Ketiadaan Parameter Partisipasi Publik dalam Pembentukan UU Amat Problematik
Dalam proses pembentukan UU, bentuk partisipasi publik kerap ditafsirkan sepihak, baik oleh pemerintah maupun DPR. Karena itu, diperlukan parameter untuk menguji apakah sudah ada partisipasi publik dalam pembentukan UU.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya untuk mengukur tingkat partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang coba dirumuskan oleh pakar hukum tata negara Indonesia. Selama ini, dalam proses pembentukan UU, bentuk partisipasi publik kerap ditafsirkan sepihak, baik pemerintah maupun DPR. Akibatnya, produk legislasi semakin berjarak dengan aspirasi publik sehingga harus diuji materi di Mahkamah Konstitusi.
Wacana untuk membuat parameter partisipasi publik dalam proses penyusunan dan pembahasan di DPR itu mengemuka dalam diskusi ”Penguatan Partisipasi Publik dalam Pembentukan dan Pengujian UU” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, Kamis (8/4/2021).
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, berdasarkan pengalamannya, saat menjadi saksi ahli di uji formil revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak ada parameter yang jelas untuk menguji apakah sebelum UU disahkan sudah ada partisipasi publik yang inklusif atau belum. Menurut dia, pemerintah ataupun DPR kerap mengatakan bahwa, baik dalam proses penyusunan maupun pembahasan di DPR, Rancangan UU telah melibatkan masukan dan aspirasi dari masyarakat.
Namun, jika ditelisik lebih lanjut, masukan dari masyarakat itu kerap ditampung dari orang-orang yang pro terhadap regulasi tersebut. Pihak yang kritis terhadap pasal-pasal RUU kerap dinihilkan.
”Dalam beberapa kali pengalaman bersidang, sikap yang terlihat dari pemerintah dan DPR justru arogansi. Mereka merasa sudah melibatkan ahli dan masyarakat, tetapi tidak bisa mengakomodasi semua masukan. Setelah itu, mereka merasa yang berwenang membuat keputusan akhirnya penguasa,” katanya.
Oleh karena itu, definisi dari partisipasi publik dalam pembentukan UU itu harus diperjelas. Siapa yang harus diundang dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU. Selain itu, apakah penyusunan UU itu sudah inklusif dan melibatkan kaum disabilitas, misalnya. Jangan sampai pihak-pihak yang diundang adalah mereka yang berasal dari kelompok kepentingan yang sama.
”Jadi, ada ukuran yang jelas bagaimana partisipasi publik di setiap tahapan. Mulai dari penyusunan, pembentukan, dan juga adanya asas due process of law dalam pembentukan UU. Dengan demikian, jika memang ada proses-proses pembentukan yang tidak sesuai, UU bisa dibatalkan seluruhnya oleh pengadilan,” kata Bivitri.
Direktur Eksekutif Konstitusi dan Demokrasi (Kode Inisiatif) Veri Junaidi mengatakan, dalam konsep pembuatan perundangan, partisipasi publik tidak bisa dilihat sebagai perkara sepele. Menurut dia, pembentukan UU tidak hanya domain dari presiden dan DPR. Peraturan yang berlaku untuk semua (erga omnes) seharusnya melibatkan partisipasi publik secara deliberatif.
Apalagi, dalam sistem ketatanegaraan demokrasi dan presidensiil, presiden dan parlemen dipilih langsung oleh rakyat. Seharusnya, mereka mendengarkan aspirasi dari konstituen sebelum membentuk sebuah UU.
”Kehendak rakyat adalah hal yang mendasar dalam sistem demokrasi. Jangan sampai ada kesan parpol yang mendapatkan suara terbanyak di parlemen dapat memonopoli pembentukan UU,” kata Veri menegaskan.
Veri menambahkan, selama ini dalam proses uji formil pembentukan perundangan, hukum acara di MK menyerahkan pembuktian perkara kepada pemohon. Rakyat yang menguji formil perundangan diwajibkan dapat membuktikan apakah pembentukan UU sudah melibatkan partisipasi publik atau belum, misalnya.
