berjalan. Namun, penyelesaian hukum adalah ranah dari aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung.
Di sisi lain, pemerintah berusaha hadir memberikan pemulihan korban melalui upaya nonyudisial. Berdasarkan hasil pantauan lapangan Ditjen HAM Kemenkumham, para korban berharap negara hadir, termasuk memberikan kompensasi dan pemulihan hak-hak korban.
”Para korban itu kerap bertanya kepada kami, setelah kami banyak diwawancarai, apa tindak lanjutnya? Mereka ingin negara hadir. Sebab, penyelesaian yudisial pun berlarut-larut. Bahkan, untuk tiga kasus yang sudah dibawa ke pengadilan, pelaku divonis bebas,” kata Mualimin.
Mualimin juga mengatakan, proses penyusunan raperpres ini memang tak melibatkan ahli dan masyarakat sipil. Pembahasannya dibahas di internal kementerian. Sebab, pemerintah menginginkan hasil yang cepat sehingga bisa menjadi terobosan bagi penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun melalui parpol, baru akan dibuka saat pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Untuk saat ini, raperpres masih menunggu izin prakarsa dari presiden.
Sementara itu, Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin mengatakan, pada prinsipnya keluarga korban menyambut positif upaya pemerintah untuk membuat terobosan penyelesaian kasus HAM berat masa lalu. Dasar hukum perpres juga dirasa tepat karena jika memakai RUU KKR, dikhawatirkan akan berlarut karena dinamika politik di parlemen.
Namun, IKOHI menegaskan, penyelesaian di luar pengadilan itu harus berjalan paralel dengan upaya penyelesaian hukum. Sesuai dengan amanat UU, penyelesaian kasus pelanggaran HAM harus secara komprehensif, baik yudisial maupun nonyudisial. Jangan sampai penyelesaian nonyudisial justru digunakan untuk menutup upaya penyelesaian di pengadilan.
Selain itu, menurut Zaenal, dalam penyelesaian secara nonyudisial, pemerintah harus mengutamakan pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban negara. Sebab, selama ini para korban masih mendapatkan stigmatisasi dari masyarakat. Mereka justru kerap disangka pelaku dan dicap buruk secara sosial. Pengungkapan kebenaran peristiwa dan permintaan maaf dari negara diharapkan dapat menghapus stigma tersebut. Dengan demikian, pemulihan hak korban secara fisik dan mental dapat terpenuhi.
”Korban pelanggaran HAM berat ini ibaratnya korban tabrak lari. Kalau sakit, ya, ditangani dulu di RS (dengan upaya nonyudisial). Tetapi, bukan berarti pelanggaran pidananya selesai. Itu tidak akan memberikan rasa keadilan bagi korban,” kata Zaenal.