Curi Barang Bukti 1,9 Kg Emas, Pegawai KPK Dipecat dan Dipidana
IGA, anggota satgas Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi di KPK, diketahui mencuri barang bukti berupa emas 1,9 kg. Dia dinyatakan melanggar etik sehingga diberhentikan, kemudian akan diproses pidana.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi melanggar kode etik setelah mencuri barang bukti perkara berupa emas seberat 1,9 kilogram untuk membayar utang. Selain diberhentikan dengan tidak hormat, perkara yang melibatkan pegawai berinisial IGA itu dibawa ke ranah pidana. Kasus ini harus menjadi evaluasi KPK dalam menjaga alat bukti.
Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak H Panggabean, Kamis (8/4/2021), mengatakan, Dewas telah melakukan persidangan selama dua minggu terhadap IGA. ”Yang bersangkutan adalah anggota satgas (satuan tugas) yang ditugaskan menyimpan, mengelola barang bukti pada Direktorat Labuksi (Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi) di KPK,” kata Tumpak di Jakarta.
Tumpak menegaskan, perbuatan ini sudah tergolong tindak pidana dan melanggar etik. Karena itu, Dewas memeriksa dan menyidangkannya. Ia menjelaskan, IGA mengambil barang bukti dalam perkara Yaya Purnomo yang ada di tempat penyimpanan barang bukti. Barang tersebut saat ini sudah menjadi barang rampasan yang harus dilelang untuk negara.
Adapun Yaya Purnomo merupakan bekas Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan yang terlibat dalam kasus suap serta gratifikasi pengurusan dana alokasi khusus.
Barang bukti tersebut berbentuk emas batangan dengan total berat 1,9 kilogram. Mengutip harga emas di logammulia.com dengan nilai Rp 922.000 per gram, jumlah emas yang dicuri IGA senilai Rp 1,75 miliar. Sebagian barang yang dicuri tersebut digadaikan untuk membayar utangnya karena terlibat dalam bisnis pertukaran valuta asing atau forex.
Tumpak mengemukakan, pencurian ataupun setidaknya penggelapan tersebut terjadi pada awal Januari 2020. Pelanggaran ini baru diketahui pada Juni 2020 ketika barang bukti tersebut akan dieksekusi. Sebagian barang bukti itu sudah digadaikan dan sebagian lagi disimpan.
Adapun uang yang diperoleh IGA dari menggadaikan barang bukti tersebut sekitar Rp 900 juta. Pada Maret 2021 IGA menebus barang yang digadaikan dari uang penjualan warisan orangtuanya yang ada di Bali.
Dewas memutuskan IGA telah melakukan pelanggaran kode etik, tidak jujur, dan menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi. Hal tersebut merupakan pelanggaran dari nilai-nilai integritas yang menjadi pedoman perilaku seluruh insan KPK.
Perbuatan itu telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan dan berpotensi terjadinya kerugian keuangan negara. Selain itu, citra KPK yang dikenal memiliki integritas tinggi sudah ternodai. ”Majelis memutuskan bahwa yang bersangkutan perlu dijatuhi hukuman berat, yaitu memberhentikan yang bersangkutan dengan tidak hormat,” kata Tumpak.
Ia mengatakan, pimpinan KPK telah memutuskan bahwa kasus ini dibawa ke ranah pidana dan telah dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan. IGA juga telah diperiksa oleh penyidik kepolisian. Sidang yang dilakukan Dewas tidak akan menghapuskan pidana terhadap IGA.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, kasus ini telah mencoreng citra KPK sebagai lembaga yang menekankan pada kejujuran. Apalagi, pelanggaran etik ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, ada pegawai KPK yang pernah memeras hingga akhirnya dipecat dan dipidana.
Zaenur mengatakan, penjatuhan sanksi berat dengan dikeluarkan dan dilanjutkan pada proses pidana dengan menyerahkan kepada kepolisian adalah keputusan yang tepat. Selain itu, menurut Zaenur, kasus ini termasuk pada penggelapan dalam jabatan sehingga bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Sebelumnya, bekas penyidik KPK, Ajun Komisaris Suparman, menyalahgunakan kewenangan sebagai penyidik untuk kepentingan pribadi, seperti menerima uang, telepon seluler, dan tasbih kristal dari Tintin Surtini, saksi yang ia periksa dalam kasus korupsi PT Industri Sandang Nusantara.
Selain itu, ada bekas pegawai KPK, Endro Laksono, yang melakukan korupsi, yakni menggelapkan uang negara. Ia memakai uang sisa perjalanan dinas untuk diserahkan kepada paranormal Syamsuri Maarif.
Keamanan alat bukti
Selain memastikan penegakan etik, KPK diharapkan juga mengevaluasi untuk mencegah hal serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. ”Evaluasi yang paling penting ialah memeriksa standar operasional apa yang menyebabkan masih terjadinya pencurian barang bukti perkara. Seharusnya untuk barang bukti yang disimpan di Labuksi tidak dapat dikeluarkan bahkan oleh pegawainya tanpa melalui prosedur yang standar,” kata Zaenur.
Ia menegaskan, standar ini dibutuhkan tidak hanya untuk mencegah terjadinya pencurian, tetapi juga menjamin keamanan dari alat bukti yang akan digunakan dalam pembuktian di persidangan. Selain itu, juga untuk menjaga nilai alat bukti tersebut agar nanti ketika disita untuk negara dapat dikembalikan untuk keuangan negara dengan tetap terjaga nilainya.
Di sisi lain, menjaga keamanan alat bukti juga sangat penting. Sebab, di KPK pernah terjadi kasus perobekan buku merah. Namun, kasus ini tidak pernah dilakukan penegakan etiknya.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mempertanyakan sistem keamanan di KPK yang buruk karena bisa dibobol hingga berulang kali. Ia juga mempertanyakan penggunaan biaya pengamanan di KPK selama ini. ”Bobol berarti biaya pengamanan itu patut diduga boros atau tidak efisien dan tidak tepat sasaran,” kata Boyamin.
Menurut Zaenur, kasus ini juga menjadi pembelajaran bagi KPK agar pegawainya tidak bekerja selain di KPK dan bermain forex untuk menghindari konflik kepentingan. ”Pegawai KPK harus sangat menjaga dari potensi benturan kepentingan,” ucapnya.
Dalam Peraturan KPK Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Benturan Kepentingan di KPK dengan tegas melarang benturan kepentingan. Ketika ada potensi benturan kepentingan, maka harus melakukan deklarasi. Jika dampaknya besar, maka ditarik dari tugasnya.
Cara lain yang lebih tegas, kata Zaenur, pegawai KPK dilarang bermain forex dan saham melalui kode etik untuk menghindari benturan kepentingan. Hal tersebut menjadi cara selain bergantung pada model deklarasi sebagaimana yang ada di Peraturan KPK. Ketegasan ini juga seharusnya berlaku untuk penegak hukum lainnya di kepolisian, kejaksaan, serta hakim.
Boyamin juga meminta KPK untuk melakukan penilaian terhadap pegawainya secara berkala. Orang yang memiliki banyak utang karena bermain forex seharusnya diberi peringatan dan disuruh mundur. Sebab, hal tersebut menunjukkan gaya hidupnya yang membutuhkan uang banyak.