Problem kewarganegaraan ganda seperti dalam kasus calon bupati Sabu Raijua terpilih, Orient, masih memungkinkan terulang. Pemerintah bersikap pasif dalam mengecek status kewarganegaraan seseorang.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Calon bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, terpilih, Orient Patriot Riwu Kore, tak pernah melaporkan ke pemerintah soal dirinya menerima kewarganegaraan Amerika Serikat pada 2006. Karena itu, ia masih tercatat sebagai warga negara Indonesia di basis data kependudukan ataupun basis data imigrasi sehingga bisa maju di Pilkada Sabu Raijua 2020.
Tak adanya sistem data terintegrasi untuk mendeteksi perubahan status kewarganegaraan seseorang dan sikap pemerintah yang pasif membuat problem kewarganegaraan ganda, seperti dalam kasus Orient, terus berulang, dan berpotensi terulang di kemudian hari.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakhrulloh saat memberikan keterangan dalam sidang pemeriksaan sengketa hasil Pilkada Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/4/2021), mengatakan, dalam kurun waktu enam tahun terakhir, setidaknya ada tiga kasus dwi kewarganegaraan yang menyita perhatian publik.
Pertama, status kewarganegaraan Arcandra Tahar yang sempat diangkat menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Kemudian, Joko Tjandra, buronan kasus Bank Bali dan mendapatkan kewarganegaraan Papua Niugini, tetapi tetap bisa memperoleh dokumen KTP elektronik dan mengurus paspor Indonesia. Kemudian yang terbaru, kasus Orient Patriot Riwu Kore yang dilaporkan memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat (AS) saat mendaftar di Pilkada Sabu Raijua, padahal Peraturan KPU Pencalonan di Pilkada mengamanatkan syarat calon kepala daerah harus WNI.
Problem yang mengemuka dari kasus-kasus tersebut tidak adanya laporan bahwa mereka menerima kewarganegaraan asing. Khusus Orient, tak pernah ada laporan dia menerima kewarganegaraan AS, baik dari yang bersangkutan ataupun Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang bertugas memproses perubahan status kewarganegaraan seseorang.
Laporan tersebut penting karena sistem pencatatan data kependudukan di Ditjen Dukcapil Kemendagri sifatnya pasif. Dengan kata lain, perubahan menunggu laporan.
Karena ketiadaan laporan itu, di basis data kependudukan, Orient masih tercatat sebagai WNI. Sejak 1997, Orient tercatat sebagai WNI yang berdomisili di Jakarta. Kemudian, pada 2020, Orient pindah ke Kota Kupang, NTT, untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah Sabu Raijua.
Staf Ditjen Imigrasi Kemenkumham Ruri dalam sidang pun menyampaikan Orient tak pernah menyampaikan memiliki status kewarganegaraan AS ketika mengurus paspor Indonesia pada 2005 ataupun perpanjangan paspor pada 2010.
”Kantor imigrasi tidak punya kewenangan untuk mengecek status kewarganegaraan seseorang karena kewenangan itu ada di Ditjen AHU Kemenkumham,” ujarnya.
Adapun Ditjen AHU Kemenkumham menyampaikan kepadanya tidak pernah menerima surat pelepasan kewarganegaraan Indonesia dari Orient. Perwakilan dari Ditjen AHU tak bisa menjelaskan sendiri soal status Orient di sidang karena tidak hadir.
Penjelasan Ruri itu sempat membuat kesal hakim konstitusi Saldi Isra. Pasalnya, MK sudah meminta agar Dirjen Imigrasi hadir sendiri memberikan keterangan di persidangan agar kasus Orient menjadi jelas. Namun, yang hadir ternyata hanya staf sehingga keterangan yang diberikan tidak jelas, ditambah lagi, persoalan justru dilimpahkan ke Ditjen AHU Kemenkumham.
”Padahal, ini, kan, sebenarnya satu kantor saja Kemenkumham, tetapi kewenangannya dikotak-kotakkan,” kata Saldi.
Kebijakan negara AS
Problem lain dalam kasus Orient yang terungkap di persidangan adalah tak adanya laporan perubahan kewarganegaraan seseorang dari otoritas di negara AS.
