Pembubaran KASN dan Rekrutmen Langsung Honorer Bisa Merusak Sistem Merit
Pemerintah mengingatkan usul DPR membubarkan KASN dan merekrut tenaga honorer tanpa proses seleksi bisa merusak sistem merit. Pemerintah diminta tak terpengaruh dengan usul DPR tersebut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bersedia membahas lebih mendalam mengenai usul DPR membubarkan Komisi Aparatur Sipil Negara. Begitu pula usul DPR agar seluruh tenaga honorer direkrut dengan hanya melalui proses verifikasi administrasi tanpa melalui seleksi.
Namun, pemerintah mengingatkan pula, kedua poin usulan DPR yang tertuang di draf revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara itu berpotensi merusak sistem merit di birokrasi yang ujungnya mengancam profesionalisme dalam birokrasi. Hal serupa diingatkan pakar ilmu administrasi.
Dikutip dari daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Aparatur Sipil Negara (ASN) yang disusun pemerintah dan diserahkan ke Komisi II DPR, Kamis (8/4/2021), pemerintah meminta agar usul DPR membubarkan Komisi ASN (KASN), seperti tertera di Pasal 1 angka 19 RUU ASN, untuk dipertimbangkan secara mendalam. Sebab, KASN selama ini dibutuhkan untuk mengawal pelaksanaan sistem merit dan kode etik di birokrasi.
Meski demikian, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo membuka ruang evaluasi terhadap kinerja KASN. ”Ini (pembubaran KASN) nanti akan bisa kami jabarkan lebih lanjut dalam pembahasan revisi undang-undang, apakah (fungsi KASN) tetap dikembalikan pada Kemenpan dan RB (seperti diusulkan DPR), sehingga ada satu komando, satu core (inti), yang jelas tanggung jawabnya,” katanya.
Selain soal KASN, di dalam DIM RUU ASN disebutkan pula bahwa pemerintah bersedia membahas secara mendalam soal usul DPR agar pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS hanya sebatas melalui verifikasi administrasi, tidak melalui serangkaian ujian sebagaimana layaknya pelamar umum yang ingin jadi PNS.
Namun, Tjahjo mengingatkan, model pengangkatan honorer yang diusulkan DPR itu bertentangan dengan prinsip sistem merit dan visi Indonesia maju dalam upaya meningkatkan daya saing bangsa. Terlebih di Pasal 2 UU ASN telah ditegaskan bahwa kebijakan dan manajemen ASN, antara lain, harus berdasarkan profesionalisme, non-diskriminatif, keadilan, dan kesetaraan.
Ia mencontohkan, model pengangkatan itu menjadi tidak adil bagi putra-putri terbaik bangsa yang berkeinginan untuk menjadi PNS. ”Karena, peluang mereka tertutup dengan dilakukannya pengangkatan honorer itu,” katanya.
Tiga triliun rupiah
Selain itu, dari sisi anggaran, jika tenaga honorer kategori (THK) II yang masih berjumlah sekitar 438.000 diangkat langsung menjadi PNS, beban anggaran negara akan bertambah menjadi Rp 3 triliun per bulan. Itu hanya belanja pegawai, minus uang pensiun.
Tjahjo menekankan, tanpa harus diatur di RUU ASN, pemerintah terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi persoalan honorer. Salah satunya, di seleksi ASN 2021, pemerintah membuka perekrutan satu juta guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Syamsurizal mengatakan, pendalaman DIM yang diserahkan oleh pemerintah akan dibahas di tingkat panitia kerja (panja). Dengan begitu, pembahasan bisa lebih komprehensif. Komisi II DPR juga berjanji akan menyerap masukan dari para pakar dan ahli terkait RUU ASN.
Profesionalisme birokrasi
Secara terpisah, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo mengingatkan model pengangkatan honorer seperti diusulkan DPR akan mengembalikan sistem perekrutan PNS menjadi tidak berbasis pada kompetensi. Ini dinilainya berseberangan dengan semangat Presiden Joko Widodo untuk membangun profesionalisme dalam birokrasi.
”Jadi, ini langkah mundur, kontradiktif dengan semangat Presiden,” kata Wakil Menpan RB tahun 2011-2014 ini.
Ia pun mengkritik usul DPR membubarkan KASN. Eko menilai, keberadaan KASN masih penting sebagai penjaga sistem merit di birokrasi.
Jika dibubarkan, intervensi politik kian tinggi di birokrasi. Ekses dari itu, transaksi jabatan di birokrasi bisa semakin marak. Ekses lainnya bisa menghambat target pemerintah untuk memudahkan investasi.
Eko pun berharap pemerintah tak terpengaruh dengan kedua usul DPR melalui RUU ASN. ”Pemerintah tidak boleh kalah dengan kepentingan-kepentingan parsial di dalam pembangunan bangsa dan negara dan membentuk sistem merit yang berskala dunia,” ujarnya.
RUU Perlindungan Data
Sementara itu, dari pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU PDP DPR belum mencapai titik temu mengenai status kelembagaan pengawas pengelolaan data pribadi.
Dalam rapat, Kamis, pemerintah masih menginginkan lembaga itu di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Adapun panja menginginkan otoritas tersebut independen.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, sekalipun pengawasan diberikan kepada pemerintah, bukan berarti pengawasan tak dapat dilakukan oleh DPR ataupun lembaga lainnya.
Namun, panja tetap menekankan pentingnya lembaga independen guna mencegah potensi konflik kepentingan jika kelak penyimpangan dilakukan instansi pemerintah.
”Penjelasan pemerintah itu belum menjawab pertanyaan publik mengenai bagaimana upaya menjaga independensi otoritas pengawas itu, dan potensi terjadinya konflik kepentingan, jika lembaga itu di bawah kementerian,” ujar anggota Komisi I DPR dari Fraksi Gerindra, Rachel Maryam.