BRIN Diprediksi Jadi Badan Otonom, Isu Perombakan Kabinet Menguat
Badan Riset dan Inovasi Nasional diperkirakan akan menjadi badan otonom setelah Kementerian Riset dan Teknologi dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perombakan kabinet terbatas diprediksi akan terjadi.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo diprediksi akan menjadikan Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN sebagai badan otonom setelah Kementerian Riset dan Teknologi dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan adanya perubahan nomenklatur sejumlah kementerian dan berdirinya BRIN, isu perombakan kabinet secara terbatas menguat sebagai bagian dari penataan kelembagaan.
Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto, di Jakarta, Sabtu (10/4/2020), mengatakan, dengan peleburan Kemendikbud dan Kemenristek, posisi BRIN akan semakin kuat.
”Nasibnya BRIN makin kuat. BRIN di bawah Presiden. BRIN makin menjadi infrastruktur yang sangat penting bagi percepatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita masa kalah sama Singapura, sama Korea Selatan, yang kemerdekaannya tidak jauh berbeda dengan kita. Itu karena apa? Risetnya,” tutur Hasto.
Sejak Oktober 2019, BRIN merupakan instansi yang tergabung dengan Kemenristek sesuai Keputusan Presiden Nomor 113/P/Tahun 2019 tentang Pembentukan Kementerian Negara dan Pengangkatan Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode 2019-2024. Adapun Bambang Brodjonegoro menjabat sebagai Menristek sekaligus Kepala BRIN.
Namun, dalam Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang IV DPR 2020-2021, Jumat (9/4/2021), DPR menyetujui perubahan nomenklatur sejumlah kementerian sesuai usulan Presiden, termasuk Kemenristek.
Tugas dan fungsi Kemenristek akan digabung ke Kemendikbud. Dengan begitu, nomenklatur Kemendikbud akan berubah menjadi Kemendikbud Ristek. Berdasarkan informasi yang diperoleh Kompas, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan ditingkatkan menjadi Kementerian Investasi.
Usulan Megawati
Hasto mengungkapkan, pada saat PDI-P mencalonkan Joko Widodo sebagai Presiden, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri bukan berbicara soal bagi-bagi jabatan politik. Megawati menyampaikan pentingnya Indonesia memiliki BRIN.
Setidaknya, ada empat hal yang ditegaskan Megawati saat itu. Pertama, penelitian berkaitan dengan ilmu pengetahuan teknologi dan manusianya, flora, fauna, dan berkaitan dengan perkembangan teknologi itu sendiri.
”Jadi, Ibu Megawati enggak berbicara tentang transaksional. Ibu Megawati berbicara tentang kepentingan bangsa dan negara agar kita jalan berdikari, perlu BRIN,” tutur Hasto.
Lebih lanjut, ketika ditanya bagaimana nasib Bambang Brodjonegoro setelah penetapan BRIN sebagai badan otonom serta peleburan Kemenristek ke Kemendikbud, Hasto menegaskan, semua pihak sebaiknya lebih berbicara tentang bangsa dan negara, bukan soal bagi-bagi jabatan.
”Untuk bangsa dan negara, jangan bicara jabatan kosong atau nambah. Bicara mana yang lebih mendorong bangsa ini memiliki sebuah tata pemerintahan yang memastikan jalan bagi masa depan,” ucap Hasto.
Baca Juga: Perubahan Kementerian Potensi ”Reshuffle”
Prerogatif Presiden
Belakangan, isu perombakan kabinet kembali berembus selaras dengan usulan Presiden tentang pembentukan Kementerian Investasi, yang telah disetujui DPR. Usulan Presiden untuk menambah unsur Ristek ke Kemendikbud juga disetujui DPR. Ihwal isu tersebut, Hasto berpandangan, hal itu adalah hak prerogratif Presiden Jokowi. Sebagai partai pendukung pemerintah, PDI-P menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi.
Lagi pula, lanjutnya, menteri merupakan pembantu presiden. Karena itu, presiden mempunyai kewenangan untuk melakukan evaluasi kinerja terhadap seluruh jajaran di kabinetnya.
Ketika ditanya apakah Presiden sudah bertemu dengan Megawati untuk membahas isu perombakan kabinet ini, Hasto mengatakan, Megawati dan Presiden rutin bertemu. Pertemuan terakhir dilaksanakan 10 hari lalu. Namun, Hasto menegaskan, pertemuan keduanya membahas hal fundamental tentang bangsa dan negara.
”Pertemuan secara rutin dan periodik dilakukan kedua pemimpin membahas tentang bangsa dan negara, berbagai persoalan-persoalan yang sifatnya fundamental dan strategis dan akan menentukan perbaikan nasib rakyat dan bangsa dan negara ke depan,” ucap Hasto.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, sejauh ini belum ada informasi mengenai perombakan kabinet. Sejalan dengan Hasto, ia juga menegaskan, prinsipnya, perombakan kabinet merupakan wewenang penuh dan prerogatif Presiden.
