Dikritisi, Pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Kasus HAM Masa Lalu
Salah satu kritik yang muncul, unit kerja presiden dikhawatirkan hanya berfokus pada pemulihan korban sehingga menutup pentingnya pengungkapan dan penegakan hukum terhadap para pelanggar hak asasi manusia.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keinginan pemerintah membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat melalui Mekanisme Non-yudisial dikritisi sejumlah kalangan. Salah satunya karena unit kerja itu dikhawatirkan hanya berfokus pada pemulihan korban sehingga menutup pentingnya pengungkapan dan penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusia.
Direktur Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Timbul Sinaga dalam diskusi daring bertajuk ”Menilik Draft Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemulihan Korban” yang diselenggarakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Kamis (8/4/2021), menyampaikan, unit kerja yang dibentuk merupakan perwujudan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial oleh pemerintah, yakni pemulihan korban.
Selain Timbul Sinaga, hadir sebagai panelis, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Surojo, Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Amiruddin Al-Rahab, pengajar di UPN Veteran Jakarta Sri Lestari Wahyoeningrum, Tioria Pretty Stephanie dari Divisi Hukum Kontras, serta Paian Siahaan dari keluarga korban penghilangan paksa tahun 1997/1998.
Unit kerja tersebut menurut rencana akan dibentuk dengan payung hukum peraturan presiden (perpres). Saat ini, draf rancangan perpres telah berada di Kementerian Sekretariat Negara. Jika sudah ditandatangani Presiden, selanjutnya akan dibentuk panitia seleksi untuk memilih keanggotaan di unit kerja tersebut.
”Jadi, tugas UKP-PPHB (Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat melalui Mekanisme Non-yudisial) ini adalah menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu sebagaimana disimpulkan oleh Komnas HAM. Demikian pula jumlah korban pun atas kesimpulan dari Komnas HAM,” kata Timbul.
Bentuk pemulihan yang dimaksud adalah pemenuhan kebutuhan hak-hak dasar korban. Pemerintah akan memenuhi kebutuhan korban, seperti pendidikan, kesehatan, wirausaha, infrastruktur, dan modal usaha. Selain pemulihan individual, pemulihan diberikan secara komunal. Pola ini telah dilakukan pada korban kasus pelanggaran HAM berat Talangsari, Lampung.
Menurut Timbul, penyelesaian melalui jalur yudisial sangat sulit. Dengan mekanisme non-yudisial, harkat dan martabat hidup korban pelanggaran HAM berat tetap dapat diangkat. Selain itu, melalui perpres tersebut, dilakukan rekonsiliasi yang berarti pemerintah menyesal dan menjamin hal serupa tidak akan terjadi lagi di masa mendatang, bukan minta maaf.
Timbul pun memastikan tidak ada pasal dalam rancangan perpres yang mengatakan bahwa ketika pemulihan hak korban sudah diberikan, proses yudisial tidak dilanjutkan.
”Apakah kalau sudah kita ungkap pelaku berarti sudah selesai? Bukan itu. Target kita adalah bagaimana pemulihan bisa kita lakukan agar korban bisa mendapat haknya. Apakah masa lalu selalu kita dendam, benci, dan mencari pelakunya? Kalau mindset-nya itu, maka terjadi seperti ini, tidak ada penyelesaian,” ujar Timbul.
Amiruddin mengatakan, Komnas HAM tidak pernah dilibatkan ataupun melibatkan diri dalam penyusunan rancangan perpres. Namun, melihat isi rancangan perpres tersebut, Komnas HAM menilai tak menjawab persoalan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Salah satu lingkup kerja dari unit kerja tersebut, yakni menindaklanjuti hasil kesimpulan Komnas HAM, pun dinilai tidak tepat. Sebab, hasil penyelidikan Komnas HAM hanya bisa ditindaklanjuti dengan proses pidana atau yudisial, bukan non-yudisial.