Staf Imigrasi Konsulat Jendral RI (KJRI) Los Angeles Amerika Serikat, Sigit Setiawan, mengatakan, pihak KJRI tidak akan mengetahui perubahan status kewarganegaran WNI menjadi WNA apabila yang bersangkutan tidak melapor. Apabila KJRI meminta informasi status kewarganegaraan itu dari otoritas AS pun, informasi akan sulit didapatkan. Sebab, AS menerapkan sistem perlindungan privasi warga, termasuk data status kewarganegaraan mereka.
Konsuler Kedutaan Besar RI (KBRI) Washington DC Gustaav Ferdinandus menambahkan, apabila WNI mendapatkan kewarganegaraan AS, seperti dalam kasus Orient, seharusnya ada proses pelepasan kewarganegaraan. KBRI menyiapkan formulir pelepasan kewarganegaraan Indonesia itu. Namun, keputusan mengenai hilangnya kewarganegaraan itu akan dikeluarkan Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM. Namun, apabila tidak ada permohonan pelepasan WNI, yang bersangkutan memiliki status kewarganegaraan ganda.
”Pihak Pemerintah AS tidak secara aktif memberikan pemberitahuan kepada KBRI terkait dengan pemberian status kewarganegaraan AS kepada WNI,” ujarnya.
Dalam persidangan sebelumnya, Orient mengaku mendapatkan kewarganegaraan AS karena bekerja di perusahaan kapal perang AS. Sejak 2006, Orient bekerja sebagai teknisi listrik (electrician) di perusahaan General Dynamics Nassco.
Kuasa hukum Orient, Paskaria Tombi, mengatakan, karena sifat perusahaan yang rahasia, setiap karyawan diminta memenuhi syarat administrasi, yaitu harus berstatus warga negara AS. Namun, setelah itu, Orient tidak pernah melepaskan status kewarganegaraan Indonesia. Alasannya, Orient lahir dan besar di Kupang, NTT.
Orient baru mengurus syarat pelepasan kewarganegaraan AS dengan mendatangi kantor Kedubes AS di Indonesia pada Agustus 2020 ketika berniat maju di Pilkada Sabu Raijua 2020. Namun, proses pembatalan kewarganegaraan AS itu terhambat karena pandemi Covid-19.
”Saya beranggapan bahwa saya warga negara Indonesia yang sah karena tak pernah melepaskan status WNI saya,” kata Orient.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, setelah mendengarkan keterangan Kementerian Luar Negeri, Kemenkumham, dan Kemendagri, diketahui bahwa posisi pemerintah pasif untuk mengecek status kewarganegaraan seseorang. Oleh karena itu, tak mengherankan jika kasus kewarganegaraan ganda terus berulang.
Enny menanyakan apakah sudah ada langkah antisipasi ke depan sehingga seseorang yang memegang kewarganegaraan ganda, tetapi tak mau melepaskan status WNI, dapat dideteksi lebih dini. Karena itu, masalah hukum lain yang muncul, seperti penerbitan dokumen kependudukan ataupun paspor, bisa dicegah.
”Apakah tidak ada satu sistem terkoordinasi dan terkoneksi sehingga status WNA yang tidak mau melepaskan WNI ini bisa dideteksi sehingga tidak muncul lagi masalah dwikewarganegaraan tidak muncul lagi di masa depan?” kata Enny.
Zudan mengatakan, sejak 2019, Dirjen Dukcapil telah membuka portal Dukcapil untuk pelaporan administrasi kependudukan bagi WNI di luar negeri. Saat ini, portal dukcapil telah dibuka di 26 negara, termasuk salah satu negara bagian di AS. Ke depan, akan ada 130 portal Dukcapil Luar Negeri di 130 negara.
Namun, agar portal dukcapil ini bisa berjalan efektif, diperlukan koordinasi yang baik terutama dengan Kemenlu dan otoritas negara asing.
Idealnya, ada notifikasi atau pemberitahuan dari otoritas negara asing apabila ada WNI yang mendapatkan status kewarganegaraan asing. Opsi lainnya, WNI yang telah mendapatkan status WNA wajib melapor melalui portal Dukcapil di luar negeri. Setelah itu, data akan disinkronisasi dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Luar Negeri.
”Meskipun demikian, tetap dibutuhkan sikap pro aktif dari WNI untuk melaporkan bahwa mereka sudah mendapatkan status warga negara asing. Sepanjang tidak ada pelaporan, apalagi status didapatkan tanpa permintaan, masalah serupa masih mungkin terjadi di kemudian hari,” kata Zudan.