Ketiadaan Parameter Partisipasi Publik dalam Pembentukan UU Amat Problematik
Dalam proses pembentukan UU, bentuk partisipasi publik kerap ditafsirkan sepihak, baik oleh pemerintah maupun DPR. Karena itu, diperlukan parameter untuk menguji apakah sudah ada partisipasi publik dalam pembentukan UU.
Suasana rapat kerja pemerintah dengan Komisi II DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/4/2021). Rapat tersebut antara lain untuk mendengarkan pandangan pemerintah atas penjelasan DPR terkait RUU tentang ASN, penyerahan daftar inventarisasi masalah (DIM), dan pembentukan Panja RUU tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya untuk mengukur tingkat partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang coba dirumuskan oleh pakar hukum tata negara Indonesia. Selama ini, dalam proses pembentukan UU, bentuk partisipasi publik kerap ditafsirkan sepihak, baik pemerintah maupun DPR. Akibatnya, produk legislasi semakin berjarak dengan aspirasi publik sehingga harus diuji materi di Mahkamah Konstitusi.
Wacana untuk membuat parameter partisipasi publik dalam proses penyusunan dan pembahasan di DPR itu mengemuka dalam diskusi ”Penguatan Partisipasi Publik dalam Pembentukan dan Pengujian UU” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, Kamis (8/4/2021).