”Komnas HAM menghormati langkah-langkah yang mau diambil pemerintah dalam rangka memenuhi hak korban. Namun, itu bukan seperti bagi-bagi sembako atau ngasih sedekah, melainkan dirancang dengan dasar hukum yang kuat, memenuhi kaidah-kaidah HAM yang berlaku sehingga kita tahu apa dasar kebijakan itu, apa dasar berpikir akademisnya,” ujar Amiruddin.
Menurut Amiruddin, Komnas HAM selama ini memberikan rekomendasi mengenai orang yang dianggap korban kepada LPSK untuk kemudian diberi pemulihan. Jika ruang lingkup pembentukan UKP-PPHB sama dengan yang selama ini dilakukan LPSK, lebih baik anggaran untuk UKP-PPHB diserahkan kepada LPSK.
Menurut Sri Lestari, rancangan peraturan presiden tersebut merupakan kemenangan bagi pelaku pelanggaran HAM berat karena nantinya nama pelaku pelanggar HAM tak akan terungkap. Pemulihan hak korban dinilai melahirkan impunitas bagi pelaku pelanggar HAM. Selain itu, tak membawa keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat.
”Yang senang adalah aparat negara atau pelaku pelanggaran HAM kalau rancangan perpres ini diresmikan. Dia akan gampang melakukan pelanggaran HAM, toh negara akan memulihkan atau mereparasi dengan dasar perpres ini,” kata Sri Lestari.
Adapun Pretty melihat rancangan perpres bersifat satu arah. Masyarakat tidak bisa memberikan masukan karena sudah sedari awal diarahkan oleh pemerintah. Di sisi lain, pemulihan hak korban yang dilakukan dengan memberikan kebutuhan korban, seperti membangun infrastruktur, adalah hak setiap warga negara.
”Dalam rancangan perpres, yang dibahas adalah pembentukan UKP-nya. Namun, hal-hal prinsipil seperti asas tidak masuk di sana. Dan pemulihan korban hanya diartikan satu, yakni bantuan, yang sesudah itu selesai masalahnya,” kata Pretty.
Menurut Hasto, LPSK telah memberikan beberapa masukan terkait penyusunan rancangan perpres, seperti mengenai definisi korban yang perlu diperjelas mengenai nomenklatur, penegasan istilah rekonsiliasi dan pemulihan.
Sejak 2012, lanjut Hasto, LPSK telah melayani sekitar 4.000 korban dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Terkait dengan upaya non-yudisial, pihaknya bersama Komnas HAM telah berupaya meski belum sebanding dengan penderitaan korban.
Sementara Paian berharap agar pemerintah menjalankan hasil rekomendasi DPR untuk melakukan upaya pencarian terlebih dahulu terhadap korban penghilangan paksa. Hal itu lebih diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi keluarga korban.
”Pencariannya yang diutamakan dulu supaya ada kepastian hukum bahwa orang ini sudah meninggal. Kasus hukumnya bisa berjalan kemudian, tetapi status hukumnya harus jelas dulu,” ujar Paian.
Kasasi keluarga korban
Sementara itu, terkait pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang menyatakan Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat, Maria Catarina Sumarsih dan Ho Kim Ngo telah menyerahkan berkas memori kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang telah mengabulkan memori banding Kejaksaan Agung.
Kasasi diajukan dengan dua alasan, yakni PTTUN telah salah dalam menerapkan hukum karena menyebutkan penggugat tidak mengajukan banding administratif serta PTTUN dinilai terlalu fokus pada syarat-syarat formil.
”Kami berharap agar majelis hakim di Mahkamah Agung mengabulkan gugatan korban sebagaimana komitmen Presiden Joko Widodo yang mau menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, serta menghapus praktik impunitas melalui program Nawacita,” kata Sumarsih.
Di tingkat pertama, PTUN Jakarta mengeluarkan putusan bahwa Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin terbukti bersalah melawan hukum. Namun, upaya banding Jaksa Agung diterima oleh PTTUN dengan putusan bahwa gugatan yang dilayangkan oleh keluarga korban tidak dapat diterima karena tidak melalui banding administratif terlebih dahulu.