Padahal, menurut Veri, DPR dan presiden yang seharusnya dituntut untuk membuktikan bahwa mereka telah membentuk UU sesuai prosedur formil yang benar. Jika pemohon yang umumnya warga negara harus membuktikan prosedur formil pembentukan UU, ada relasi kuasa yang timpang. Terkadang, untuk memperoleh bukti dari pihak pemerintah dan DPR, pemohon dipersulit.
”Misalnya untuk membuktikan kehadiran anggota DPR saat pengesahan UU, itu sulit diakses di DPR. Terkadang data ini disembunyikan dari transparansi publik,” kata Veri.
Parameter yang jelas
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, sebelum menentukan parameter partisipasi publik, pembentukan UU harus dilihat posisi kepentingan politiknya di mana. Di negara demokrasi, tak bisa dinafikan bahwa ada kepentingan politik dan kepentingan masyarakat. Otoritas juga memiliki porsi untuk membuat kebijakan tertentu.
Untuk mengetahui apakah UU itu lebih banyak muatan politiknya atau tidak, masyarakat dapat melihat dari janji politik presiden. Apakah UU itu memang dijanjikan kepada publik atau tidak. Setelah itu, baru bisa dibuat pendekatan untuk mengukur partisipasi publik, berdasarkan tahapan pembentukan UU.
Misalnya, dalam tahapan penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), masyarakat dapat memberikan kritik dan masukan, apakah memang UU yang disahkan sudah sesuai dengan urgensi dan kebutuhan masyarakat. ”Misalnya, dari kacamata akademisi, ada parameter apa yang sebenarnya diatur oleh UU itu. Apakah memang harus diatur UU atau cukup hanya peraturan di bawahnya,” kata Zainal.
Kemudian, setelah tahapan inisiasi dan pengajuan, peran serta masyarakat dalam proses pembentukan UU harus ditingkatkan. Jika perlu, ada kanalisasi partisipasi publik sebelum RUU dibahas substansinya. Di tahapan pembahasan itu, keran aspirasi publik harus dibuka seluas-luasnya. Ini menunjukkan bahwa DPR serius menampung aspirasi masyarakat.
Setelah itu, DPR juga diharapkan membuat semacam catatan sebagai bentuk pertanggungjawaban pembahasan sebuah pasal-pasal. Catatan ini harus runut dan jelas. Misalnya, apa hasil pembahasan di tingkat fraksi, kemudian setelah masuk ke Badan Legislasi berubah atau tidak.
Dengan catatan yang runut dan jelas ini, dapat dilacak di mana terjadinya perubahan pasal per pasal. Demikian juga bagaimana irisan aspirasi publik dengan hasil proses pembahasan di DPR, apakah banyak aspirasi yang diakomodasi atau tidak.
”Di sini akan terjadi argumen antara alasan teknokratik dan politik sehingga bisa ditakar alasan kenapa harus ada pasal-pasal tersebut,” kata Zainal.
Setelah itu, pada tahapan ketiga, Zainal menyarankan agar arah politik hukum presiden juga bisa diukur dalam parameter yang jelas. Selama ini, politik hukum presiden dalam pembentukan perundangan masih tidak tampak jelas.
Saat pembahasan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, presiden seolah lepas tangan dan menyerahkan dinamikanya di parlemen. Setelah itu, saat pembahasan RUU KUHP, presiden justru bersikap tegas menunda pembahasan karena ingin menampung sebanyak-banyaknya aspirasi masyarakat.
”Arah politik hukum presiden harus jelas. Apa parameter dan alasan presiden melakukan tindakan A, B, dan C,” kata Zainal.
Zainal juga mengusulkan agar ke depan surat presiden (surpres) yang menjadi pengantar pembahasan UU oleh pemerintah dan DPR seharusnya tidak hanya berisi catatan kosong. Idealnya, surpres itu berisi apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan pada saat proses pembahasan UU.
Misalnya, tidak boleh ada utak-atik atau pertukaran pasal tertentu. Jika ini bisa dilakukan, akan ada parameter yang jelas dalam proses pembentukan UU.