”Mau kapan saja, itu hak prerogatif Presiden. Beliau mendapat mandat dari rakyat sebagai Presiden. Kami sebagai menteri, ya, kami hanya bekerja semaksimal mungkin. Itu yang bisa kami lakukan. Jadi, (kalau ada perombakan kabinet), enggak ada masalah,” ujarnya.
Perombakan terbatas
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya berpandangan, usulan perubahan nomenklatur dari BKPM menjadi Kementerian Investasi merupakan bagian dari penataan kelembagaan. Variabel investasi ini, lanjutnya, telah menjadi fokus Jokowi sejak periode pertama menjabat sebagai Presiden, sekaligus merupakan tindak lanjut adanya Undang-Undang Cipta Kerja.
Peleburan Kemenristek ke Kemendikbud pun, menurut Yunarto, juga bagian dari penataan kelembagaan. Namun, itu pun tetap harus diikuti dengan penetapan BRIN sebagai badan otonom di bawah naungan Presiden. Sebab, filosofinya, Ristek harus ditopang oleh sebuah kelembagaan khusus.
Oleh karena itu, Yunarto menilai, jika kelak terjadi perombakan kabinet, itu pun sifatnya terbatas dan hanya sebatas turunan dari penataan kelembagaan tadi. ”Jadi, otak-atiknya masih dalam konteks penataan kelembagaan, bukan dalam konteks reshuffle politik atau reshuffle kinerja secara menyeluruh,” ujar Yunarto.
Pengertian reshuffle politik di sini adalah perombakan kabinet yang mengakomodasi kepentingan politik, baik partai, organisasi masyarakat tertentu, maupun etnis atau agama tertentu. Sementara pengertian reshuffle berbasis kinerja adalah perombakan kabinet berdasarkan hasil evaluasi kerja.
Menurut Yunarto, reshuffle berbasis kinerja tidak mudah dilakukan saat ini karena evaluasi kabinet baru dilakukan sekitar 4 bulan lalu. Lalu, reshuffle politik juga tidak mudah karena akan ada risiko instabilitas politik dan risiko kekuatan parlemen.
”Jadi, menurut saya, andaikata reshuffle terjadi, sangat terbatas sifatnya. Reshuffle yang lebih menyeluruh, menurut saya, sepertinya masih membutuhkan waktu yang lebih lama, paling tidak sampai setelah Lebaran, baru kemudian bisa terjadi. Karena, pertama, dari sisi waktu masih terlalu cepat dibandingkan reshuffle sebelumnya. Kedua, aspek politiknya sepertinya tidak mudah untuk dimainkan dengan segala risikonya,” papar Yunarto.
Terkait posisi Nadiem Makarim yang kini masih menjabat Mendikbud, menurut Yunarto, jika berdasarkan aspek evaluatif, kinerja, atau kapabilitas, Nadiem sangat mungkin dipersiapkan untuk menjabat Mendikbud Ristek. Apalagi, Nadiem merupakan pendiri perusahaan rintisan (start up).
Namun, jika dilihat dari aspek politik, bukan tidak mungkin juga Mendikbud Ristek ini malah menjadi momentum untuk mengembalikan posisi jabatan Mendikbud yang biasanya dipegang Muhammadiyah. Kemudian, Nadiem ditempatkan di posisi BRIN, yang berkaitan dengan pengembangan riset.
”Jadi, ada kesan bahwa kompromi politik, tetapi diikuti juga dengan tidak membuang orang yang dianggap memang memiliki kapabilitas,” ucap Yunarto.
Sementara itu, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, Yunarto memprediksi, masih akan ada di dalam posisi yang sama. Sebab, Bahlil dikatakan cukup aktif dan belum banyak diterpa pemberitaan negatif. ”Jadi, mungkin otoritasnya memang diberikan lebih, ya, karena memang menjadi fokus utama dari pemerintahan Jokowi,” ujarnya.
Soal posisi Bambang Brodjonegoro, menurut Yunarto, pemerintahan Jokowi masih membutuhkan sosok Bambang. Rekam jejak Bambang terbilang baik, berintegritas, dan tidak memiliki ambisi politik.
Pemerintahan Jokowi ke depan, lanjut Yunarto, membutuhkan sosok teknokrat seperti Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Ini merupakan upaya untuk mengimbangi nuansa politik yang terlalu mendominasi di periode kedua Jokowi di mana jajaran kabinet diisi oleh orang-orang politik dan koalisi yang terlalu besar.
Apalagi, katanya, di dua tahun terakhir periode kedua Jokowi, akan ada kecenderungan loyalitas dari kader partai yang menjadi menteri, bisa dipertanyakan, termasuk kader dari partai pengusung. Sebab, partai-partai akan mulai berbicara ambisi politik mereka sendiri untuk maju di Pemilu 2024.
”Nah, dengan adanya teknokrat, itu bisa mengimbangi nuansa politik yang akan makin terasa kental menuju pemilu berikut. Dengan demikian, kabinet tidak menjadi lumpuh karena sebagian di antaranya sudah lebih bermotif politik. Harus tetap ada teknokrat yang tetap fokusnya adalah bekerja karena mereka tidak punya ambisi politik,” tutur Yunarto.